Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI aktivis 1990-an yang melawan kekuasaan Orde Baru, Budiman Sudjatmiko rupanya gampang berubah pandangan dalam melihat masa lalu. Ketika mendukung Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019, politikus PDI Perjuangan itu terang-terangan menyerang Prabowo Subianto, pesaing Jokowi yang pada saat aktif di militer terlibat penculikan aktivis tahun 1997-1998. Kini, ketika Jokowi lebih condong mendukung Prabowo sebagai calon penggantinya, Budiman melupakan pernyataan-pernyataannya. Ia pun ikut mendukung pensiunan jenderal bintang tiga tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dukungan Budiman Sudjatmiko terlihat terang benderang saat ia mengunjungi rumah Prabowo pada Selasa, 18 Juli lalu. Bekas Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik itu kemudian menyatakan Prabowo sebagai calon pemimpin masa depan. Aktivis yang pernah ditangkap karena dituding menjadi dalang kerusuhan pengambilalihan kantor Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996 itu juga menyatakan tak perlu lagi mempersoalkan pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan Prabowo di masa lalu.
Baca: Mengapa Jokowi Makin Condong Mendukung Prabowo Subianto?
Sejumlah aktivis 1998 lain saat ini juga berada di barisan pemenangan Prabowo Subianto untuk Pemilu 2024. Mereka, juga Budiman Sudjatmiko, pastilah bukan aktivis yang lupa pada sejarah. Dukungan yang mereka berikan lebih menunjukkan sikap pragmatisme politik, bukan berdasarkan nilai-nilai. Pada 2009, Budiman tak terdengar menyuarakan penolakan ketika Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menggandeng Prabowo sebagai calon wakil presiden. Komisaris PT Perkebunan Nusantara V itu baru lantang berteriak melawan pencalonan Prabowo pada 2014 dan 2019 ketika partai banteng mengusung Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gejala “amnesia selektif” sekaligus pragmatisme seperti yang mereka pertontonkan telah lama menjangkiti kalangan aktivis penggiat demokrasi. Mereka yang dulu tampil gagah melawan penguasa otoriter akhirnya kehilangan idealisme ketika masuk gelanggang politik. Para mantan aktivis lantas larut dan hanyut mencari keuntungan pribadi. Upaya mereka memperjuangkan kepentingan publik pun menjadi nihil setelah berdekatan dengan politikus dan partai politik.
Baca: Geliat Aktivis 1998 yang Masuk Istana
Sebaliknya, elite politik pun memanfaatkan aktivis untuk meraih simpati masyarakat. Pada 2014, Jokowi yang panen dukungan dari banyak aktivis 1998 menggunakan isu pelanggaran HAM berat untuk menyerang Prabowo. Namun, setelah terpilih, ia malah memberikan posisi penting bagi pelanggar HAM berat. Puncaknya, pada 2019, Jokowi mencuci dosa Prabowo dengan menjadikannya Menteri Pertahanan, bahkan menggadang-gadang mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu sebagai calon presiden.
Baca artikelnya:
- Untuk Apa Aktivis 1998 Mendukung Prabowo Subianto?
- Manuver Para Aktivis 1998 Setelah Masuk Partai Politik
Pelanggaran HAM berat bukan noda ringan pada masa lalu calon presiden. Kejahatan itu adalah cacat besar yang tak boleh dilupakan. Memberikan panggung atau dukungan kepada pelaku pelanggaran HAM berat adalah pengingkaran keadilan terhadap korban dan keluarganya. Persoalan hak asasi manusia sudah selayaknya terus disuarakan sekalipun pelakunya telah diseret ke pengadilan. Di negara yang benar-benar demokratis, pelaku kejahatan HAM berat tak mendapat tempat, apalagi sampai mendapat karpet merah.
Dukungan politik dari Budiman Sudjatmiko dan pegiat demokrasi untuk Prabowo bisa menjadi sabun pencuci paling mustajab untuk membersihkan masa lalu sang kandidat. Cucian itu makin menjauhkan ingatan banyak orang—sekaligus menjauhkannya dari pengetahuan pemilih generasi muda—terhadap kejahatan-kejahatan Orde Baru. Di sinilah bahaya terbesar sikap politik Budiman dan kawan-kawannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Para Pencuci Kejahatan Masa Lalu"