Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMATIAN Johannes Marliem pada 10 Agustus lalu kian menguak korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Kepolisian Los Angeles, Amerika Serikat, menyatakan konsultan PT Biomorf Lone Indonesia itu tewas bunuh diri dengan menembak kepalanya. Biomorf adalah perusahaan yang menjadi subkontraktor perekaman identitas 175 juta penduduk Indonesia.
Akhir bulan lalu, seorang agen Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat (FBI), Jonathan Holden, mengajukan permohonan penyitaan aset-aset Marliem kepada hakim Pengadilan Distrik Minnesota, Amerika. Negara bagian berjarak 1.900 kilometer dari Los Angeles itu adalah tempat tinggal Marliem bersama istri dan seorang putrinya.
Dokumen Holden yang salinannya diperoleh Tempo itu memuat dasar-dasar pengajuan penyitaan aset-aset tersebut. Holden menyebutkan aset Marliem-laki-laki 34 tahun kelahiran Medan yang menjadi warga negara Amerika sejak 2014-harus dirampas negara karena bersumber dari hasil korupsi e-KTP di Indonesia.
Keterlibatan FBI dalam penyelidikan korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun itu atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK menghubungi perwakilan FBI di Kedutaan Amerika di Jakarta pada Desember 2016. "KPK biasa bekerja sama dengan penegak hukum di luar negeri ketika diperlukan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Rabu pekan lalu.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memimpin tim yang menemui FBI dan melobi mereka agar bersedia membantu penyidik Komisi menelusuri aliran uang megakorupsi itu. Selain menemui FBI, KPK menghubungi Kejaksaan Agung Amerika untuk menguak perkara ini. Syarif tak mengkonfirmasi soal pendekatan ini, tapi pejabat di KPK mengatakan baik FBI maupun Kejaksaan Agung Amerika mulanya tak antusias terhadap permintaan mereka.
Tim Syarif kemudian menjelaskan bahwa kasus e-KTP adalah perkara yang menarik perhatian di Indonesia. Mereka juga menjelaskan soal penyiraman air keras kepada penyidik utama perkara ini, Novel Baswedan, pada 11 April 2017, yang membuatnya menjalani perawatan di Singapura karena matanya setengah buta. Polisi Indonesia hingga kini belum menemukan pelakunya. "Setelah mendengar informasi ini, baru FBI mau membantu," ujar pejabat itu.
Kepada tim KPK, FBI menawarkan cara tak lazim menelisik korupsi e-KTP, yakni membuat perusahaan untuk menjalin kontak dengan Biomorf Lone LLC, perusahaan milik Marliem di Minnesota. KPK tak setuju dengan alasan pengusutan perkara ini bakal berjalan lama jika memakai cara itu. Akhirnya, FBI setuju masuk perkara ini dengan menyelidiki aset-aset Marliem.
Di Amerika, seseorang bisa didakwa bersalah punya aset jika terbukti melanggar Foreign Corrupt Practices Act. Ini hukum yang melarang warga Amerika menyuap pejabat negara lain demi keuntungan bisnis. Holden lalu membaca berkas-berkas penyidik KTP elektronik dan dokumen pengadilan Indonesia terhadap sejumlah terdakwa.
Dalam laporan penyelidikan selama sebulan, agen FBI yang telah bertugas selama 17 tahun itu menulis, dia juga menganalisis catatan-catatan transaksi rekening bank di Amerika milik Marliem. Ia lalu menyimpulkan: Marliem telah menyuap pejabat Indonesia untuk memenangi lelang proyek e-KTP.
Salah satu dasar Holden adalah berita acara pemeriksaan dan dakwaan kepada dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto. Keduanya sudah divonis 7 dan 5 tahun penjara. Marliem, tulis Holden, diketahui pernah memberi US$ 200 ribu atau sekitar Rp 2,6 miliar kepada Sugiharto melalui Yosep Sumartono, anggota staf Direktorat Jenderal Kependudukan Kementerian Dalam Negeri.
Dari proyek ini, Marliem diduga menerima US$ 12 juta atau sekitar Rp 161 miliar. Menurut Holden, uang itu sebagian besar ditampung di Bank Mandiri Cabang Batu Ceper, Jakarta, sebelum ditransfer ke rekening Marliem di Wells Fargo Bank, Amerika.
Dokumen Holden itu juga mengkonfirmasi liputan Tempo edisi 14-20 Agustus 2017 tentang pemeriksaan KPK terhadap Marliem. Syahdan, penyidik KPK bertemu dengan Marliem pada 6 Juli 2017 di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Los Angeles.
Menurut Holden, Marliem menunjukkan rekaman percakapan dengan Ketua DPR Setya Novanto, Andi Narogong, dan seorang laki-laki bernama Oka tentang suap proyek e-KTP dengan kode "diskon". Andi Narogong adalah pengusaha yang menjadi terdakwa perkara ini yang diduga mengatur pemenang tender. Saat bersaksi untuk Irman, ia mengatakan tak pernah berhubungan dengan anggota DPR terkait dengan proyek ini.
Dalam pertemuan itu pula Marliem mengaku telah membeli jam tangan Richard Mille seharga Rp 1,82 miliar untuk Setya. Jam mewah itu, kata dia, diberikan kepada Setya melalui Andi Narogong. Untuk membuktikan arloji tersebut sampai ke tangan Setya, ia menunjukkan foto politikus Golkar itu memakainya. Tak hanya itu, Marliem menunjukkan bukti transfer dari Biomorf Mauritius kepada Setya.
Menurut Holden, Marliem setuju menandatangani perjanjian pertukaran informasi dan keringanan hukuman dengan KPK. Namun Marliem membatalkannya setelah ditelepon seseorang di Indonesia, hingga ia meninggal.
Sehari sebelum kematian Marliem, FBI menggeledah rumahnya di Edinburgh Avenue, Los Angeles. Saat penggeledahan itu, tulis Holden, Marliem kembali mengkonfirmasi soal "diskon" yang diminta Setya Novanto. "Ada pengakuan bahwa US$ 1,9 juta yang ditransfer dari bank di Indonesia untuk pembelian rumah di Minnesota, yang dia laporkan berasal dari ayahnya, ternyata dari proyek e-KTP," tulis Holden.
Beberapa saat setelah wawancara, polisi dari Los Angeles Police Department menangkapnya dengan tuduhan kepemilikan senjata ilegal. Marliem dibebaskan pada malam harinya, setelah ada jaminan dari istrinya.
Esoknya, Marliem tewas. Polisi setempat menulis, Marliem bunuh diri setelah rumahnya dikepung karena dia dilaporkan menyandera anak dan istrinya serta mengirim surat elektronik ancaman kepada FBI. Salah satunya, ia akan bunuh diri jika permintaannya yang terkait dengan proyek e-KTP tak dipenuhi.
Kontributor Tempo di Minnesota, Rob Callahan, telah mengontak Holden untuk mendapatkan penjelasan lebih jauh tentang dokumen dan pengusutannya atas perkara korupsi e-KTP. Ia tak menjawab panggilan telepon seluler dan pesan suara ditinggalkan di nomornya. Kematian Marliem membuat Holden mengajukan permohonan penyitaan aset kepada hakim Pengadilan Negara Bagian Minnesota.
Setya Novanto menolak menjawab pertanyaan Tempo tentang pengakuan Marliem tersebut. Pengacaranya, Fredrich Yunadi, hanya mengatakan apa yang ditulis Holden adalah informasi dari sumber kedua. "Buktikan saja," ujarnya kepada Rusman Paraqbueq dari Tempo. "Jangan hanya ngomong."
Yang pasti, penyelidikan dan penelusuran aliran suap proyek e-KTP di Amerika terus berlanjut. "KPK masih terus berkomunikasi dengan FBI untuk mendapatkan bukti-bukti baru," kata Febri Diansyah.
Gadi Makitan, Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo