Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOHAMMAD Assegaf dan Adnan Buyung Nasution bergegas melangkah ke ruang interogasi tahanan Pengadilan Negeri Surabaya. Sejak tiba di Surabaya, keduanya merasa gerak-gerik mereka selalu diawasi. Di Pengadilan Negeri Surabaya, kedua pengacara itu baru mafhum. Para "pengawas" itu spion tentara yang ditugasi mengawasi mereka. Assegaf dan Buyung bertemu kembali dengan para intel itu di depan ruang tahanan pengadilan. "Di sana mereka membawa senjata api dan sebagian sudah berseragam tentara," kata Assegaf kepada Tempo.
Masih terekam betul dalam ingatan Assegaf peristiwa pada pertengahan 1977 itu. Ia dan Buyung hendak bertemu dengan tahanan yang dianggap tentara istimewa: Haji Ismail Pranoto atau akrab dipanggil Hispran. Ia ditangkap pada 8 Januari 1977 di Desa Bendoringgit, Blitar. Hispran dituduh melakukan makar dengan mendirikan kembali negara Islam era Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan S.M. Kartosoewirjo lewat gerakan Komando Jihad.
Hispran telah menunggu Assegaf dan Buyung di ruang interogasi. Ketiganya duduk satu meja. Di ruangan yang sempit tersebut, mereka dikawal lima tentara yang menenteng senjata api. Assegaf membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diri dan tujuan mereka datang, karena pengadilan meminta keduanya membela Hispran. "Saya katakan saat itu agar dia terbuka. Agar kami tahu bagaimana nanti membela dia," ucap Assegaf.
Pertanyaan itu ditanggapi dingin. Tak terlihat antusiasme dari Hispran. Ia malah balik menceramahi kedua pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu dengan suara datar. "Saya tidak percaya kepada pemerintah sekarang. Saya akan mendirikan negara Islam," kata Assegaf menirukan kalimat Hispran. Haji Ismail Pranoto bahkan menjelaskan bahwa ia telah menyiapkan banyak hal demi perjuangannya, yakni menyiapkan nama menteri dan mengumpulkan senjata dari Libya. Selama sekitar setengah jam, Hispran panjang-lebar menjelaskan cita-citanya.
Assegaf dan Buyung tercengang. Tak butuh waktu panjang bagi keduanya untuk memutuskan langkah: tak mau membela Hispran dan menyarankan agar ia didampingi pengacara dari LBH Surabaya. Figur Hispran mereka anggap aneh bin ajaib. Orang desa tapi fasih bicara politik layaknya intelektual. Mereka tahu Hispran sebenarnya orang yang lugu dan tak pintar. Saat di Jakarta, keduanya sebenarnya sudah diwanti-wanti sejumlah orang bahwa Hispran adalah binaan Kolonel Ali Moertopo. "Hispran cuma orang lugu yang dimanfaatkan Ali," ujar Assegaf.
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) kala itu, Laksamana Sudomo, pada 14 Februari 1977 mengumumkan gerakan Komando Jihad sebagai musuh negara karena ingin mendirikan negara Islam. Sebulan sebelumnya, dan setelah pengumuman dari Sudomo, total tak kurang dari 185 orang ditangkap karena dituding terlibat gerakan ini, termasuk Hispran. Suasana menjadi genting karena beberapa pekan lagi akan digelar pemilihan umum ketiga. Akibat peristiwa ini, media ramai memberitakan kebrutalan kelompok Islam, dan memindahkan suara pemilih ke Golkar.
PADA 1962, gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia lumpuh setelah pemimpin mereka, S.M. Kartosoewirjo, tertangkap. Beberapa orang dekatnya tidak ikut tertangkap dan bertahan di dalam hutan, di antaranya Hispran dan pasukannya. Pada 1962, pasukan DI/TII tersebut turun gunung dan berdamai dengan pemerintah. Mereka menandatangani perjanjian dan bersumpah setia kepada Indonesia. Ali Moertopo, lewat anak buah kepercayaannya, Letnan Kolonel Pitut Soeharto dan Aloysius Sugiyanto, memimpin operasi pembaiatan ini. "Saya perwira penghubung Danu," ucap Sugiyanto.
Saat itu, Ali Moertopo menguasai banyak kantong bisnis negara atas nama Operasi Khusus. Para "alumnus DI" tersebut kemudian didekati dengan diberi berbagai proyek, seperti distribusi bahan bakar di desa serta membangun jalan pedesaan dan pasar. Danu dan Hispran, kata Assegaf, turut kecipratan bisnis ini. Mereka bahkan sudah dibaiat setia kepada Presiden Soeharto dan lalu bergabung dengan Golkar. Itu sebabnya, Komando Jihad dinilai hanya akal-akalan Ali Moertopo dan intel-intelnya. "Komando Jihad cuma gerakan jadi-jadian agar terkesan Islam itu berbahaya," ujar Busyro Muqoddas, kini Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Busyro empat tahun lalu menelusuri satu per satu mereka yang dituduh anggota Komando Jihad. Ia mengambil kisah gerakan Komando Jihad sebagai penelitian untuk disertasinya di Universitas Islam Indonesia. Dari berbagai keterangan, diperoleh alasan bahwa Ali memimpin Operasi Khusus untuk memberangus suara Partai Persatuan Pembangunan, yang kala itu mengancam eksistensi Golkar. Isu makar itu berhasil. Perolehan suara PPP jeblok. "Gerakan Komando Jihad ini rekayasa intel agar (perolehan) suara partai Islam anjlok," tutur Busyro.
Ali, lewat Operasi Khusus, kemudian memanfaatkan jaringan Danu dan Hispran. Keduanya "dikompori" Ali dan Pitut bahwa perlu ada gerakan jihad mengingat komunis akan bangkit kembali. Alasan Ali menggunakan DI/TII, kata Busyro, karena kelompok ini paling potensial dan sudah dikenal sebagai pemberontak penguasa. "Kelompok lain, seperti Muhammadiyah, tidak bisa digunakan karena labih rasional," ucapnya.
Eks DI/TII membenci komunis, sementara kondisi luar negeri saat itu sedang panas karena Amerika Serikat tengah berperang di Vietnam, yang dianggap simbol komunis baru. Sudomo, dalam wawancara tertulis dengan Busyro pada 6 Oktober 2009, mengakui gerakan Ali Moertopo pada pertengahan 1970-an berupaya menghidupkan DI untuk menggembosi suara PPP. "Sejumlah tokoh DI merespons gagasan Moertopo," kata Sudomo di dalam suratnya kepada Busyro.
Dalam berita acara pemeriksaan Danu Muhammad Hasan pada Juli 1977, saat diperiksa atas keterlibatan dengan DI/TII, ia tidak menyebut ada perintah Ali dalam membangun Komando Jihad. Di dalam pemeriksaan yang diduga di bawah tekanan itu, Danu menceritakan, pada awal 1975, para sesepuh DI/TII berkumpul di Tasikmalaya, di rumah Adar Jaelani, bekas sekretaris Kartosoewirjo.
Di sana Adar membaiat Hispran, Danu, Ateng Jaelani, dan Zainal Abidin untuk menghidupkan kembali Komandemen Wilayah Pertempuran Besar (KWPB). Danu menjabat Panglima KWPB Jawa-Madura. Hispran menjabat wakil Danu. Tugasnya: merekrut dan membaiat serta melantik pasukan selevel di bawah mereka di sekitar Jawa Tengah dan Timur.
Lalu ada dua versi dalam kisah ini. Kisah pertama, gerakan Hispran dan Danu sudah di luar jangkauan Ali dan kelompoknya. Ini terbukti dari berbagai pertemuan rahasia mereka, yang diam-diam masih punya keinginan meneruskan perjuangan NII. Kedua, pemerintah lewat Kopkamtib yang dipimpin Sudomo memberangus Hispran cs lewat propaganda gerakan Komando Jihad yang didengungkan oleh Ali dan intel-intelnya. "Hispran dan Danu dihabisi setelah tugas mereka selesai," ujar Busyro.Di pengujung suratnya, Sudomo justru secara halus membantah tudingan bahwa Komando Jihad didalangi oleh Ali. Ia mengatakan, lewat Operasi Khusus, Ali dan Pitut justru berupaya mencegah kelompok radikal ini—atau kala itu disebut "ekstrem kanan"—kembali hidup. Kepada Busyro, mantan Kepala Badan Komando Intelijen Sutopo Juwono menyatakan dia sudah menasihati Ali agar tidak bermain-main dengan Komando Jihad. "Li, kalau kamu mau mencari muka kepada Pak Harto, mbok ya jangan jadikan umat Islam korban politik. Itu risiko sosial-politiknya besar," demikian menurut Sutopo seperti dikatakannya kembali kepada Busyro.
Kalimat Sutopo itu belakangan terbukti. Islam saat itu kemudian terpecah dengan timbulnya saling curiga antarkelompok. Keluarga Hispran pun merasa jadi korban. Slamet Dimyati, salah satu anak Hispran yang pernah ditemui Busyro, mengatakan Ali Moertopo telah membohongi ayahnya. Dia mendengar langsung janji Ali kepada sang ayah saat berkunjung ke rumah mereka di Brebes. "Bapak (Hispran) meminta Ali agar membantu suara Golkar di Jawa Tengah dan Timur. Diiming-imingi uang," kata Slamet menceritakan janji Ali kepada ayahnya. Janji yang, menurut anak-anak Hispran, hanya manis di bibir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo