Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Catatan Kelam dari Orde Lama hingga BLBI

Pengalaman buruk intervensi politik terhadap Bank Indonesia membentang sejak era Orde Lama. Dari BI diperintahkan mencetak uang untuk membiayai proyek mercusuar hingga kasus BLBI yang merugikan negara Rp 138 triliun.

22 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Area perkantoran Bank Indonesia, Jakarta, 31 Mei 2022. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTABank Indonesia selaku otoritas moneter berperan sentral dalam menjaga stabilitas perekonomian. Intervensi politik terhadap BI bisa merusak perekonomian, seperti yang pernah terjadi saat Orde Lama ataupun Orde Baru. “Sejarah itu jangan sampai berulang,” ujar Direktur Segara Institute, Piter Abdullah Redjalam, kepada Tempo, Jumat, 21 Oktober 2022.

Tanggung jawab sebagai penjaga stabilitas perekonomian negara, dia melanjutkan, membuat Bank Indonesia harus independen dan jauh dari campur tangan politik. Sebab, kesalahan dalam pengelolaannya dapat menyebabkan kerusakan perekonomian yang masif. 

Menurut Piter, pengalaman buruk intervensi terhadap bank sentral pula yang pada akhirnya mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan undang-undang tersebut, bank sentral terbebas dari kepentingan politik.

Dalam aturan itu, ditegaskan bahwa mereka yang boleh menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia adalah orang-orang yang bersih dari politik atau bukan pengurus maupun anggota partai. Ketentuan ini yang diharapkan dapat terus dipertahankan, termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau omnibus law sektor keuangan.

Piter menjelaskan, pada era Orde Lama, Bank Indonesia masih berada di bawah pemerintah. Petaka datang ketika pemerintah saat itu memerintahkan BI mencetak uang guna membiayai proyek-proyek mercusuar pemerintah. “Akibatnya, inflasi melambung tinggi, perekonomian hancur, semua sendi-sendi perekonomian rusak,” ujar dia.

Kondisi serupa berulang pada Orde Baru, meski intervensi terhadap bank sentral dibuat tak terlalu kentara. Sampai akhirnya, Indonesia mengalami krisis finansial besar pada periode 1997-1998 yang membuat negara ini tenggelam dalam inflasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi terkait BLBI di Jakarta. Dok Tempo/Eko Siswono Toyudho

Pengalaman Buruk Bank Indonesia dalam BLBI

Pengalaman pahit juga menerpa Bank Indonesia ketika memberikan bantuan likuiditas (BLBI) kepada sejumlah bank yang hampir bangkrut saat krisis moneter 1998. Dana BLBI dikucurkan berdasarkan perintah Presiden Soeharto lewat Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Pada Desember 1998, total dana bantuan yang disalurkan sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Namun dana tersebut justru diselewengkan para penerimanya. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan total kerugian negara mencapai Rp 138 triliun dari dana yang telah disalurkan.

Setelah reformasi, pemerintah menegaskan independensi bank sentral. Hasilnya, perekonomian Indonesia lebih kuat. “Kita bisa melewati berbagai krisis dengan selamat. Inflasi juga terus terjaga stabil dan rendah,” kata Piter.

Meski demikian, Bank Indonesia tak serta-merta bebas dari penyalahgunaan wewenang dan intrik politik. Sebut saja kasus yang melibatkan Miranda Goeltom. Dia terbukti menyuap anggota DPR untuk memuluskan langkahnya menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, berujar rencana dibolehkannya politikus bergabung dalam jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia bakal menurunkan muruah dan profesionalitas bank sentral. “Sebisa mungkin Bank Indonesia, seperti halnya juga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), steril dari kepentingan politik elektoral,” ujar Bhima.

Terlebih, jika berkaca pada pengalaman-pengalaman buruk yang pernah dialami Bank Indonesia ketika intervensi politik membuyarkan kinerja dan berdampak negatif pada perekonomian. “Jangan sampai ada lagi uang bailout yang bisa bocor masuk ke segala penjuru tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas,” kata Bhima.

GHOIDA RAHMAH | NOVA (MAGANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus