Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi seorang kreator konten podcast rupanya belum bisa banyak menghasilkan pundi-pundi rupiah layaknya seorang YouTuber. Tapi, bagi para kreator, kehadiran podcast membuka banyak kesempatan untuk menyalurkan karya mereka ke bentuk lain. Misalnya buku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizky Ardi Nugroho, 33 tahun, mengatakan konten horor di podcast Do You See What I See? yang dikelolanya segera dibukukan. Ia mengaku sudah mencapai kata sepakat dengan sebuah penerbit untuk menerbitkan kumpulan cerita pendek horor yang pernah diunggah di podcastnya. "Nanti saya dan kontributor cerita akan berbagai royalti," kata dia kepada Tempo, Rabu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizky juga baru saja menyepakati kerja sama dengan aplikasi bernama Noice. Aplikasi itu membeli hak eksklusif konten podcastnya untuk ditayangkan kembali. Berbekal kerja sama ini, Rizky mendapatkan imbal balik berupa iklan di sejumlah videotron yang menampilkan keterangan tentang podcast-nya.
Ketika ditanyakan, Rizky atau yang biasa dikenal sebagai Mizter Popo enggan menyebutkan nominal kontraknya itu. Hanya, ia menyebutkan nominalnya sekitar belasan juta rupiah untuk 10 konten yang dibeli hak ciptanya. "Kontraknya cuma sebulan. Bisa diperbarui lagi," ujarnya.
Selain dari podcast misterinya, Rizky mendapatkan kesempatan menjadi pembicara mengenai wirausaha berkat konten podcast Cerita Usaha yang juga dikelolanya. Ia membuat lokakarya bertema wirausaha seperti perizinan usaha dan pemasaran digital gratis dan berbayar sekitar Rp 300 ribu. Ia juga tengah membuat t-shirt resmi podcast Do You See What I See? untuk dijual kepada para pendengarnya.
Sebuah platform streaming juga sedang menjajaki adanya kemungkinan membuat serial misteri berdasarkan cerita-cerita yang dimuat di podcast Do You See What I See?. Tapi, menurut Rizky, belum ada kesepakatan resmi mengenai hal itu. "Masih gerilya ini."
Tawaran membukukan konten podcast juga menghampiri Ario Pratomo, 35 tahun. Konten podcast-nya di Cerita BaBu pernah mendapatkan tawaran itu, tapi dirasa belum pas. Mereka mendapatkan tawaran sejak tahun lalu. "Kalau cari uang sebagai fokus utama, takutnya berpengaruh ke hubungan kami sebagai suami-istri."
Selain tawaran membukukan cerita, sejumlah brand menawarkan kerja sama berbentuk penyebutan produk mereka di dalam konten podcast. Ario menuturkan, dia dan istrinya pernah melakukannya di konten Curhat BaBu. Mereka membacakan informasi satu produk selama 15-30 detik di dalam konten podcast mereka yang berdurasi sekitar 45 menit. "Belum sampai belasan juta rupiah, masih jauh," ucap Ario.
Sementara Ario pernah memiliki pengalaman seperti itu di podcast Curhat BaBu, pengalaman berbeda dialaminya di podcast Thirty Days of Lunch. Di podcast lain yang juga dikelolanya itu, Ario pernah mendapatkan pekerjaan mengelola event offline dari salah satu produsen komputer.
Setiap kali ada ajakan kerja sama, Ario menanganinya sendiri. Tujuannya agar dia sebagai kreator konten bisa mendapat kebebasan membuat konten tentang produk yang akan ditawarkan. Ia melihat kerap kali pembuat konten masih dijadikan seolah-olah papan reklame ketika dihadapkan dengan urusan iklan.
Kesempatan berbeda diterima Randy Arbiyantama, 27 tahun. Berkat podcast Retropus miliknya yang membicarakan tentang sepak bola, dia mendapat kesempatan menjadi pembawa acara Double Pivot selama tujuh menit di Bein Sport 1 setiap Kamis malam. Double Pivot merupakan sebuah segmen yang menjadi bagian dari acara Umpan Lambung.
Menurut Randy, isi Double Pivot adalah membacakan kembali konten di Retropus dengan menampilkan wajahnya dan Febri sebagai mitranya dalam mengelola Retropus. Mereka harus menyelesaikan lima episode setiap kali syuting. Seperti yang lain, ia enggan menyebutkan nominal honornya tampil di stasiun televisi. "Lumayan untuk ongkos dari Bekasi, he-he-he…," tuturnya.
Bagi Randy, podcast belum bisa menghasilkan uang, tapi sudah bisa membuka peluang-peluang lain. Ia merasa podcast menjadi tempat untuk mendemonstrasikan kreativitasnya, sehingga bisa mendapatkan kesempatan termasuk tampil di stasiun televisi.
Menurut Adriano Qalbi, salah seorang pelopor podcast, dalam hal komersialisasi, podcast masih jauh tertinggal dibanding YouTube. Meski saat ini Anchor.FM sudah memiliki fitur wallet, namun belum bisa digunakan oleh podcaster dalam negeri. Bagi Adri, saat ini semua podcaster berjalan lantaran kecintaan mereka terhadap podcast. "Semua masih berjalan militan. Paling jadi pembicara talk show yang tak dibayar dan mendapat piagam."
Sebagai perbandingan, Adri mengungkapkan iklan di YouTube dan stasiun televisi atau radio masih sangat jauh dari segi harga. Ia merasa YouTube saja belum bisa mengalahkan media konvensional, apalagi podcast. "Sudah mulai ada iklan, sih, tapi belum dapat seperti iklan satu halaman penuh di Tempolah," ujarnya.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo