TIDAK selamanya pil Viagra membawa pasangan bercinta lebih bahagia. Ada yang justru menjadi gara-gara. Misalnya kasus berikut ini. Ketika pil biru itu baru diproduksi dan dilempar ke pasar, pasangan jutawan New York, Frank Bernardo, 70 tahun, dan Roberta Burke, 63 tahun, yang semula harmonis, menjadi bertengkar habis. Ujung-ujungnya, pada 16 Juni 1998, mereka harus beperkara di Pengadilan Mineola, New York. Di depan hakim, Burke menuntut suaminya membayar ganti rugi US$ 2 juta atau sekitar Rp 18,7 miliar.
Lo, kok? Sejak 1994, Bernardo memang sudah impoten. Tapi, karena telah sama tua, keloyoan sang jutawan "dimaafkan" dan tak terlalu mengganggu keharmonisan mereka. Namun, begitu mendengar ada pil yang mampu "menegakkan benang basah", Bernardo mencoba menenggak Viagra, yang dipromosikan mampu memulihkan kejantanannya. Eh, benar saja, "batang terendam" Pak Tua kembali beringas. Bahagiakah istrinya? Tidak. Bernardo pergi mencari "ladang bercocok tanam" yang baru. Ia tak lagi betah di rumah.
Burke pun gusar dan merasa terhina. Ketika suaminya masih loyo, ia begitu toleran. Lelaki gaek yang rambutnya telah memutih dan selalu memakai alat bantu dengar itu juga tampak setia kepada Burke. Tapi, setelah kembali perkasa, ia malah ngacir. "Memangnya saya sepatu yang sudah butut, lantas dibuang begitu saja?" ujar Burke seperti dikutip Reuters, "Ini semua gara-gara Viagra. Sebelum ia kenal pil biru itu, segalanya baik-baik saja."
Itulah salah satu ekses Viagra. Memang, jutaan lelaki "lumpuh" di seluruh dunia seolah mendapat dewa penyelamat. Pil produksi raksasa farmasi New York, Pfizer Pharmaceutical, itu sangat laris, apalagi setelah mengantongi izin dari Lembaga Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika pada 1998.
Di Indonesia, sejak resmi beredar sekitar 1999, Viagra langsung laris. Belakangan ini, Viagra malah dijajakan terang-terangan di kios-kios kaki lima. Ada yang menjualnya dengan harga miring, mungkin selundupan atau palsu.
Sebelum Viagra menjadi primadona, di sini telah marak dijajakan "obat kuat" tradisional, seperti Pasak Bumi, Tangkur Buaya, Ginseng, Adas, dan Merica Hitam. Banyak di antaranya telah dikemas dan tinggal ditenggak. Mereka yang mengkonsumsinya memiliki alasan beragam, dari sekadar kurang bergairah, frekuensi hubungan seks menurun, kurang tahan lama, sperma kurang kental, ereksi kurang kuat, hingga gagal "bangkit" sama sekali (disfungsi ereksi).
Benarkah obat-obat itu manjur menambah keperkasaan? Buat menjawabnya, perlu uji klinis. Ada anjuran dari Dokter Sampurno, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan RI. Yang penting, katanya, kita bisa membedakan apakah obat itu berfungsi meningkatkan gairah atau mendongkrak ereksi. Viagra, misalnya, bukan obat perangsang gairah seks, melainkan pendorong ereksi. Jadi, si pemakai harus bergairah dulu sebelum menelan Viagra.
Dalam aturannya, Viagraāyang bekerja efektif sampai empat jamādiminum sejam sebelum hubungan intim. Namun Anda tak bisa langsung greng tanpa rangsangan seks. Sampurno menyebutnya erection-enchanter. Viagra membantu tercapainya ereksi normalāmeski tak menyamai ereksi pria yang sehat secara seksual. Jadi, Viagra bukan "obat kuat" (afrodisiak) bagi lelaki normal.
Efek samping? Viagra jelas berisiko bagi penderita sakit jantung. Diketahui, ereksi terproses melalui pelebaran pembuluh darah di penis. Nah, dalam "tugasnya" ini, ia juga sekaligus melebarkan pembuluh darah di bagian tubuh yang lain, termasuk jantung. "Kalau kemampuan seksualitasnya dipacu melebihi kekuatan jantungnya, ya, dia bisa meninggal," kata Sampurno, "Karena itu, berhati-hatilah sebelum mengkonsumsinya!"
Pfizer mengakui bahwa Viagra bukan tanpa efek samping. Dosis yang berlebihan akan mengakibatkan si pemakai tak mampu membedakan warna hijau dan biru. Penggunaan yang tidak tepat dapat membuat pemakai mengalami priapismāereksi berkepanjangan yang tak terhentikan.
Kehati-hatian pemakaian juga dianjurkan oleh seksolog Wimpie Pangkahila. Dalam sebuah seminar, ia menyebut ramuan yang mengandung telur, susu, madu, dan jahe. Menurut dia, mustahil ramuan itu bisa menambah keperkasaan kalau penyebabnya penyakit radang hati, misalnya. Apa jadinya kalau seseorang terus-menerus mengkonsumsinya padahal ia menderita kencing manis atau kolesterol tinggi?
"Obat kuat" menimbulkan reaksi yang berbeda untuk setiap orang. Kalau tubuhnya atau penisnya tak menerima, obatnya jadi mubazir. Memang belum ada atau tak pernah ada penelitian tuntas tentang efek sampingnya. Tapi, kalau berlebihan, bisa saja ia mempengaruhi fungsi metabolisme tubuh. Maka, sebelum menenggak "obat kuat", tanya dulu ahlinya. Malu bertanya akan berujung risiko.
Jadi, kenali dulu pangkal masalahnya, baru babat penyakitnya. Terapi dan obat yang digunakan tak selalu sama pada tiap orang, tapi disesuaikan dengan faktor penyebab gangguan fungsi seksual. Kalau disfungsi ereksi lantaran stres, itu perlu pendekatan psikologis. Akibat penyempitan pembuluh darah bisa dioperasi. Kalau penyebabnya diabetes, kadar gulanya mesti diturunkan.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini