Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dalam Kepungan Kawat Berduri

Penempatan pasukan pada Mei 1998 didasarkan pada rencana operasi Cilangkap.

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba saja Jakarta lowong pada hari itu, Kamis 21 Mei 1998.

Tinggal satu-dua kendaraan—dari sekitar tiga juta yang biasa melintas. Patroli pasukan bersenjata lengkap hilir-mudik hingga ke jalan tikus. Tank dan panser berjaga di setiap sudut. Pasukan dari seluruh Indonesia tumplek ke Jakarta.

Komando Strategi Angkatan Darat mengerahkan pasukan dari Garut dan Tasikmalaya, Malang, dan Makassar. Menurut Kepala Staf Kostrad kala itu, Mayor Jenderal Kivlan Zen, dua pertiga kekuatan pasukannya ada di Jakarta. Artinya, setara dengan 178 kompi atau sekitar 17 ribu tentara.

Dan Kostrad bukan satu-satunya….

Ada Komando Pasukan Khusus, Komando Pasukan Khas Angkatan Udara, serta Marinir. Mereka bergegas ke Jakarta sejak hari pertama kerusuhan meledak di Ibu Kota pada 13 Mei.

Monumen Nasional, Jakarta Pusat, menjadi salah satu wilayah yang paling dijaga ketat. Kawat berduri menjuntai di segala jalan menuju ke kawasan itu. Berembus kabar, ada musuh bakal datang dari Teluk Jakarta. Dan pasukan asing dengan kapalnya bersiaga menyerang.

Sejatinya, pengerahan pasukan atas perintah Panglima Komando Operasi Jaya Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin itu bukan untuk melawan kekuatan asing, melainkan mengantisipasi rencana Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Rais yang akan mengumpulkan sejuta manusia di Monas untuk memaksa Presiden Soeharto mundur.

Hari itu lewat tanpa huru-hara. Amien Rais batal beraksi.

Pagi, 22 Mei. Di Istana Merdeka, Presiden B.J. Habibie mendapat kabar adanya pergerakan pasukan. Kabar itu yang ia tulis di dalam bukunya, Detik-detik yang Menentukan: ”Pangab (Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Wiranto) melaporkan bahwa pasukan dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta.” Lalu, ”Ada juga konsentrasi pasukan di kediaman saya di Kuningan, demikian pula di Istana Merdeka.”

Menurut Habibie, Wiranto lalu mohon petunjuk. Dari laporan tersebut, ”Saya berkesimpulan Panglima Kostrad (Letnan Jenderal Prabowo Subianto) bergerak tanpa sepengetahuan Pangab.”

Habibie meneruskan, ”Saya tegaskan kepada Pangab: sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti. Kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan Kostrad segera kembali ke basis kesatuan masing-masing.”

Titah Presiden sudah turun. Hari itu juga Prabowo dicopot. Kudeta digagalkan?

Prabowo menampik dengan tegas tudingan menyiapkan kudeta: ”Kalau saya punya niat, saya panglima 34 batalion. Kenapa tidak saya lakukan?”

Kivlan heran mendengar kabar yang disampaikan Wiranto kepada Habibie. Ia memastikan Wiranto mengetahui pergerakan pasukannya. Menurut Kivlan, pola pengamanan itu sesuai dengan yang ditetapkan Markas Besar ABRI dalam rencana operasi pengamanan Pemilu 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998—yang disahkan sendiri oleh Wiranto.

Lagi pula, kata Kivlan kepada Tempo, ”Ketika itu semua di bawah kendali Panglima Komando Operasi, Sjafrie.” Dan perintah yang ia terima dari Panglima Kostrad Letnan Jenderal Prabowo Subianto adalah menyiapkan pasukan, ”Berapa pun yang diminta Sjafrie.”

Dalam wawancara dengan mingguan ini, Sjafrie membenarkan dia mengendalikan semua pasukan di Jakarta pada waktu itu. ”Semua di tangan saya,” ujarnya, Jumat pekan lalu.

Inilah pola pengamanan itu. Kostrad menjaga instalasi vital di seluruh Jakarta dan sekitarnya. Paskhas dan Marinir mengamankan kantor-kantor diplomatik negara asing di Jakarta. Kopassus, ujar Muchdi Purwoprandjono, Komandan Jenderal Kopassus kala itu, ”Bertugas mengamankan Istana dan kediaman Presiden Baharuddin Jusuf Habibie.”

Sesuai dengan prosedur, ujar Muchdi, ring satu pengamanan kediaman Presiden tetap dikawal oleh Pasukan Pengamanan Presiden. Pasukan ini dilengkapi sejumlah panser. Kopassus berjaga di ring lebih luar. ”Saat itu kami tempatkan sekitar 200 orang di kediaman Habibie di Kuningan,” tuturnya.

Seusai Prabowo diganti, Ibu Kota kembali normal. Kawat berduri di jalanan digulung. Presiden Habibie dan keluarganya, yang sempat diungsikan ke Wisma Negara, kembali ke Kuningan pada malam harinya.

Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus