Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Bank Indonesia selaku otoritas moneter berperan sentral dalam menjaga stabilitas perekonomian. Intervensi politik terhadap BI bisa merusak perekonomian, seperti yang pernah terjadi saat Orde Lama ataupun Orde Baru. “Sejarah itu jangan sampai berulang,” ujar Direktur Segara Institute, Piter Abdullah Redjalam, kepada Tempo, Jumat, 21 Oktober 2022.
Tanggung jawab sebagai penjaga stabilitas perekonomian negara, dia melanjutkan, membuat Bank Indonesia harus independen dan jauh dari campur tangan politik. Sebab, kesalahan dalam pengelolaannya dapat menyebabkan kerusakan perekonomian yang masif.
Menurut Piter, pengalaman buruk intervensi terhadap bank sentral pula yang pada akhirnya mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan undang-undang tersebut, bank sentral terbebas dari kepentingan politik.
Dalam aturan itu, ditegaskan bahwa mereka yang boleh menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia adalah orang-orang yang bersih dari politik atau bukan pengurus maupun anggota partai. Ketentuan ini yang diharapkan dapat terus dipertahankan, termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau omnibus law sektor keuangan.
Piter menjelaskan, pada era Orde Lama, Bank Indonesia masih berada di bawah pemerintah. Petaka datang ketika pemerintah saat itu memerintahkan BI mencetak uang guna membiayai proyek-proyek mercusuar pemerintah. “Akibatnya, inflasi melambung tinggi, perekonomian hancur, semua sendi-sendi perekonomian rusak,” ujar dia.
Kondisi serupa berulang pada Orde Baru, meski intervensi terhadap bank sentral dibuat tak terlalu kentara. Sampai akhirnya, Indonesia mengalami krisis finansial besar pada periode 1997-1998 yang membuat negara ini tenggelam dalam inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi terkait BLBI di Jakarta. Dok Tempo/Eko Siswono Toyudho
Pengalaman Buruk Bank Indonesia dalam BLBI
Pengalaman pahit juga menerpa Bank Indonesia ketika memberikan bantuan likuiditas (BLBI) kepada sejumlah bank yang hampir bangkrut saat krisis moneter 1998. Dana BLBI dikucurkan berdasarkan perintah Presiden Soeharto lewat Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Pada Desember 1998, total dana bantuan yang disalurkan sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Namun dana tersebut justru diselewengkan para penerimanya. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan total kerugian negara mencapai Rp 138 triliun dari dana yang telah disalurkan.
Setelah reformasi, pemerintah menegaskan independensi bank sentral. Hasilnya, perekonomian Indonesia lebih kuat. “Kita bisa melewati berbagai krisis dengan selamat. Inflasi juga terus terjaga stabil dan rendah,” kata Piter.
Meski demikian, Bank Indonesia tak serta-merta bebas dari penyalahgunaan wewenang dan intrik politik. Sebut saja kasus yang melibatkan Miranda Goeltom. Dia terbukti menyuap anggota DPR untuk memuluskan langkahnya menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, berujar rencana dibolehkannya politikus bergabung dalam jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia bakal menurunkan muruah dan profesionalitas bank sentral. “Sebisa mungkin Bank Indonesia, seperti halnya juga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), steril dari kepentingan politik elektoral,” ujar Bhima.
Terlebih, jika berkaca pada pengalaman-pengalaman buruk yang pernah dialami Bank Indonesia ketika intervensi politik membuyarkan kinerja dan berdampak negatif pada perekonomian. “Jangan sampai ada lagi uang bailout yang bisa bocor masuk ke segala penjuru tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas,” kata Bhima.
GHOIDA RAHMAH | NOVA (MAGANG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo