Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG bilang transaksi jual-beli merupakan peristiwa yang sederhana. Ada pihak yang mau menjual, ada pihak yang membeli. Terkadang terjadi tawar-menawar sebelum harga disepakati oleh keduanya. Tapi hal ini tidak berlaku pada jual-beli benda yang bersifat religius dan berkaitan dengan kekuatan magis. Orang Nasrani, ketika membeli kitab suci, kayu salib, atau rosario, umpamanya, acap kali tidak melakukan penawaran. Begitu juga orang Islam ketika membeli Al-Quran. Toko tempat jual-belinya juga banyak yang berdekatan dengan tempat ibadah, dan yang menjaganya selalu tampak khusyuk. Di masyarakat Jawa, keris tidak bisa begitu saja "dibeli", melainkan "dimaskawini", dan harga yang disebutkan dalam tawar-menawar disebut "uang mahar".
Di kutub yang lain, ada juga perdagangan yang dilakukan agak sembunyi-sembunyi karena sifat barang dagangannya yang ditabukan atau diharamkan. Yang ekstrem barangkali terjadi ketika orang melakukan jual-beli narkotik, yang, karena statusnya yang terlarang, tidak di sembarang tempat. Sebetulnya pengharaman ini pun selektif dan berubah-ubah dari zaman ke zaman. Di Jawa, candu pernah diperdagangkan terbuka dan besar-besaran pada abad ke-19. Dan hingga sekarang, rokok dan minuman beralkohol diperdagangkan lumayan bebas di negeri ini.
Sajian erotis yang dimuat dalam buku, majalah, dan VCD biasanya dijual dengan sembunyi-sembunyi. Setidaknya tawar-menawarnya dilakukan dengan bisik-bisik, dengan bahasa tubuh (umpamanya lewat sentuhan tangan) yang menunjukkan keakraban bersama untuk melanggar tabu. Isyarat seperti ini tidak terjadi pada perdagangan biasa. Benda yang dibeli biasanya juga tidak secara saksama diperiksa lebih dulu seperti kalau orang membeli televisi atau radio.
Perdagangan alat bantu seks juga termasuk yang dilakukan secara bisik-bisik. Sejak 1990-an, kios seks bertebaran di kota-kota besar dan menengah di negeri ini. Di situ dijual alat-alat bantu seks semacam penis buatan (dildo), vibrator, vagina palsu, dan boneka untuk fasilitator masturbasi, beraneka ragam kondom, dan obat-obat peningkat libido. Masuk ke toko macam ini, kita langsung mendapatkan kesan yang lain: etalase yang ditutupi kertas kalender, serta sikap pegawai toko yang tidak selugas pegawai di toko-toko biasa atau tidak seceria gadis-gadis yang menawarkan parfum atau rokok di mal-mal. Dari waktu ke waktu kita baca atau kita dengar ada kios seks yang ditindak oleh polisi, kemudian ditutup atau buka kembali.
Di masyarakat yang lebih terbuka dalam soal seks seperti di Barat pun, kios seks umumnya berkaca gelap atau terletak di lantai bawah tanah atau atas dengan tangga yang remang-remang. Orang yang masuk ke dalamnya juga tidak selugas atau seceria masuk toko parfum atau butik barang-barang bermerek.
Tapi terjadi juga paradoks. Di kota-kota Tiongkok, yang komunis dan terkesan konservatif dalam urusan seks, kios seks malah bertebaran di mana-mana, atas nama keluarga berencana. Saya pernah mengintip sebuah kios seks di Kunming, Provinsi Yunnan, saat mengikuti lokakarya tentang seksualitas di kota ini. Yang mengherankan, kiosnya cukup terang dan terbuka. Orang yang menjaganya, suami-istri biasa dan anak bayinya, dengan lumayan lugas pula menjelaskan kegunaan kondom bergerigi, pelicin, atau cincin penis dari plastik.
Sebaliknya, di Thailand, yang berkesan bebas dalam hal-hal seksual, kios seks dianggap ilegal. Ini cukup mengherankan karena di kota seperti Bangkok, Pattaya, Phuket, dan Chiangmai terdapat go-go girl/boy, pertunjukan seks, serta prostitusi lelaki, perempuan, dan bahkan kathoey (waria) yang cukup terbuka. Majalah erotis lelaki homo pun dijual di kaki lima oleh penjual yang bukan homo. Di Bangkok, kalau hendak beli dildo, harus menelepon nomor tertentu, yang memang diiklankan di surat kabar dan majalah, tapi tidak ada toko terbuka seperti di Kunming, kota-kota Barat, dan Indonesia.
Dilihat dari teori konstruksi sosial dalam hal seksualitas, paradoks semacam itu memang tidak terlalu aneh. Setiap masyarakat akan mengemas atau menyusun soal seksualitas, termasuk pelacuran, kios seks, pernikahan, dan sebagainya, dengan caranya sendiri. Sebagian orang Indonesia mengimajinasikan masyarakat kita sebagai masyarakat religius, senonoh, dan tidak mengenal free sex, sesuatu yang setidaknya dapat dipertanyakan kalaupun bukan dibantah.
Yang jelas, pada masyarakat kita, bisnis yang berkaitan dengan seks cukup mendapat tempat. Bukan cuma praktek pelacuran dan industri modifikasi atau penyempurnaan tubuh lewat suntik silikon, krim pemutih, dan sebagainya, kini juga mulai meluas tempat-tempat penjualan alat bantu seks, obat-obat yang terkait dengan performa seksual, dan sebagainya.
Di pasar kaki lima di depan mal atau di kios-kios seks, dengan mudah dapat kita peroleh alat bantu seks semacam mata kambing, yakni cincin dari kulit yang masih berbulu dan dikenakan di seputar kepala penis ketika hendak melakukan sanggama. Harganya pun amat terjangkau: beberapa ribu rupiah sudah cukup untuk mendapatkannya. Terkadang dapat diperoleh juga Tangkur Buaya, yang dipercayai dapat meningkatkan performa seksual laki-laki.
Pergilah ke penjual jamu mana pun, dan pasti ada jamu macam sari rapet, atau apa pun nama lokalnya, yang dapat mengeringkan vagina sehingga laki-laki yang melakukan sanggama mendapatkan kenikmatan yang lebih intens. Penjual jamu yang sama juga menyediakan jamu macam Kuku Bima atau Pasak Bumi, yang efeknya kurang-lebih sama dengan Tangkur Buaya.
Pedagang kaki lima di sekitar lokalisasi atau di tempat banyak mangkalnya pekerja seks perempuan freelance senantiasa menyediakan berbagai jenis kondom, pelicin, juga vitamin, obat kuat, dan antibiotik yang dipercayai dapat mencegah tertular "penyakit kotor". Menarik juga diamati bagaimana di kota-kota kita distribusi kondom sangat merata, tersedia di supermarket, apotek, dan kaki lima. Ini terjadi walaupun ada tentangan diskursif dari ulama tentang penggunaan kondom. Bahkan perlu pula muncul isu adanya kondom berpori. Akibatnya, perusahaan dan distributor kondom seakan dipaksa bertindak seperti pengedar narkotik, harus lebih malu-malu dari perusahaan rokok dan bir.
Beberapa salon kecantikan, selain menyempurnakan tubuh dan penampilan dengan berbagai cara, juga menjual alat bantu seks dan beraneka obat yang berkaitan dengan performa seksual, bahkan sering juga seksnya itu sendiri. Salon kecantikan bagaikan supermarket seksistilah yang diberikan oleh Mick Blowfield, yang pada 1991-1992 meneliti pelacuran di Kota Surabaya untuk persiapan program pencegahan HIV/AIDS.
Sebetulnya, tanpa melebih-lebihkan, apotek di kota-kota besar juga menjual kondom dan pelicin (yang dikemas sebagai benda kesehatan), selain Viagra dan antibiotik. Menurut seorang pemilik apotek yang masih kerabat saya, penjualan benda-benda dan obat ini meningkat pada Sabtu sore. Dan bukankah pemerintah, khususnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan organisasi seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesiameskipun mengklaim hanya melayani pasangan suami-istrisebenarnya mempromosikan berbagai benda dan bahan yang berkaitan dengan seksualitas? Sejak awal 1990-an, berpuluh organisasi layanan pencegahan AIDS melakukan hal yang sama, walaupun dengan kemasan dan kelompok sasaran yang bisa berbeda. Umumnya LSM yang membantu pencegahan AIDS terjun pada sasaran yang lebih beragam (pekerja seks dan mitranya, lesbi-gay-waria, dan pengguna narkotik).
Yang asyik dibayangkan, terutama bagi yang prokenikmatan, adalah datangnya suatu zaman ketika kesehatan seksual dan reproduksi tidak hanya dipandang sebagai bebasnya berbagai penyakit yang muncul dari aktivitas itu. Tapi itulah zaman saat orang dapat menikmati seksualitas secara lebih utuh, penuh, dan aman, untuk rekreasi ataupun prokreasi, dengan atau tanpa alat bantu, tanpa rasa bersalah yang mendera sia-sia, dan tanpa diskriminasi hanya karena kita berbeda dari yang dianggap "lazim".
Sebuah utopia? Saya memilih melihatnya sebagai suatu cita-cita yang harus diperjuangkan. Dalam konteks ini, kios seks sepatutnyalah dilihat sebagai hal yang biasa. Diam-diam para penjual jamu, pedagang kaki lima, salon kecantikan, produsen kondom, pelicin, dan Viagra, BKKBN dan organisasi layanan pencegahan AIDS, perkumpulan pekerja seks dan mitranya, kelompok lesbi-gay-waria, organisasi perempuan feminis, dan semua pihak yang prokenikmatan sudah melakukan perlawanan subversif terhadap kekuasaan antikenikmatan yang barangkali palsu dan keropos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo