Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPENGGAL waktu di tahun 1998, ketika Republik seperti delman ditinggalkan kusir.
Sang kusir, Presiden Soeharto, yang sudah memerintah lebih dari 30 tahun, sedang berada di Kairo. Ia mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi G-15, yang kelak dicatat sebagai yang terakhir dalam kariernya.
Jakarta berjalan tanpa arah. Demonstrasi meletus di mana-mana.
Soeharto mencium kondisi gawat. Ia memilih pulang lebih cepat. Tanggal 15 Mei 1998, ia sudah mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Dia segera mencoba pegang kendali. Semua pembantunya dipanggil satu per satu. Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie. Lalu menteri-menteri bidang politik dan keamanan. Panglima ABRI. Jaksa Agung. Dan kepala intelijen. Semua melaporkan situasi senada: Ibu Pertiwi demam tinggi.
Sebagai militer, Soeharto memilih mengendalikan pemegang kekuatan bersenjata. Dia angkat Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Wiranto, bekas ajudannya, yang waktu itu menjabat Panglima ABRI, ditunjuk jadi pimpinan. Wakilnya juga bekas ajudannya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. Keduanya direncanakan diangkat tiga hari kemudian.
Sejarah pun berulang. Tiga puluh dua tahun sebelumnya, tepatnya 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menerbitkan surat perintah untuk Soeharto—surat yang kemudian sangat dikenal dalam sejarah bangsa ini: Supersemar, yang kepanjangannya adalah Surat Perintah Sebelas Maret. Soekarno mengangkat Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto, menjadi Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban alias Pangkopkamtib. Soeharto menjadikan surat sakti itu sebagai bekalnya bertindak, sampai akhirnya dia menjabat Presiden Republik Indonesia.
Peran Soeharto kini dimainkan Wiranto. Dan pengangkatan Wiranto membuat gerah sejumlah perwira tinggi militer. Letnan Jenderal Prabowo Subianto, ketika itu Panglima Kostrad, adalah salah satunya. Menantu Presiden Soeharto itu datang ke mertuanya dan menyatakan ketidakpuasannya dengan penunjukan Wiranto. Sebuah konsep pernyataan pers ditunjuk sebagai bukti bahwa Wiranto tak lagi setia. Pernyataan pers ABRI itu, yang keluar setelah Jenderal Wiranto bertemu Ketua Umum Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid, berisi dukungan ABRI terhadap sikap NU meminta Soeharto turun panggung.
Soeharto tidak percaya. Dia memanggil Wiranto ke rumahnya di Jalan Cendana, Ahad subuh. Dalam buku Wiranto, Bersaksi di Tengah Badai (2003), bekas orang nomor satu ABRI ini bilang jika Presiden Soeharto sudah tidak lagi percaya, dia akan memilih mundur. Konon Soeharto menggeleng seraya berkata, ”Teruskan saja tugasmu.”
Malam harinya, ganti Subagyo yang dipanggil ke Cendana. Subagyo menyampaikan adanya dua kelompok dalam militer, yaitu kelompok Wiranto dan kelompok Prabowo. ”Saya ada di tengah-tengah,” kata Subagyo dalam biografinya, KSAD dari Piyungan (2004). Soeharto kemudian menawarkan kepadanya memegang tongkat komando Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Tetapi Subagyo menolak.
Soeharto semakin ragu. Pengangkatan Wiranto diyakini akan memperuncing rivalitas dengan Prabowo. Soeharto ambil keputusan. Lewat ajudannya, Kolonel (Pol.) Sutanto, kini Kepala Polri, dia membatalkan undangan pelantikan Panglima Komando tadi.
Soeharto akhirnya sendirian di puncak kuasa.
Situasi makin tak keruan. Esok harinya, selepas asar, Ketua DPR/MPR Harmoko, yang bertahun-tahun mengabdi pada Soeharto, ikut-ikutan meminta mantan bosnya mundur. Soeharto makin terbenam. Hanya pada militer ia bergantung. Wiranto dipanggil ke Cendana hari itu. Acara pelantikan Panglima Komando Operasi batal, tetapi surat pengangkatan untuk Wiranto tetap dibuat. Soeharto meneken Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998, yang memberi mandat kepada Wiranto mengambil tindakan seperlunya untuk mengamankan situasi. ”Surat ini akan digunakan atau tidak, terserah kamu!” Itu pesan Soeharto.
Praktis Wiranto memegang kuasa.
Dalam bukunya, Wiranto mengaku setelah menerima inpres ia langsung menuju Mabes ABRI. Selama dalam perjalanan dia menimbang pelbagai kemungkinan. Pertama, melakukan represi total dengan mengumumkan keadaan darurat militer dan mempertahankan pemerintahan yang sah. ”Semua menteri, pejabat pemerintah, dan daerah harus membantu tugas saya,” katanya kepada Tempo, Mei tiga tahun lalu. Toh, akhirnya ia memilih cara kedua, mengikuti penyelesaian secara konstitusional.
Hari berikutnya, Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat. Dia berjanji mengocok ulang kabinet. Ia mempertimbangkan menyerahkan mandat kepada Wakil Presiden. Kali ini Soeharto ragu-ragu. ”Apakah ini merupakan jalan penyelesaian masalah dan tidak akan timbul masalah baru?” tanya Soeharto seperti dikutip dari siaran televisi ketika itu. Habibie, dalam buku Detik-detik yang Menentukan (2006), mengaku tersinggung dengan keraguan Soeharto.
Rabu, 20 Mei 1998, Soeharto tinggal sendiri. Empat belas menteri kabinet menolak ikut masuk kabinet baru. Malam harinya, Habibie datang menghadap ke Cendana. Kedua petinggi Republik itu membahas nama-nama anggota Kabinet Reformasi yang akan dibentuk. Rencananya, esok hari kabinet itu diumumkan. Sehari kemudian pelantikan disiapkan.
Soeharto mempersilakan Habibie minum teh.
Tapi ada pesan bersejarah. Penguasa Cendana menyatakan Sabtu mendatang dia akan mengundang pimpinan DPR. Dia mau mundur. Habibie lama terdiam. Dia akhirnya memberanikan diri bertanya, ”Pak Harto, kedudukan saya sebagai wakil presiden bagaimana?”
”Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai presiden,” jawab Soeharto. Habibie kaget. Tapi dia tak berani bertanya. Soeharto hanya mengulurkan tangan. Keduanya berjabat tangan, lalu berpisah.
Malam itu juga Habibie memanggil anggota Kabinet Pembangunan VII ke rumahnya di kawasan Kuningan. Mereka sepakat mendukung pembentukan Kabinet Reformasi, toh Soeharto sudah siap mundur. Saat menghubungi Cendana, Presiden Soeharto menolak menerima telepon. Hanya Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursjid yang menyampaikan kabar bahwa esok hari Soeharto akan mengumumkan pengunduran dirinya. Wakil Presiden Habibie akan diserahi tampuk kekuasaan negara.
Pagi harinya, Kamis 21 Mei 1998 pukul 7 pagi, Wiranto telah menunggu di rumah Habibie. Wiranto melaporkan adanya inpres berupa surat mandat Soeharto kepadanya untuk bertindak demi keamanan dan stabilitas negara. Wiranto menanyakan apa yang harus diperbuat dengan mandat itu. ”Simpanlah inpres tersebut, mungkin Jenderal butuhkan,” kata Habibie.
Habibie sampai di Istana sebelum undangan lain tiba. Dia duduk di ruang tamu yang berhadapan dengan Ruang Jepara, tempat Presiden Soeharto berada. Rombongan Ketua Mahkamah Agung datang kemudian, disusul pimpinan DPR/MPR.
Protokol Istana mempersilakan pimpinan MA masuk Ruang Jepara. Setelah keluar, pimpinan DPR dipersilakan masuk. Habibie berdiri mematung. Ia sampaikan bahwa Soeharto berjanji ketemu dengannya. Tapi protokol menolak. Hilang kesabaran Habibie, ia merasa terhina. Dia pun melangkah ke Ruang Jepara. Belum sampai di ruangan, pintu terbuka, protokol mengumumkan Presiden Soeharto memasuki ruang upacara.
”Saya tercengang melihat Pak Harto melewati saya. Beliau terus melangkah ke ruang upacara dan melecehkan keberadaan saya di depan semua yang hadir,” kata Habibie.
Soeharto pun mundur. Dia mengucapkan salam perpisahan. Puluhan wartawan dalam dan luar negeri memberondongkan lampu kamera ke wajahnya. Mahasiswa di jalan-jalan bertempik-sorak. Habibie diambil sumpah sebagai presiden baru.
”Semuanya berlangsung cepat dan lancar. Pak Harto memberi salam kepada semua yang hadir, termasuk saya. Tanpa senyum maupun sepatah kata, dia meninggalkan ruang upacara,” ujar Habibie.
Hari itu, Republik yang oleng mendapatkan seorang kusir baru.
Agung Rulianto, Kurie Suditomo, Poernomo Gonta Ridho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo