Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tebas Pisang di Kampung Pertumbukan

Tanah masyarakat adat Rakyat Penunggu di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tergusur proyek swasembada gula yang dikerjakan PT Perkebunan Nusantara II. Warga diintimidasi sekaligus diiming-imingi tanah dan pekerjaan agar tak melawan.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mahyanun saat diwawancarai di Kampung Durian Selemak, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Adinda Zahra Noviyanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat adat Rakyat Penunggu diduga mengalami intimidasi dan kekerasan dalam pembersihan lahan PTPN II di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

  • Proyek PTPN II di wilayah itu menjadi bagian program pembangunan kebun tebu untuk mencapai swasembada gula yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.

  • Kepala kampung mengaku ditawari lahan, sepeda motor, serta pekerjaan agar tak melawan perusahaan.

SUARA pistol menyalak beberapa kali di Kampung Durian Selemak, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada 28 September lalu. Tembakan ke udara dilepaskan tatkala petugas PT Perkebunan Nusantara II mengobrak-abrik ladang dan belasan rumah masyarakat adat Rakyat Penunggu dengan buldoser. Warga setempat yang semula menghadang laju alat berat akhirnya kocar-kacir mendengar letusan itu.

Kepala Kampung Durian Selemak, Mahyuni, mengatakan sedikitnya 15 rumah Rakyat Penunggu rata dengan tanah. Tanaman jagung di ladang pun dicabuti. Menurut dia, sedikitnya 120 keluarga terusir dari area seluas 117 hektare dalam penggusuran itu. “Kami sudah minta agar perusahaan menunggu proses hukum, tapi tak digubris,” kata Mahyuni pada Rabu, 16 Desember lalu.

Pembersihan lahan Rakyat Penunggu di Kampung Durian Selemak merupakan bagian dari proyek pembangunan kebun tebu yang dikerjakan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II untuk mendukung program swasembada gula. Pemerintah menargetkan swasembada tercapai pada 2023. Presiden Joko Widodo berulang kali meminta bawahannya agar Indonesia segera bisa swasembada karena sekitar 3,7 juta ton kebutuhan gula domestik masih diimpor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahan yang bermasalah di Kampung Durian Selemak, Desa Pertumbukan, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, 16 Desember 2020. Adinda zahra noviyanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Mahyuni, berdasarkan cerita turun-temurun, nenek moyang Rakyat Penunggu sudah bermukim dan menggarap lahan di kampung itu sejak era penjajahan Belanda. Leluhur Rakyat Penunggu bertanam di ladang bekas tanaman tembakau milik pemerintah kolonial setelah musim panen. Tanah itu disebut tanah jaluran. “Itu warisan orang tua kami,” dia berujar.

Penggusuran pada akhir September lalu bukan yang pertama kali dihadapi masyarakat adat Rakyat Penunggu. Selepas kemerdekaan, Rakyat Penunggu mendapat sebagian tanah yang pernah digarap pemerintah kolonial. Seusai Gerakan 30 September 1965, pemerintah berusaha mengambil paksa tanah dari masyarakat.

Mereka yang menolak dicap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia. Konflik dengan perusahaan sempat pecah lagi pada awal masa reformasi. Sempat reda selama dua dekade, pertikaian kembali muncul pada September 2020.

Mahyuni mengatakan PTPN II tak pernah memberitahukan rencana pembangunan kebun tebu kepada masyarakat. Tiba-tiba saja sejumlah spanduk perusahaan yang mengklaim kepemilikan tanah dan menyebutkan rencana pembersihan lahan untuk kebun tebu terpacak di beberapa pohon di Kampung Durian Selemak pada 27 September—sehari sebelum bentrokan dengan warga terjadi. Pihak PTPN II mengklaim tanah itu berdasarkan sertifikat hak guna usaha.

Melawan klaim perusahaan, warga berbondong-bondong memasang baliho yang menyatakan kepemilikan tanah adat di samping spanduk PTPN. Atribut-atribut itu sudah menghilang ketika Tempo berkunjung ke Durian Selemak pada 15-17 Desember lalu.

Mahyanun, warga Rakyat Penunggu di Durian Selemak, salah satu yang terkena dampak. Rumah dan ladangnya seluas kira-kira 4.000 meter persegi rata dengan tanah. Ia biasanya menanami ladang itu dengan tanaman palawija dan mendapat penghasilan dari berjualan jagung saat panen tiba.

Kini ia tak memiliki gubuk, apalagi mata pencarian. “Anak-anak kami sementara mengungsi ke rumah mertua,” ucap perempuan 64 tahun itu.

Mahyanun terus ikut melawan petugas keamanan dan PTPN II. Bentrok masyarakat adat Rakyat Penunggu dengan petugas berlangsung selama tiga hari sejak 28 September. Puncak pertikaian terjadi pada 30 September.

Warga kampung yang hanya berbekal bendera Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia berhadapan dengan aparat yang mengawal laju buldoser. Menurut Mahyanun, ada peserta aksi yang sempat terluka karena dipopor senjata.

•••

KAMPUNG Pertumbukan—berjarak 10 menit berkendara sepeda motor dari Durian Selemak—tak luput dari pembersihan lahan PTPN II. Penduduknya juga bagian dari masyarakat adat Rakyat Penunggu. Kepala Kampung Pertumbukan, M. Husni, menyaksikan perusahaan mengerahkan ratusan aparat.

Husni menyaksikan pasukan itu mengenakan baju loreng dan menenteng senjata. Ia mengaku heran melihat kehadiran pasukan tersebut. “Kami bukan pemberontak. Kami menanam untuk makan,” kata Husni.

Tak mau melawan petugas, warga Pertumbukan membiarkan alat berat menggilas tanaman di ladang. Dua pekan setelah para petugas pergi, Husni memerintahkan warganya menanami kembali tanah yang diokupasi perusahaan dengan pohon pisang. Hanya berselang beberapa hari, pasukan datang menebasi semua pohon pisang.

Husni mencatat sedikitnya 148 keluarga di Pertumbukan terkena dampak proyek pembangunan kebun tebu PTPN II. Bukan hanya rumah, ladang warga juga tergusur. Padahal ladang itu biasanya mampu memberikan penghasilan hingga Rp 5 juta ketika musim panen tiba. Kini sumber pendapatan mereka menghilang.

Husni mengaku pernah diiming-imingi tanah seluas 8 hektare oleh perusahaan. Syaratnya, ia harus menghentikan perlawanan. Tak hanya itu, utusan perusahaan juga menemui sejumlah kepala kampung lain untuk menawarkan sepeda motor dan upah menjaga lahan. “Lain waktu, saya pernah menerima ancaman akan ditangkap aparat,” tuturnya.

Kepala Bidang Penerangan Umum Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia Kolonel Sus Aidil mengaku tak mengetahui pengerahan personel tentara di area konflik masyarakat adat Rakyat Penunggu dengan PTPN II. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Nefra Firdaus meminta masalah pengerahan dan dugaan kekerasan aparat ditanyakan kepada pejabat Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan. “Silakan ke Kapendam setempat,” ujar Nefra. Sementara itu, sejumlah nomor telepon seluler milik Kepala Dinas Penerangan Kodam Bukit Barisan Kolonel Zeni Djunaidi tak aktif saat dihubungi hingga Jumat, 18 Desember lalu.

Corporate Secretary Holding Perkebunan Nusantara, yang membawahkan PTPN II, Imelda Pohan, berjanji menanggapi konfirmasi secara tertulis, tapi tak kunjung mengirimkan jawaban hingga Sabtu, 19 Desember lalu.

Pengacara PTPN II, Sastra, membantah kabar bahwa perusahaan dan aparat melakukan kekerasan saat membersihkan lahan di Kampung Durian Selemak dan Pertumbukan dalam jumpa pers di markas Kepolisian Resor Langkat pada 30 September lalu. Menurut dia, PTPN II hanya berusaha menjaga aset.

Warga Durian Selemak dan Pertumbukan telah melaporkan kasus penggusuran dan dugaan kekerasan oleh aparat dan perusahaan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Medan pada 13 Oktober lalu. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, yang menerima aduan masyarakat adat Rakyat Penunggu, meminta aparat melindungi warga. Taufan juga berjanji Komnas HAM akan menindaklanjuti laporan masyarakat Rakyat Penunggu.

Dua bulan setelah konflik di Durian Selemak pecah, Presiden Joko Widodo mengundang sejumlah kelompok masyarakat sipil di sektor reforma agraria dalam dua kali rapat di Istana Negara pada 23 November dan 3 Desember lalu. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, yang hadir dalam dua pertemuan itu, menyebutkan Jokowi berjanji menyelesaikan konflik agraria yang berhubungan dengan perusahaan milik negara sebagaimana yang terjadi di Durian Selemak dan Pertumbukan.

Dalam rapat 3 Desember, Konsorsium juga menyerahkan daftar “Lokasi Prioritas Reforma Agraria” yang mencakup area seluas 607 ribu hektare di seluruh Indonesia, termasuk lahan masyarakat adat Rakyat Penunggu. Dalam kasus yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan pelat merah, Dewi mengusulkan kepada Presiden agar memerintahkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara melepaskan aset, lalu meredistribusikannya kepada masyarakat adat. “Presiden harus mau membuat terobosan politik,” ucap Dewi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus