Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyidik Kejaksaan Agung membidik peran Airlangga Hartarto dalam perkara minyak goreng.
Airlangga dianggap mengetahui semua kebijakan untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng.
Ia turut diperiksa dalam perkara dana sawit.
SEBULAN setelah menetapkan tiga korporasi sebagai tersangka korupsi minyak goreng, Kejaksaan Agung akhirnya memeriksa Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Selama 12 jam, jaksa memeriksa Ketua Umum Partai Golkar itu di Gedung Bundar, kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, pada Senin, 24 Juli lalu. Penyidik mencecar Airlangga, 60 tahun, dengan 46 pertanyaan seputar perannya dalam dugaan korupsi yang merugikan negara Rp 6,47 triliun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemeriksaan Airlangga merupakan tindak lanjut putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap lima terpidana kasus minyak goreng pada Mei lalu. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menjelaskan putusan itu menjadi modal bagi para penyidik menjerat tiga perusahaan produsen minyak goreng sebagai tersangka. “Pemeriksaan saksi untuk menambah alat bukti bagi tersangka tiga korporasi,” ucap Ketut kepada Tempo pada Jumat, 28 Juli lalu, merujuk pada status Airlangga dalam pemeriksaan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga perusahaan yang menjadi tersangka korporasi adalah Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group. Penyidik menilai keputusan bisnis tiga perusahaan tersebut yang memilih mengekspor minyak sawit memicu kelangkaan minyak goreng pada tahun lalu. Tiga pemimpin perusahaan itu sudah lebih dulu menjadi terpidana dalam kasus ini. Mereka adalah Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley Ma, dan General Manager PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto usai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, 24 Juli 2023/Tempo/Subekti.
Penyidik juga menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana dan anggota Tim Asistensi Menteri Airlangga Hartarto, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, sebagai tersangka kasus ini. Pemeriksaan terhadap Lin Che Wei menjadi pintu masuk penyidik memeriksa Airlangga.
Indonesia Communication Lead Musim Mas Group Reza Rinaldi Mardja tak banyak berkomentar soal perusahaannya yang menjadi tersangka korporasi. “Kami belum tahu kelanjutannya,” ujarnya, Jumat, 28 Juli lalu. Adapun manajemen PT Wilmar Nabati Indonesia, anak usaha Wilmar Group, tak kunjung membalas pertanyaan Tempo tentang status dan penanganan kasus ini.
Baca: Peran Muhammad Lutfi dan Lin Che Wei dalam Korupsi Minyak Goreng
Dugaan korupsi minyak goreng bermula saat komoditas ini langka di pasar pada akhir 2021 hingga awal 2022. Pada waktu itu harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), bahan baku minyak goreng, tengah melonjak di pasar global akibat invasi Rusia ke Ukraina. Seretnya pasokan gas dan minyak dari kedua negara itu membuat angka permintaan global minyak nabati melonjak. Sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia yang memproduksi 45 juta ton minyak sawit mentah setahun, kelangkaan minyak goreng menjadi ironi. Pemerintah meresponsnya dengan akrobat kebijakan sepanjang Januari-Maret 2022.
Pada 11 Januari 2022, terbit Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 mengenai penyediaan minyak goreng kemasan sederhana (MGKS) dan harga eceran tertinggi (HET). Perusahaan yang memproduksi MGKS menerima subsidi untuk menutupi selisih harga minyak goreng di pasar dengan HET. Subsidi disalurkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), lembaga di bawah Kementerian Keuangan yang mengelola pungutan ekspor dari perusahaan sawit.
Muhammad Lutfi saat masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan melakukan inspeksi mendadak ketersediaan minyak goreng dan bahan pokok di Kebayoran Lama, Jakarta, 9 Maret 2022/Tempo/Tony Hartawan
Pada 2021, dana yang terkumpul di BPDPKS mencapai Rp 71,6 triliun. Penentu penggunaan alokasi dana BPDPKS adalah Komite Pengarah BPDPKS. Sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menjabat Ketua Komite Pengarah BPDPKS. Dana BPDPKS belum sempat dikucurkan karena aturan pengendalian harga minyak goreng keburu berganti. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 gagal mengembalikan stok minyak goreng.
Menteri Perdagangan kala itu, Muhammad Lutfi, menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 pada 24 Januari 2022. Aturan itu menerapkan larangan terbatas kepada produsen mengekspor minyak sawit mentah dan sejumlah produk turunannya untuk menjaga stok domestik. Lagi-lagi, minyak goreng tetap langka.
Berikutnya keluar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2022 pada 15 Februari 2022. Kali ini perusahaan wajib memasok 20 persen total ekspor CPO mereka untuk kebutuhan dalam negeri, yang dikenal dengan sebutan domestic market obligation (DMO). Perusahaan yang memenuhi rasio itu akan mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah.
Di sini persoalan muncul. Kejaksaan Agung menemukan penyelewengan dalam pengambilan kebijakan penyelesaian kelangkaan minyak goreng. Dari aturan yang berganti-ganti itu, jaksa menilai ada kerugian negara. "Kami sedang mengusut perbuatan signifikan yang melawan hukum,” kata Ketut.
•••
PERAN Menteri Airlangga Hartarto dalam pusaran perkara minyak goreng muncul lewat kehadiran Lin Che Wei. Pria 54 tahun itu menjadi anggota Tim Asistensi Menteri Airlangga melalui Surat Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 376 Tahun 2019. Dalam tim itu, Lin Che Wei mengurusi bidang pangan dan pertanian. Dengan demikian, ia mengurus kelangkaan minyak goreng sebagai produk turunan kelapa sawit.
Menurut para penyidik, para terdakwa korupsi minyak goreng, termasuk Lin Che Wei, berulang kali menyebut nama Airlangga Hartarto dan Muhammad Lutfi yang berperan besar dalam membuat kebijakan penanganan kelangkaan minyak goreng.
Airlangga ditengarai mempengaruhi sejumlah kebijakan kelangkaan minyak goreng yang menguntungkan perusahaan kelapa sawit. Sementara itu, Lutfi menjadi pelapis Airlangga dalam mengambil kebijakan. Niat penyidik menggali peran Airlangga dan Lutfi muncul dalam pemeriksaan Lin Che Wei pada 13 Juni 2022. Pertanyaan penyidik kepada Lin Che Wei hanya berfokus pada dua hal: peran Airlangga dan Lutfi dalam kebijakan minyak goreng serta penggunaan dana pungutan ekspor sawit yang dikelola BPDPKS.
Dalam sebuah pemeriksaan, Lin Che Wei mengaku kerap berkomunikasi dengan Airlangga mengenai persoalan minyak goreng. Pada 27 Januari 2022, misalnya, ia diminta Airlangga membuat presentasi implementasi distribusi minyak goreng serta penghitungan kebutuhan dana BPDPKS. Lin Che Wei juga melaporkan berbagai hasil rapat dengan pengusaha kelapa sawit yang membahas kelangkaan minyak goreng. “Pak Menko meminta saya untuk melakukan exercise distribusi minyak goreng curah melalui BUMN,” kata Lin Che Wei kepada penyidik.
Kepada jaksa, Lin Che Wei juga mengaku menghadiri berbagai rapat bersama Komite Pengarah BPDPKS yang dipimpin Airlangga. Rapat itu mengundang narasumber utama BPDPKS pada periode Januari-awal Februari 2022. Narasumber utama BPDPKS terdiri atas empat pengusaha kelapa sawit, yakni Franky Oesman Widjaja dari Sinar Mas Group; Martias Fangiono dari First Resources; Martua Sitorus, pendiri Wilmar Group; dan Arif Patrick Rahmat dari PT Triputra Agro Persada. Dalam rapat itu, Airlangga memimpin keputusan menyalurkan Rp 7 triliun subsidi minyak goreng dari dana BPDPKS.
Baca: Bagaimana Pengusaha Menikmati Fasilitas Dana Sawit
Handika Honggowongso, kuasa hukum Lin Che Wei, mengatakan selama pemeriksaan jaksa menempatkan kliennya sebagai konsultan swasta tanpa kontrak. Namun, ketika sudah menjadi terdakwa, status Lin Che Wei berubah menjadi anggota Tim Asistensi Menteri Airlangga yang tidak memiliki wewenang apa pun. “Klien kami dipancing oleh pertanyaan: siapa yang punya wewenang?” ujar Handika pada Jumat, 28 Juli lalu.
Lin Che Wei, Handika mengungkapkan, awalnya tak menjawab secara gamblang. Tapi ia kemudian mengatakan bahwa Menteri Koordinator Perekonomian sebagai pejabat yang berwenang dalam penggunaan dana BPDPKS, termasuk subsidi minyak goreng. Adapun urusan ekspor CPO menjadi tugas Menteri Lutfi.
Penyidik Kejaksaan Agung menyebut Lin Che Wei sebagai penghubung pengusaha kelapa sawit dengan Airlangga dan Lutfi. Contohnya dalam perubahan kebijakan menjadi skema larangan terbatas pada rapat 24 Januari 2022. Lutfi meminta Lin Che Wei menyampaikan perubahan itu kepada Airlangga. Tiga hari kemudian, Lutfi membahas perubahan kebijakan tersebut bersama para narasumber utama BPDPKS tersebut.
Seorang sumber di Kejaksaan Agung mengatakan Airlangga mengetahui semua isi rapat antara Lin Che Wei, Kementerian Perdagangan, dan para pengusaha kelapa sawit. Meski jaksa belum menemukan Airlangga mendapatkan keuntungan finansial dari perannya dalam kasus ini, kebijakan-kebijakannya cenderung menguntungkan pengusaha sawit.
Lutfi tak kunjung merespons permintaan konfirmasi yang dikirim Tempo ke nomor telepon selulernya. Pada Juni 2022, ia diperiksa selama 12 jam. Kejaksaan Agung akan kembali memanggilnya pada awal Agustus 2023. Penyidik berencana menghadapkannya dengan keterangan Airlangga. “Pemeriksaannya pada 1 Agustus 2023,” ujar Ketut Sumedana.
Airlangga juga tak merespons surat permintaan wawancara Tempo lewat beberapa stafnya. Ketika ditemui selepas acara konferensi pers devisa hasil ekspor di kantornya pada Jumat, 28 Juli lalu, ia irit bicara. “No comment. Ini kasus ekonomi,” tuturnya.
Dengan kesaksian dan pernyataan Lin Che Wei, jaksa meluaskan pertanyaan untuk Airlangga. Tak hanya mengenai dampak kerugian negara akibat kelangkaan minyak goreng, jaksa juga bertanya ihwal penggunaan dana sawit BPDPKS untuk subsidi produksi biodiesel B30. Subsidi ini diberikan kepada pengusaha sebagai insentif produksi campuran solar dan minyak nabati dengan rasio 70 : 30 persen itu.
Dua jaksa mengatakan kerugian negara akibat penggunaan dana sawit ini mencapai triliunan rupiah. Ketika dimintai konfirmasi soal ini, Ketut tak menampik hitungan jaksa. “Tapi saya belum mendapatkan informasi detailnya,” katanya.
Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei di Pengadilan Pidana Korupsi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 31 Agustus 2022.
BPDPKS merupakan lembaga yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Selama 2015-2021, BPDPKS mengumpulkan dana dari pungutan ekspor sebesar Rp 139,2 triliun. Sebanyak 80 persen dari dana yang terkumpul itu digunakan untuk subsidi biodiesel.
Sebenarnya tugas BPDPKS bukan hanya memberikan dana subsidi biodiesel. Dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 juncto Perpres Nomor 24 Tahun 2016 juncto Perpres Nomor 66 Tahun 2018, tugas utama BPDPKS adalah memperbaiki tata kelola sawit, seperti pengembangan sumber daya manusia, penelitian, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, serta pembangunan sarana dan prasarana.
Penyelidikan alokasi dana sawit BPDPKS oleh Kejaksaan Agung dibenarkan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana. Ia mengaku sudah dimintai keterangan oleh jaksa mengenai alokasi dana sawit untuk subsidi biodiesel. Dadan menolak menjawab pertanyaan tentang materi pemeriksaan.
Lembaga yang dipimpin Dadan bertugas menentukan faktor konversi. Faktor konversi adalah satu komponen dalam harga indeks pasar (HIP) biodiesel. Subsidi biodiesel berupa selisih HIP biodiesel dan HIP solar. Besar atau kecilnya nilai faktor konversi menentukan besaran dana subsidi biodiesel. Karena itu, Kementerian Energi berkepentingan menekan angka faktor konversi.
Rak minyak goreng yang kosong di sebuah mini market di Jakarta, saat terjadi kelangkaan minyak goreng, 28 Januari 2022/Tempo/Subekti.
Dalam investigasi Tempo edisi 11-17 April 2022 berjudul “Kroni Dana Sawit”, para pengusaha sawit yang menjadi anggota Komite Pengarah BPDPKS mengusulkan faktor konversi sebesar US$ 100 per ton CPO pada 2020. Sementara itu, Kementerian Energi mengusulkan US$ 80. Dalam diskusi yang dihadiri para pengusaha sawit, rapat Komite Pengarah memutuskan angka US$ 85 per ton. Menurut hitungan Komisi Pemberantasan Korupsi, faktor konversi yang diusulkan pengusaha berpotensi merugikan negara Rp 4,2 triliun. Sebab, pengusaha sawit menikmati keuntungan subsidi lewat faktor konversi sebesar-besarnya dan mengatur pungutan ekspor sekecil-kecilnya.
Saat diwawancarai Tempo pada April 2022, Dadan mengatakan kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia yang diminta BPDPKS mengusulkan angka faktor konversi US$ 87,2. Mohamad Dian Revindo, peneliti LPEM UI yang mengkaji formula harga indeks pasar biodiesel, tak merespons pertanyaan Tempo ihwal angka itu. Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman enggan menjawab pertanyaan mengenai penyelidikan dana sawit oleh Kejaksaan Agung dengan alasan sedang dalam pemulihan sakit flu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fajar Pebrianto, Riky Ferdianto, dan Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terjepit Dana Sawit". Paragraf 16 telah dimodifikasi untuk lebih memperjelas sumber pernyataan Lin Che Wei.