Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMU Ali Moertopo itu membuat Leonardus Benjamin Moerdani menggerutu. Sang tamu begitu bebas keluar-masuk markas Operasi Khusus di Jalan Raden Saleh 52, Jakarta Pusat, termasuk ke ruang kerja Ali Moertopo. Benny, yang juga berkantor di situ, merasa terganggu. "Itu siapa, sih? Blasak-blusuk ke ruang Pak Ali enggak izin!" kata Benny kepada stafnya.
Pria berpantalon rapi yang selonong boy di kantor Opsus itu akhirnya dikenalkan Ali ke Benny. Dia Probosutedjo, kerabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto, yang sebentar lagi menjabat presiden. Adik tiri Soeharto ini mondar-mandir ke kantor Opsus, membantu Ali mengurus tagihan komoditas ekspor Indonesia, terutama karet, yang belum dibayar Malaysia dan Singapura. Ada banyak pembayaran berupa garansi bank yang belum dicairkan oleh pemerintah Indonesia sebagai akibat konfrontasi dengan Malaysia.
Suatu hari Probosutedjo dikontak Chan Ho Shui, pengusaha asal Malaysia. Ho Shui meminta Probo mendorong sejumlah pihak di Jakarta agar segera mencairkan garansi bank yang dikeluarkan Bank Indonesia supaya transaksi bisnis Indonesia-Malaysia bisa kembali lancar. Kepada Soeharto, Probo melaporkan soal dana milik negara yang terperangkap berikut bunganya.
Soeharto, seperti ditulis Probosutedjo dalam memoarnya, Saya dan Mas Harto, mengizinkan adiknya ikut mengurus asalkan sesuai dengan prosedur. Untuk urusan ini, Probo harus berhubungan dengan Ali Moertopo—saat itu asisten Soeharto bidang operasional. Pada 1966-1967, Soeharto meminta Ali mendirikan Opsus dan membuat sejumlah program. Namun dana operasional tidak ada. "Pak Ali kebingungan, dan itu diungkapkan kepada saya," kata Probosutedjo.
Setelah berbicara dengan Ali, Probosutedjo pun ke Bank Indonesia. BI bersedia menyerahkan garansi bank asalkan ada pejabat yang bisa menjadi penjamin. Probo menyebut Ali Moertopo. BI setuju. Keduanya diminta menghubungi Departemen Luar Negeri sebagai pemegang kuasa pencairan. Oemaryadi, Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri saat itu, membuatkan surat kuasa. Ali dan Probo ditunjuk sebagai penanggung jawab.
Berbekal surat kuasa itu, keduanya ke Bank Indonesia menjemput dokumen. Saat diserahkan, Ali dan Probo terkesiap. Ada empat peti besar berisi dokumen garansi bank. Satu peti bobotnya 30 kilogram. Berkilo-kilo dokumen itu diangkut dengan truk ke kantor Opsus di Cikini, Jakarta Pusat.
Probo mendapat saran dari Chan Ho Shui: ada baiknya sortir dilakukan di Hong Kong bersama perwakilan dari Malaysia. Sebagian lagi di Singapura. Ali setuju, lalu membentuk dua tim. Satu tim berada di Jakarta dan diketuai Probosutedjo. Satu tim lagi berangkat ke Singapura dan Hong Kong. Ketua tim Outstanding Barter Balance adalah Bambang Trisulo, ketika itu Jaksa Agung.
Tiap tim bergerak terpisah. Bambang Trisulo dan Joseph Halim, perwira kesehatan yang menjadi wakil ketua tim, berangkat ke Singapura. Dari Singapura, Bambang bergeser ke Hong Kong dan bertemu dengan Probosutedjo di sana. Perintah Ali Moertopo saat itu: Tuntut balik semua uang berikut bunganya selama tiga tahun.
Operasi penagihan berjalan sukses. Tak kurang dari Sin$ 350 juta mengalir ke kocek pemerintah. Seluruh dana masuk ke rekening Opsus di Bank Indonesia sebelum ditransfer ke kas negara. Sisanya yang tertinggal adalah bunga dan fee dari pengembalian itu senilai 10 persen atau Sin$ 35 juta.
Penagihan itu bukan satu-satunya yang dilakukan Opsus. Ali pernah meminta bantuan Des Alwi, putra Banda Naira yang bermukim di Kuala Lumpur karena kasus PRRI/Permesta. Des diminta melacak dana revolusi yang dibawa lari ke luar negeri. Salah satunya US$ 100 ribu dari Bank Arab di Paris.
Namun pelacakan pada 1973 itu gagal. Pemimpin bank tersebut, Belgas, melarikan uang bank yang dipimpinnya ke sebuah negara di Amerika Latin. Ia meninggal di sana. Bank ini pun jarang disebut orang karena sudah bangkrut. "Uang itu hangus dibawa mati," kata Des Alwi.
Fee penagihan menjadi salah satu sumber dana terbesar bagi Opsus, meski bukan satu-satunya. Aloysius Sugiyanto, 85 tahun, asisten Ali semasa Opsus, menyebutkan pada awal 1960-an mereka kerap harus putar otak mencari anggaran. Saat itu Indonesia sedang tak punya uang. Operasi Khusus Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat pada 1967, misalnya, dibiayai oleh proyek kerja sama dengan sebuah perusahaan ekspedisi laut: menyelundupkan karet dan produk lain ke luar Indonesia.
Hasil selundupan itu menghasilkan US$ 17 juta, yang disimpan di Bank Singapura dan Malaysia. "Beruntung waktu itu ada Jerry Sumendap," kata Sugiyanto. Jerry adalah pengusaha Manado yang sering wira-wiri Singapura-Hong Kong. Jerry belakangan mendirikan Bouraq Airlines dan pernah aktif di gerakan PRRI/Permesta. Sugiyanto menyebutkan ada juga operasi yang dibiayai pemerintah meski terbatas. Salah satunya operasi pembebasan Irian Barat pada 1961.
Sumber dana operasi lainnya adalah judi. Pada awal 1960-an, Sugiyanto tinggal di Jalan Sumatera 19, Jakarta Pusat, agar tidak bolak-balik ke Bandung, kediamannya. Rumah itu milik Kapten Lukas Kustaryo, mantan komandan kompi Divisi Siliwangi yang belakangan terkenal karena kasus Rawa Gede.
Pada 1960-an, Lukas dikenal sebagai "Godfather" Jakarta. Tiap malam di rumah Jalan Sumatera itu sering digelar judi dan rolet. Ketika itu, rumah judi tersebut hanya satu-satunya di Jakarta. Sugiyanto, yang berasal dari RPKAD—belakangan menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus)—dijadikan centeng. "Karena saya tinggal di situ dan topi saya baret merah, makanya dianggap aman," katanya. Acara judi dan rolet itu biasanya baru akan digelar jika Sugiyanto sudah datang.
Setiap kali ada teman yang mampir menengoknya di Jalan Sumatera, Sugiyanto selalu membagikan amplop tebal berisi uang. Duit itu bisa menjadi ongkos operasional Opsus, termasuk untuk membangun makam Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Gatot Soebroto di Ungaran, Jawa Tengah.
Belakangan, permainan itu digelar berpindah-pindah. Sugiyanto selalu dilapori setiap perpindahan. Suatu ketika acara judi itu diselenggarakan di depan kantor polisi di Salemba, Jakarta Pusat. Malam itu polisi menggerebek. Sugiyanto ikut diciduk. Polisi belakangan membebaskan Sugiyanto namun kartu anggota Kostrad miliknya ditahan. Petinggi polisi lalu melapor kepada Soeharto.
Paginya, saat akan apel di Markas Kostrad, Sugiyanto dipanggil Soeharto. Dia ditanya tentang peristiwa penggerebekan itu. Sugiyanto bercerita tentang duit judi yang dipakai menambal ongkos operasi. Soeharto diam lalu meminta anak buahnya mengambil kartu anggota yang disita polisi.
Setelah Soeharto menjadi presiden, Operasi Khusus menjadi lebih terstruktur. Dana operasi sebagian didapat dari berbagai sumbangan, antara lain dari Pertamina ketika dipimpin Ibnu Sutowo.
Richard Robinson, ilmuwan politik asal Australia, dalam disertasinya pernah meneliti soal dana yang dipakai Ali Moertopo untuk melancarkan Operasi Khusus. Ali dan tim Opsus disebut pernah mencoba mendirikan perusahaan untuk mengongkosi operasi. Salah satunya PT Anem Kosong Anem, yang belakangan menjadi perusahaan penerbit Suara Karya, koran milik Golkar. Pemegang saham perusahaan itu adalah Bambang Trisulo dan Hamonangan Pasaribu—keduanya kawan Ali Moertopo. Perusahaan lainnya, kata Robinson, bergerak di dua bidang usaha: bisnis unggas dan perakitan peralatan elektronik.
Sugiyanto menyangkal jika perusahaan itu disebut menyumbang Opsus. Suara Karya, misalnya, tidak cukup memberi keuntungan. Oplahnya berasal dari pelanggan instansi pemerintah yang diwajibkan pemerintah Orde Baru. "Saya mendengar ada sebagian aset perusahaan yang dijual," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo