LEBIH dikenal sebagai P2 di kalangan koleganya, nama Prajogo Pangestu meroket sejak lima tahun silam. Dan kini, P2 semakin dikenal sebagai konglomerat utama negeri ini, yang disegani baik kawan maupun lawan bisnisnya. Padahal, lima belas tahun lalu, Prajogo masih berstatus karyawan Grup Djajanti, sebuah perusahaan kayu lapis terbesar di Indonesia waktu itu. Dari industri plywood, lewat program HTI (hutan tanaman industri), ia siap menerobos ke industri kertas dan pulp. Serentak dengan itu, Prajogo merintis jalan ke industri petrokimia, yang lebih dikenal sebagai proyek olefin Chandra Asri. Kalau sukses, yang disebut terakhir ini akan membebaskan Indonesia dari ketergantungan pada impor bahan baku plastik. Ternyata, jalan ke sana masih berliku, apalagi sejak pembatasan proyek mega yang ditetapkan oleh Tim PKLN (Pengendalian Pinjaman Komersial Luar Negeri), Oktober 1991. Bersama-sama proyek Exor dan Arun Aromatic, olefin Chandra Asri dihentikan proses pembangunannya. Seperti Pertamina (pemilik Exor), Prajogo juga terpukul oleh kebijaksanaan Tim PKLN. Ia tidak segera menyerah. Pengusaha berusia 48 tahun ini -- 49 tahun kalau dihitung dengan kalender Cina -- tak putus-putus mencari peluang, agar dana yang sudah tertanam di olefin tidak menguap begitu saja. Pekan silam, ketika olefin Chandra Asri dibolehkan jalan terus -- satu-satunya megaproyek yang mendapat izin khusus semacam itu -- masyarakat gempar dan nama Prajogo kembali menjadi buah bibir. Nama Prajogo baru bergaung ketika Bank Duta terkena musibah (1990). Entah siapa yang mulanya meniupkan isu, nama pengusaha asal Pontianak ini jadi pembicaraan juga di selasela pesta cocktail dan obrolan di beberapa coffee shop di Jakarta. Alkisah, dialah yang disebut-sebut telah tampil sebagai salah satu "dewa penolong", dengan mengulurkan dana cukup besar untuk membantu bank yang tiba-tiba ketiban musibah itu. Orang pun dengan gampang lantas mengait-ngaitkan suntikan dana itu dengan keberhasilan Prajogo meneruskan proyek Chandra Asri di bawah topi baru PMA. Gunjingan bisnis sekitar Prajogo tidak cuma itu. Banyak orang menduga, kelak Pemerintah akan memproteksi produk Chandra Asri, yakni olefin. Dengan kata lain, Prajogo dan kawan-kawan akan meminta Pemerintah agar mengetatkan keran impor, misalnya dengan menaikkan bea masuk olefin. Persis seperti proteksi Pemerintah untuk melindungi pabrik kertas ban Branta Mulia dari ancaman produk impor. Selain itu, para pengamat bertanya-tanya, mengapa sesudah ada lampu hijau dari Menteri Moerdiono dan Menteri Radius Prawiro, Prajogo dan kawan-kawan, hingga pekan ini, belum mengajukan permohonan perubahan status Chandra Asri dari PMDN ke PMA. Soal pembagian saham antara investor asing dan pengusaha lokal (yang merencanakan mendirikan perusahaan di luar negeri) juga belum jelas. Untuk menjawab pertanyaan ini, Prajogo bersama dua direktur Chandra Asri menerima wartawan TEMPO Max Wangkar dan Budi Kusumah untuk sebuah wawancara di kantornya, akhir pekan silam. Max dan Budi menemui P2 di Jalan Juanda III, Jakarta -- di sebuah gedung mirip ruko dan tanpa papan nama. Tata ruang kantor yang berlantai empat itu tampak belum disentuh oleh tangan ahli dekorasi ruangan, seperti lazimnya kantor-kantor kaum konglomerat di sini. Bahwa itu kantor Prajogo, hanya bisa dipastikan dari potret-potret yang terpajang di sana. Di satu ruang rapat, selain ada beberapa lukisan, terlihat potret Prajogo ketika memancing dengan Presiden Soeharto. Juga ada foto P2 bersama Presiden AS George Bush, serta potretnya bersama Bambang Trihatmodjo, bos Bimantara Group. Berikut petikan wawancara tersebut. Apa komentar Anda tentang keputusan Pemerintah yang meloloskan proyek Chandra Asri? Atas nama manajemen Chandra Asri, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah. Dengan keputusan ini, kami bisa mewujudkan proyek olefin di Cilegon itu sesuai dengan jadwal. Benarkan Anda menggelembungkan nilai proyek ini, seperti digunjingkan beberapa orang di luaran? Tidak benar. Sejak semula hingga sekarang, kami tidak pernah melakukan markup. Memang, anggaran proyek yang semula US$ 2,25 milyar turun menjadi US$ 1,6 milyar. Tapi itu terjadi sematamata karena ditundanya pembangunan beberapa bagian proyek. Ada lima item pabrik (butaedine, butene1, MTBE, benzene, dan plypropylene) yang pembangunannya kami tunda. Ditambah lagi, kami menurunkan kapasitas tiga pabrik, sehingga kapasitas yang tadinya direncanakan mencapai 2 juta ton turun menjadi 1,2 juta ton. Selain itu, kami juga akan menunda pembangunan sarana penunjang pabrik seperti jalan, rumah karyawan, dan pusat pendidikan karyawan. Mengapa proyek ini tiba-tiba menjadi 100% PMA? Itu keputusan Pemerintah. Dan seperti yang telah diumumkan, keputusan ini diambil agar tidak terlalu membebani neraca pembayaran. Dengan 100% PMA, bukankah ini melanggar aturan main investasi luar negeri, yang mengharuskan keterlibatan swasta sebesar 20% pada tahap pertama? Kami selalu mematuhi keputusan pemerintah. Siapa saja pihak asing yang disertakan dalam proyek ini? Cukup banyak. Dari Jepang ada Marubeni sebagai leader, kemudian Showa Denko K.K., Tosoh Corporation, Asahi Chemical Industry Co., dan Asahi Glass. Selain itu masih ada Neste Chemical dan Finfund dari Finlandia, dan Union Carbide dari AS. Anda bersama rekan bisnis di dalam negeri akan tetap ikut dalam proyek ini dengan cara mendirikan perusahaan di luar negeri. Di mana dan berapa modal yang akan disetorkan? Semuanya masih belum pasti. Masih dihitung-hitung. Dari mana Anda memperoleh dana yang akan digunakan sebagai penyertaan modal? Yah, kita lihat-lihat kantong dulu lah. Yang jelas, setoran modal tidak akan kami lakukan sebelum Chandra Asri sebagai PMA murni terbentuk. Apakah Anda sudah mengajukan perubahan status dari PMDN menjadi PMA ke BKPM? Belum. Semuanya masih dalam proses. Ada yang bilang, proyek ini gol lantaran Anda punya hubungan yang bagus ke atas. Tidak betul. Kami selalu melalui prosedur yang seharusnya. Tapi ada juga yang bilang bahwa proyek ini bisa lolos karena Anda pernah menyuntik Bank Duta sebesar US$ 250 juta. Itu tidak betul. Tolong Saudara kutip, Saudara mendengar dari saya pribadi bahwa saya mengatakan tidak betul. Memang, kami ada menyumbang kepada beberapa yayasan yang dipimpin Bapak Soeharto. Tapi ini kami lakukan karena merupakan suatu kehormatan. Alasannya, sejak berdiri tahun 1970-an, yayasan-yayasan itu sudah berhasil membantu ribuan pelajar dan mahasiswa di seluruh pelosok tanah air. Juga rumah-rumah ibadah dan rumah-rumah sakit, sudah banyak yang didirikan oleh yayasan tersebut. Jadi, bantuan yang saya berikan benar-benar tulus. Benarkah jumlah yang Anda sumbangkan mencapai US$ 250 juta? Saya sebutkan sekali lagi bahwa saya menyumbang dengan tulus. Jadi, saya tidak pernah menghitung sudah berapa jumlahnya. Pokoknya, janganlah dikait-kaitkan dengan proyek Chandra Asri. Seolah-olah proyek ini saya mark up untuk menutup sumbangan yang saya berikan. Itu sama sekali tidak benar. Bagaimana dengan utang Chandra Asri pada Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara? Jumlahnya US$ 218 juta dan akan segera kami bayar. Kapan? Segera, setelah proyek selesai dan mulai beroperasi (Menurut rencana, pabrik olefin akan mulai beroperasi pada awal 1995. -- Red.). Jadi, sementara pabrik belum beroperasi, kini Chandra Asri hanya membayar bunganya? Tidak. Bunganya pun dibayar nanti bersama utang pokoknya. Soalnya, pinjaman ini menggunakan sistem IDC (interest during construction). Dengan cara ini, bunga dan utang pokok dibayar setelah pembangunan proyek selesai. Seperti membangun hotel. Utang untuk pembangunan baru dibayar jika hotel yang bersangkutan sudah menerima tamu. Berapa persen bunga yang harus Anda tanggung? Pokoknya, sesuai dengan bunga komersial yang berlaku. Itu saja. Setelah pabrik kelak jadi, apakah Anda akan minta proteksi Pemerintah dari serangan olefin impor? Itu tidak pernah terpikirkan oleh saya. Dengan kata lain, apa pun yang terjadi, Chandra Asri tetap akan taat pada ekonomi pasar. Ada yang menduga, jika kelak industri olefin ini merugi, Chandra Asri akan menyerahkan kepada Pemerintah. Lo, kenapa begitu? Ini kan PMA. Kalaupun rugi, yang menanggung ya PMA juga. Dengan menjadi 100% PMA, Chandra Asri tak lagi memperoleh jaminan untuk mendapat suplai nafta dari Pertamina. Bagaimana jika kelak ternyata Pertamina lebih suka mengekspor naftanya ketimbang menjual di dalam negeri? Hubungan kami dengan Pertamina memang menjadi hubungan jualbeli biasa. Jika nanti suplai dari Pertamina ternyata kurang, kami terpaksa mengimpor. Harganya tentu harus sesuai dengan harga pasar. Jadi, jika Pertamina mengekspor dengan harga US$ 200 per ton, misalnya, kami pun akan membeli dengan harga itu. Apakah Anda akan meminta agar nafta yang diimpor kelak dibebaskan dari bea masuk? Saya kira semuanya sudah diterangkan dengan jelas pada rilis yang diumumkan Menko Ekuin. Ini sebuah proyek besar, yang dengan sendirinya tentu mengandung risiko besar. Kok, Anda berani? Yang namanya dagang, untungrugi itu biasa. Tapi kami punya perhitungan, insya Allah proyek ini akan kembali modal dalam waktu tujuh sampai delapan tahun setelah tahun 1995. (Jika berhasil sebagai penyuplai olefin satusatunya di Indonesia, dari penjualan di dalam negeri saja, Chandra Asri akan meraih omset US$ 1 milyar setahun. Itu belum termasuk hasil penjualan ekspor, yang diperkirakan akan menyerap 30% dari total produksi. Red.) Kalau menguntungkan, kenapa proyek ini tidak dibikin dari dulu? Lo, kami memang sudah lama merencanakan. (Dua direktur Chandra Asri, Joso A.G. dan Jansen Wiraatmaja, membenarkan bahwa Prajogo telah melemparkan ide pendirian industri olefin ini sejak 1985. Red.). Setelah proyek ini selesai, apa yang akan dilakukan? Jika dananya memungkinkan, kami akan melanjutkan pembangunan yang tertunda. Kalau boleh tahu, berapa rencana investasi total yang akan dimasuakkan dalam proyek di Cilegon itu? Sesuai dengan rencana, industri di Cilegon ini akan menghabiskan US$ 3,3 milyar. Kalau saat ini kami hanya membangun empat pabrik, nanti jumlahnya akan bertambah menjadi 11. Begitupun sarana dan prasarana penunjang akan kami lengkapi. Termasuk membangun pelabuhan, kabarnya? Betul. Sekarang hanya ada satu pelabuhan di sana, nanti akan ada tiga pelabuhan. Berapa luas tanah yang sekarang dan kelak akan dipakai? Total, pusat industri petrokimia ini akan menggunakan lahan tak kurang dari 500 hektare. Tapi untuk tahap pertama, hanya akan memakai 125 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini