Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Cerita Tempe Hilang dari Pasar

Masyarakat sulit menemukan tempe di sejumlah pasar di Jakarta Pusat. Sejumlah warteg dan pedagang mendoan masih bisa berjualan tempe dengan berbekal stok berlebih sejak Ahad lalu. Masyarakat dan pedagang berharap tempe cepat beredar lagi di pasar.

23 Februari 2022 | 00.00 WIB

Pengrajin tempe saat mogok produksi di Sunter Jaya, Jakarta Utara, 21 Februari 2022. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Pengrajin tempe saat mogok produksi di Sunter Jaya, Jakarta Utara, 21 Februari 2022. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Masyarakat sulit menemukan tempe di sejumlah pasar di Jakarta Pusat.

  • Sejumlah warteg dan pedagang mendoan masih bisa berjualan tempe dengan berbekal stok berlebih sejak Ahad lalu.

  • Masyarakat dan pedagang berharap tempe cepat beredar lagi di pasar.  

JAKARTA – Wahyu, 31 tahun, tampak celingak-celinguk di deretan kios pedagang, di Pasar Johar, Jakarta Pusat, kemarin. Pria berambut sebahu itu kebingungan mencari tempe. “Sudah muter-muter, enggak ada yang jual,” kata Wahyu ketika ditemui, kemarin.

Wahyu mengaku sudah mendengar kabar bahwa semua produsen tempe dan tahu se-Jabodetabek melakukan aksi mogok produksi sejak Senin hingga Rabu pekan ini. Namun, sejak dari rumah, Wahyu mengira masih ada pedagang di pasar yang punya stok tempe.

“Tapi ternyata memang enggak ada barangnya,” kata dia sambil tertawa.

Serupa dengan Wahyu, Nuning juga ikut mencari tempe di pasar tersebut. Niat perempuan berusia 37 tahun itu memang ingin berbelanja sayur dan kebutuhan memasak. “Iseng saja tanya tempe ada-tidak. Ternyata memang tidak ada,” kata dia. 

Perempuan berkerudung itu tak khawatir akan hilangnya tempe dari pasar. Sebab, ia yakin, selepas hari Rabu, tempe akan mudah lagi ditemukan di pasar hingga gerobak sayur keliling. “Jadi, untuk beberapa hari ini, ya, tidak makan tempe dulu. Toh, nanti ada lagi barangnya,” ujar Nuning.

Namun Nuning sempat khawatir jika aksi mogok produksi perajin tempe dan tahu diperpanjang. Menurut dia, tempe dan tahu seharusnya tetap ada di pasar. Alasannya, harga yang murah membuat tempe dan tahu menjadi komoditas yang paling dicari masyarakat. “Jangan sampailah tempe susah dicari. Kasihan orang-orang,” kata dia.

Sementara itu, Rahmat, pedagang sayur di Pasar Johar, membenarkan kabar bahwa tempe sudah tak tersedia di pasar sejak Senin lalu. Menurut dia, produsen tempe terdekat, yakni Kampung Tahu Tempe Rawa Selatan, Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, sudah menghentikan suplai tempe dan tahu sejak Senin lalu. Padahal jarak antara Pasar Johar dan Kampung Tahu Tempe Rawa Selatan tak sampai 1 kilometer.

 

Pekerja tengah memproduksi tempe menggunakan kedelai impor, di Kemayoran, Jakarta, 18 Februari 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Bahkan, menurut Rahmat, sejak Senin lalu, setiap pagi ada beberapa orang yang berkeliling di pasar untuk mengecek ada-tidaknya tempe dan tahu di Pasar Johar. “Kata orang-orang sih, mereka itu perwakilan dari paguyuban produsen tempe,” kata Rahmat. 

Subur, pedagang khusus tempe, tahu, dan bahan makanan beku di pasar tersebut, menyebutkan pasokan tempe dari perajin sudah disetop sejak Senin lalu. “Terakhir dikirim hari Minggu. Jumlahnya pun tidak banyak,” kata dia.

Kepada Subur, pemasok berjanji akan mengirim lagi balok tempe pada Kamis. Bahkan harga yang diberikan tak berubah, meski naiknya harga kedelai yang menjadi bahan baku tempe-tahu masih terjadi. “Harga dan ukuran masih sama,” ujar dia.

Kondisi serupa juga ditemukan di Pasar Gembrong Baru, Jakarta Pusat. Tak ada satu pun pedagang yang menjual tempe dan tahu segar.

Sebelumnya, sejak pekan lalu, Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) sudah menyerukan ajakan mogok produksi pada Senin lalu hingga hari ini. Aksi mogok ini menjadi cara protes Kopti dan para perajin tahu-tempe atas meroketnya harga kedelai, dari sebelumnya Rp 7.000-8.000 per kilogram menjadi Rp 12 ribu per kilogram.

Meski tempe sudah lenyap dari pasar, sejumlah pedagang olahan makanan berbahan tempe masih menjajakan bahan hasil fermentasi kedelai tersebut. Salah satunya Sutini, pedagang mendoan di kawasan Jalan Pangkalan Asem, Jakarta Pusat.

Bahkan ia masih berjualan sejak Senin lalu. Rupanya, perempuan berusia 55 tahun itu menimbun tempe sejak Sabtu dan Ahad lalu. Sutini menyimpan stok tempe di dalam lemari pendingin di rumahnya. “Saya keluarkan semua barang yang ada di kulkas agar stok tempe bisa masuk. Lagi pula, kalau ada bahan lain di dalam kulkas, tempe cepat jelek,” kata dia.

Perdagangan bahan pokok di pasar Tebet, Jakarta, 17 Februari 2022. Tempo/Tony Hartawan

Namun jumlah stok lembaran tempe yang ia simpan tak sebanyak jatah normal untuk tiga hari. Walhasil, Sutini mengurangi bahan tempe yang ia jual per hari. Yang penting, cukup untuk berdagang setiap hari. “Jadi, kalau ramai, bisa tutup lebih cepat karena stoknya memang sedikit,” ucap dia.

Sementara itu, sejumlah warung tegal juga masih menjajakan masakan olahan tempe, seperti orek tempe dan tempe goreng. Beberapa warteg di Jalan Pangkalan Asem terpantau masih menjual menu tempe. Namun jumlahnya tak banyak. Seperti Sutini, warteg-warteg tersebut menyimpan stok tempe sejak Ahad lalu.

“Tapi jumlahnya enggak banyak. Jadi, harus diirit-irit. Misalnya, untuk tempe goreng tepung, biasanya bisa berkali-kali masak. Sekarang hanya dua kali,” kata seorang pegawai Warteg Bahari.

Adapun sebuah warteg kecil tanpa nama di kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, tampak tak menjual masakan olahan tempe sejak hari ini. Yusari, pemilik warteg, tak mampu menyimpan tempe dalam jumlah banyak. “Bingung menyimpannya,” kata perempuan berusia 41 tahun itu.

Absennya tempe membuat konsumennya mengeluh. Sebab, tempe menjadi pilihan lauk yang murah tapi tetap enak di lidah. Adapun menu yang paling dicari adalah tempe goreng tepung. Menurut Yusari, para konsumen pasti mencari lauk yang renyah untuk lauk makan. Maka, tempe goreng tepung menjadi pilihan utama. “Karena tempe enggak ada, kerupuk bundar yang dicari,” kata dia.

Yusari pun berharap tempe segera hadir lagi di pasar. Sebab, faktanya, tempe menjadi primadona masyarakat, terutama kelas bawah. “Karena saya menyasar (kelas) yang bawah, makanya enggak ada tempe sangat berarti,” ujar Yusari.

INDRA WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus