Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cita-cita memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) sendiri nyaris hanya menjadi mimpi. Dalam sebuah seminar di kampus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, pada 1963, ahli hukum pidana senior seperti Roeslan Saleh, Muljatno, dan Kadarusman menyatukan cita-cita untuk merancang KUHP buatan Indonesia. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat ketika itu Indonesia sudah 17 tahun menggunakan KUHP yang hampir seluruhnya berasal dari Belanda. Padahal KUHP tersebut disusun pada 1886. "Umurnya sudah 100 tahun lebih," ujar mantan Menteri Kehakiman Muladi, yang juga anggota Panitia Penyusunan Rancangan KUHP, kepada Muannas dari Tempo News Room.
Tapi cita-cita itu tak melulu dilandasi alasan filosofis. Guru besar hukum pidana Universitas Trisakti, Andi Hamzah, yang juga anggota tim penyusun itu, mengakui bahwa situasi politik ketika itu pun turut memberikan andil yang besar untuk mendorong realisasi cita-cita tersebut. Pada saat itu, Indonesia memang tengah dilanda euforia anti-asing. Apa pun yang berbau asing ditentang, termasuk Belanda. Beberapa tahun sebelumnya, pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Bung Karno pun ikut memanaskan situasi dengan melontarkan slogan "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis."
Kendati demikian, ternyata tak mudah merealisasikan cita-cita mulia itu. Keinginan para senior itu baru mulai terkuak 19 tahun kemudian ketika Ali Said menjadi Menteri Kehakiman. Begitu mendapatkan lampu hijau dari Presiden Soeharto, Menteri Ali langsung menyusun tim yang diketuai Profesor Soedarto (Universitas Diponegoro). Anggota awal antara lain terdiri atas J.E. Sahetapy (Universitas Airlangga) dan Mardjono Reksodiputro (Universitas Indonesia). Menyusul kemudian antara lain Andi Hamzah (Trisakti), Barda Nawawi Arief (Diponegoro), Muladi (Diponegoro), dan Bagir Manan (Padjadjaran). Pada 1986, Soedarto meninggal dan digantikan Prof. Roeslan Saleh. Tapi Roeslan hanya setahun menduduki posisi ketua tim dan digantikan Mardjono.
Andi Hamzah menceritakan bahwa tim penyusun kebanyakan hanya bekerja pada akhir pekan. Biasanya mereka bekerja di Bogor atau di Puncak, Jawa Barat. Maklumlah, anggota tim itu berasal dari banyak kota. Soedarto, Barda, dan Muladi, misalnya, setiap kali harus terbang dari Semarang, sementara Bagir harus naik kereta api dari Bandung. Sesekali tim penyusun dikumpulkan di satu hotel dan bekerja maraton selama sepekan. "Kalau rapat, paling 10 orang dan pengetik yang datang bergantian," kata Andi.
Selama tujuh tahun pertama, kata Andi, tim itu hanya menginventarisasi apa saja yang akan dicantumkan dalam rancangan KUHP. Setelah beres, tim itu dibagi ke dalam kelompok-kelompok yang membahas per topik sebelum menuangkannya dalam pasal-pasal. Muladi dan Barda berada di tim yang membahas kejahatan susila. Andi Hamzah sendiri kebagian kejahatan yang menggunakan teknologi, kejahatan di dunia maya, dan kejahatan lingkungan. "Yang paling repot timnya Pak Muladi," katanya. Tapi Barda enggan menceritakan saat-saat penyusunannya. Barda hanya mengatakan bahwa sebagian besar pasal dalam delik susila didasari kondisi riil masyarakat yang sudah gerah menghadapi berbagai kejahatan seksual, termasuk seks tanpa nikah.
Setelah selesai, pasal-pasal yang disusun dibicarakan dalam pertemuan panitia besar. Baru tiga tahun terakhir panitia tersebut membicarakan pasal demi pasal secara rinci. Tim Mardjono akhirnya menyelesaikan pekerjaannya pada 1992. Hasil kerja yang belum final itu "diuji" melalui seminar, lokakarya, dan simposium. Draf final akhirnya beres pada 1993. "Bukan cuma sekarang rancangan itu diperdebatkan," ujar Andi Hamzah. Sayang, hasil kerja Mardjono dan kawan-kawan hanya teronggok di Kuningan, kantor Departemen Kehakiman, selama 10 tahun.
Menteri Kehakiman sudah berkali-kali berganti—dari Ali Said, Ismail saleh, Oetojo Oesman, sampai Yusril Ihza Mahendra—tapi naskah tersebut tetap saja belum diajukan ke presiden, sebelum akhirnya diajukan ke DPR. Selama itu pula praktis tak banyak perubahan yang dilakukan. Baru sekarang Yusril mencoba mensosialisasinya lagi. Itu pun bukan karena rancangan ini memang sangat penting untuk digolkan, melainkan karena Departemen Kehakiman sudah mendapatkan dana untuk sosialisasi. Agaknya jalan untuk merengkuh cita-cita memiliki KUHP made in Indonesia masih lumayan panjang.
Endri Kurniawati, Juli Hantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo