Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cetak Rupiah Rawan Rasuah

31 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROYEK pencetakan uang rupiah selalu saja ramai masalah. Mulai lelang yang tak transparan, perseteruan Bank Indonesia dengan pabrikan uang, hingga isu suap. Satu sengketa terjadi pada 2000, tatkala PT Pura Barutama, pabrik kertas uang di Kudus, Jawa Tengah, menang tender pengadaan kertas untuk uang pecahan Rp 1.000 dan Rp 5.000.

Satu Deputi Gubernur Bank Indonesia, ketika itu, dituduh menerima dana dari Pura Barutama lantaran memuluskan tender kertas uang 400 juta bilyet itu. Persoalan ini menyeruak gara-gara korespondensi perusahaan pencetakan uang internasional, Crane & Co., dari Amerika Serikat, dan Portals Group dari Inggris. Kedua per usahaan itu mencurigai adanya kolusi lantaran bank sentral memenangkan Pura Barutama, yang belum terbukti kualitasnya.

Salah satu surat yang dikirim William G. Westervelt, International Sales Manager Crane & Co., kepada Bambang Sudibyo, Menteri Keuangan saat itu, serta sejumlah deputi gubernur Bank Indonesia, terang-terangan menyatakan Pura Barutama belum memenuhi syarat pabrik kertas uang modern. Pabrik milik Jacobus Busono itu bahkan dikatakan belum pernah mencetak kertas uang satu kilogram pun. ‘’Saya minta Bank Indonesia mempertimbangkan kembali, dan membuka keseluruhan tender secara legal dan transparan,’’ demikian surat itu.

Sayang, klaim perusahaan asing itu baru terbukti setahun kemudian. PT Percetakan Uang Republik Indonesia, yang bertugas mencetak uang, tak bisa bekerja karena kertas Pura Barutama tak bisa dicetak dengan baik. ”Kertasnya berdebu dan hasil cetakannya jadi melengkung karena kertasnya keriting,” kata sumber di Peruri, menceritakan pengalamannya kepada Tempo, awal bulan lalu.

Akibatnya, peredaran uang sempat terganggu. Namun dugaan suap ini menguap begitu saja. Ketika isu itu muncul, juru bicara PT Pura, Hasan Aoni Azis, menyatakan keberatan mutu kertasnya dipersoalkan. ”Peruri sendiri sudah menyetujui kertas kami lewat hasil uji laboratoriumnya,” katanya (Tempo, 15 Januari 2001).

Pada 2006, ketika Bank Indonesia menunjuk perusahaan asing, antara lain Giesecke & Devrient dari Jerman dan De La Rue dari Inggris, sebagai produsen uang kertas pecahan Rp 2.000 dan Rp 20 ribu, isu suap juga muncul. Kemenangan perusahaan itu mengundang protes karena saat itu baru saja keluar peraturan pemerintah yang menyatakan pencetakan uang harus dilakukan di dalam negeri oleh Peruri. Tindakan ini menimbulkan dugaan adanya makelar asing yang bermain dalam tender.

Jejak makelar itu kemudian terendus pada Maret lalu, tatkala media Jerman memberitakan dugaan suap Ferrostaal AG, pemasok produk Giesecke and Devrient. Perusahaan itu dituduh mengucurkan suap hingga 240 juta euro, atau sekitar Rp 3 triliun, untuk kepentingan bisnisnya di beberapa negara, antara lain di Indonesia. Jejak Ferrostaal di Indonesia tercium lewat peranan Michael Groos, pimpinan cabang perusahaan itu, yang memasukkan kertas uang Louisenthal dan mesin sortasi produksi Giesecke and Devrient (Tempo, 3 Mei 2010).

Danang Widoyoko, koordinator Indonesia Corruption Watch, mengatakan proyek pengadaan barang strategis semacam mata uang memang rawan penyimpangan. Sebab, sifatnya cenderung tertutup, dan seluruh kebijakan dilakukan lewat satu pintu, yakni Bank Indonesia. Pemain bisnis security printing juga sedikit. ”Kadang order sengaja diarahkan, dan di sinilah muncul suap.”

Toni Iskandar Pandelaki, Sekretaris Perusahaan Peruri, mengatakan tuduhan suap tak selamanya relevan dan terbukti. Peruri, menurut Toni, pernah mengalami tuduhan semacam ini ketika menang tender pencetakan uang dan paspor di Nepal dan Sri Lanka. ”Para pesaing itu menuduh tanpa menunjukkan bukti,” katanya.

Namun tak tertutup kemungkinan penyimpangan terbesar dilakukan para agen perantara. Toni mengatakan agen berperan penting, terutama untuk menembus informasi tender. ”Untuk jasa itu memang ada fee,” katanya. Ini yang kemudian menjadi celah kebocoran. Sumber Tempo mengatakan para makelar ini kerap bermain tanpa diketahui perusahaan prinsipalnya. ”Mereka ini kadang tak terkendali.”

Fery Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus