Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH pemilihan umum, Juli 1971, Jenderal Soemitro meminta waktu bertemu dengan Presiden Soeharto. Ketika diterima di rumah pribadi Soeharto, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) itu melaporkan situasi keamanan Tanah Air menjelang penyusunan kabinet.
Rupanya Soemitro juga menyimpan keinginan lain. Ia mengusulkan Brigadir Jenderal Ali Moertopo diangkat menjadi Menteri Penerangan. Menurut dia, Asisten Pribadi Presiden itu luwes dan cakap mengendalikan opini media untuk mendukung pemerintahan Orde Baru. Soeharto mengangguk setuju.
Wakil Panglima ABRI ini juga menyarankan Soeharto membubarkan Kopkamtib serta Operasi Khusus atau Opsus yang dikomandani Ali Moertopo. Alasannya, dua organ itu diciptakan untuk kondisi yang tidak normal. Adapun situasi politik setelah Pemilu 1971 yang memenangkan Golkar dianggap sudah stabil.
Soemitro juga menganggap, kalau Ali tak lagi memimpin Opsus, Badan Koordinasi Intelijen Negara bisa berfungsi normal. "Opsus bisa memunculkan konflik kepentingan antar-intel," katanya, seperti termuat dalam memoarnya yang ditulis Ramadhan K.H., Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.
Sayangnya, kali ini Soeharto menggeleng. Ia balik bertanya kepada Soemitro, "Kalau Kopkamtib dihapuskan, lalu pengendalian keamanan bagaimana?" Menurut Soemitro, pengendalian keamanan kembali pada institusi yang ada sembari membentuk lembaga koordinasi, ketuanya Menteri Dalam Negeri. "Anggotanya Pangab, Menhankam, Menlu, Ketua Bakin, Jaksa Agung, dan Kepala Polri," kata Soemitro. Soeharto tetap menggeleng, "Jangan dulu. Ini masih perlu."
Pamor Opsus ketika itu sangat tinggi. Dikomandani Ali Moertopo, Opsus lebih prestisius ketimbang Bakin. Urusannya dari masalah domestik seperti kelahiran mesin politik Golongan Karya, operasi Pepera Irian Barat 1969, sampai masalah Indocina.
Dibentuk pada 1961 untuk operasi pembebasan Irian Barat, Opsus berlanjut buat menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia. Kedua misi itu dipimpin Ali Moertopo atas perintah Soeharto. Ali, yang waktu itu Wakil Asisten Intelijen Soeharto di Kostrad, disokong komandannya, Yoga Soegomo, yang belakangan ditunjuk Soeharto memimpin Bakin.
Aloysius Sugiyanto, tangan kanan Ali Moertopo, menyebut Opsus dominan menyokong Soeharto pada awal transisi pemerintahan Orde Baru. Saat itu Soeharto tak punya siapa pun yang bisa dipercaya untuk mengatasi keadaan. Ali dipilih karena Soeharto sudah mengenalnya sebagai anak buah sejak di Kodam Diponegoro. "Dalam situasi seperti itu, siapa yang bisa diandalkan Soeharto bergerak cepat? Ya, anak buah dan teman-temannya sendiri," kata Sugiyanto kepada Tempo, tiga pekan lalu.
Lembaga intelijen saat itu, BPI, pimpinan Soebandrio, didominasi unsur komunis. Lembaga ini membawahkan kesatuan intel di tiga angkatan: kepolisian negara, kejaksaan, dan intelijen hankam. "Waktu itu sering terjadi gunting-mengunting antar-intel," ujar Sugiyanto. Misalnya, setiap kali ada laporan tentang ulah PKI, laporan itu tiba-tiba menguap, "Kalau tidak, pasti ada laporan lain yang melemahkan," kata Sugiyanto. Walhasil, intel hankam juga kesusupan agen BPI.
Begitu Supersemar terbit dan PKI dibubarkan pada 12 Maret 1966, BPI dibekukan. Sebagai gantinya, Soeharto membentuk Komando Intelijen Negara (KIN). Soeharto menugasi Yoga Soegomo untuk membenahi. Ia dibantu beberapa orang seperti Tjokropranolo dan Ali Moertopo.
Tak sampai setahun, lembaga ini berganti nama menjadi Bakin. Semula Mayor Jenderal Sudirgo ditempatkan sebagai Kepala Bakin. Namun, karena dicurigai simpati pada PKI, ia dicopot. Soeharto menunjuk lagi Yoga Soegomo, yang waktu itu wakil Sudirgo, untuk menggantikannya. Lulusan sekolah dinas rahasia Inggris, MI-6, itu mulai bekerja. Organisasi intelijen dibenahi. Ditulangpunggungi badan intel G-1 Hankam, satuan intel bahu-membahu mengamankan Orde Baru. Pada masa itu, satuan intel menjadi pelaksana operasi pokok di dalam negeri.
Akibat laporan kebocoran dokumen di pesawat, Yoga dihukum. Ia digeser menjadi Wakil Kepala Perwakilan RI di PBB, New York, Amerika Serikat. Soeharto menunjuk Mayor Jenderal Sutopo Juwono sebagai Kepala Bakin. Pada tahun itu, terjadi reorganisasi Bakin dengan tambahan satu Deputi Pos Opsus atau penggalangan yang dipimpin Ali Moertopo.
Meski menjadi bagian dari Bakin, Opsus bermarkas terpisah di Jalan Raden Saleh 52, Jakarta Pusat. Operasi intelijen yang dilakukannya pun, menurut Sugianto, berbeda dengan Bakin yang struktural. Opsus memiliki kekhususan, bukan operasi di medan perang, melainkan pada pengumpulan beragam informasi, menyusunnya, dan memberikan masukan untuk Soeharto, termasuk menyelesaikan dan menjalankan perintah Soeharto.
Ali diberi kebebasan bertindak cepat. Ia bisa pergi ke semua pejabat tinggi karena mengatasnamakan Soeharto. "Orang-orang menyebutnya 'orang kuat Raden Saleh'," kata Sugiyanto.
Di Opsus, Ali Moertopo memiliki beberapa tim. Bidang operasi ditangani Kolonel Sumardan. Pitut Soeharto ditunjuk menjadi penggalangan politik Islam, yang bertugas menggarap Partai Persatuan Pembangunan, Nahdlatul Ulama, dan bekas aktivis Darul Islam. Kolonel Ngaeran mengurusi keuangan.
Keanggotaan Opsus terbagi dua: organik dan jejaring. Di kelompok organik umumnya perwira aktif. Anggota jejaring biasanya direkrut dari aneka kelompok. Bisa aktivis, mahasiswa, tokoh agama. Mereka bergabung karena misi atau operasi khusus. "Setelah operasi selesai, bubar," kata Sugiyanto.
Menurut Jusuf Wanandi dari CSIS, karena begitu banyak orang yang terlibat dalam opsus, karakter yang ditemukan bisa beda-beda. Karena itu, tak aneh ada yang bagus, ada juga yang melenceng. Ali bahkan pernah menyebut Opsus seperti kebun binatang. "Ada ularnya, ada juga kambing dan singanya." ujarnya.
Menurut Soemitro, Ali sering tak berkoordinasi dengan Sutopo Juwono. Padahal, sebagai salah satu deputi, seharusnya Ali Moertopo melaporkan operasi kepada bosnya di Bakin itu. Akibatnya, menurut Soemitro, Sutopo memimpin Bakin dengan kikuk.
Situasi ini niscaya menyulut pertentangan yang amat tajam di dalam tubuh Bakin. Salah satu yang disoal, tugas Ali sebagai Deputi Penggalangan Bakin sering tak diajak bicara ketika menggalang aktivis DI/TII. Sutopo sempat melarang, tapi Ali tetap melakukannya. Akibatnya, Bakin juga kena sorotan ketika Ali diserang lawan-lawan politiknya.
Meski memilih diam, belakangan Sutopo akhirnya terganggu juga dengan manuver Ali. Dalam wawancaranya dengan majalah Jakarta-Jakarta, Juni 1993, Sutopo sempat mengeluh. "Ada kesan pada kawan-kawan di Bakin, kalau salah, Bakin yang salah. Tapi, kalau berhasil, Aspri yang berjasa," katanya.
Benturan kepentingan ini sudah diprediksi Soemitro. Apalagi Ali hampir tak pernah aktif dalam komunitas intelijen yang dibidani Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib. Puncaknya adalah peristiwa Malari. Peristiwa itu dianggap sebagai ekses persaingan antara Ali dan Soemitro serta Sutopo Juwono. Walhasil, Soemitro dan Sutopo terdepak dari jabatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo