Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Sisi Kiri Sungai Esil

BERTEMPAT di Ibu Kota Nur-Sultan, pemerintah Kazakstan menyelenggarakan The First Forum of Asian Countries’ Writers. Sastrawan dari berbagai negara Asia dijamu dan diberi forum untuk membicarakan masa depan sastra Asia. Di antara hadirin terdapat penyair sepuh Korea Selatan, Ko Un (nomine Hadiah Nobel Sastra 2016), dan penyair Mongolia, Mend-Ooyo Gombojav (nomine Hadiah Nobel Sastra 2006). Undangan ini menarik karena, kepada para sastrawan Asia, pemerintah Kazakstan sekaligus memperkenalkan Nur-Sultan, ibu kota baru yang semula hanya padang rumput kosong. Pada 1997, Kazakstan memindahkan ibu kotanya dari Almaty ke Astana. Pada 2019, nama Astana resmi diganti menjadi Nur-Sultan. Nama itu diambil dari nama Presiden Kazakstan Nursultan Nazarbayev, yang setelah menjabat 30 tahun mengundurkan diri. Ikuti laporan wartawan Tempo, Seno Joko Suyono, tentang Nur-Sultan yang penuh dengan bangunan berdesain kontemporer. Ikuti juga laporan mengenai Alzhir, bekas kamp konsentrasi dari masa Uni Soviet yang lokasinya di luar Kota Nur-Sultan.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pertunjukan Opera Birzhan-Sara di Astana Opera, Kazakstan. TEMPO/Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SAYA tidak punya kuda. Saya tidak punya pelana. Tapi saya bisa datang ke sini.” Berdiri di atas mimbar gedung megah Congress Centre, Nur-Sultan, ibu kota Kazakstan, 4 September lalu, sastrawan sepuh asal Korea Selatan, Ko Un, 86 tahun, berbicara tentang keberagaman sastra Asia. Ko Un, kandidat peraih Hadiah Nobel Sastra 2016, baru pertama kali datang ke Kazakstan. Dia memulai kalimat pidatonya dengan metafora yang berkaitan dengan kebudayaan para pengembara stepa Kazakstan di masa lalu. Saat Asia Tengah dikuasai anak-cucu Genghis Khan, Masyarakat etnis Kazakstan diketahui memiliki keterampilan berkuda yang tangguh.

Lebih dari 300 sastrawan dari 28 negara Asia selama tiga hari, 4-6 September 2019, memenuhi undangan Kazakhstan Writer‘s Union di Nur-Sultan. Mereka menghadiri The First Forum of Asian Countries’ Writers. Acara dibuka dengan sambutan Presiden Kazakstan Qasym-Jomart Tokayev. “Wilayah-wilayah Asia menjadi saksi mata bagi munculnya peradaban besar dunia. Dulu dari Asia membentang Jalur Sutra. Saya percaya sastra Asia pada masa depan mampu menyumbangkan nilai-nilainya ke dunia,” kata Tokayev.

Gedung Astana Opera di kota Nur-Sultan. REUTERS/Shamil Zhumatov

Ko Un, penyair yang berkali-kali dijebloskan ke penjara karena memperjuangkan demokrasi dan pada 1952 sempat memilih hidup sebagai rahib Buddha, diberi kehormatan untuk pertama kali menyampaikan pemikirannya. “Asia bukan Eropa. Keseragaman tidak mungkin terjadi di Asia. Wilayah Asia beragam. Ada yang memiliki daerah bersalju, sabana, kepulauan. Kita perlu saling mengenal demi membangkitkan sebuah sastra Asia baru,” tuturnya. Setelah Ko Un, berturut-turut sebelas sastrawan naik ke mimbar. Mereka adalah Mend-Ooyo Gombojav (Mongolia), Moza al-Maliki (Qatar), Anar Rzayev (Azerbaijan), Amar Mitra (India), Olzhas Suleimenov (Kazakstan), Yusef al-Mohammad (Arab Saudi), Muhammad Haji Saleh (Malaysia) Ibrahim Nasralia (Yordania), Anatoli Kim (Kazakstan), Yakup Ömeroðlu (Turki), dan Tolen Abdik (Kazakstan).

“Di Jepang ada haiku, di Persia ada ghazal,” ujar Mend-Ooyo Gombojav, sastrawan Mongolia kandidat peraih Hadiah Nobel Sastra 2006. Tatkala Mongolia dikuasai komunis dan sastra mengalami sensor, Gombojav dikenal membentuk komunitas sastra bawah tanah bernama GAL (api), yang kemudian sangat mempengaruhi sastra Mongolia. Sajak-sajak Gombojav menggali khazanah kebudayaan gembala nomaden Mongolia dan ketenangan Buddhisme. “Asia memiliki banyak tradisi persajakan sendiri,” ucapnya.

Adapun wakil sastrawan Asia Tenggara, Muhammad Haji Saleh, menyerukan pembentukan institut literatur Asia. “Saya tidak mengenal sastra Anda. Kita di Asia lebih mengenal sastra Eropa daripada sesama sastra Asia. Perlu dibentuk suatu institut agar kita bisa mengomparasi sastra Asia. Misalnya membandingkan puisi Azerbaijan dengan puisi Indonesia.”   

Ini menarik. Tiba-tiba Kazakstan mengambil inisiatif mengumpulkan wakil sastrawan seluruh Asia untuk membahas masa depan sastra Asia di percaturan global. Mereka mengundang sastrawan dari negara-negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah, juga dari Asia Timur, Asia Selatan, Asia Barat, dan  Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, Brunei, serta Indonesia. Khazanah literasi Kazakstan selama ini tak terdengar di Indonesia. Belum ada satu pun novel atau sajak Kazakstan diterjemahkan di sini. Nama sastrawan Turki—setidaknya Orhan Pamuk—lebih dikenal.

Monumen Baiterek di kota Nur-Sultan. REUTERS/Shamil Zhumatov

Berada di forum pertemuan penulis Asia ini, kita sadar Kazakstan sesungguhnya memiliki pertautan tradisi yang dekat dengan Turki dan Mongol.  “Bahasa Kazakstan memiliki kemiripan dengan bahasa Turki,” kata Yakup Ömeroðlu. Di atas mimbar, ia memilih berbicara dalam bahasa Kazak. Kazakstan memiliki akar tradisi sabana yang sangat bertautan dengan suku-suku Turki sebelum suku-suku Mongol datang. “Penerjemahan sastra dari Turki ke Kazakstan ke Mongol sesungguhnya mudah,” tutur Ömeroðlu. Kazakstan juga dekat dengan sastra Rusia. “Saya tadi ke mal hendak membeli suvenir. Saya disarankan membeli suvenir berbentuk patung laki-laki. Saya bertanya patung siapa, dijawab patung Abay, sastrawan Kazak terkenal. Tapi saya tak tahu,” ucap Anton Kurnia, pengamat perbukuan dan penerjemah Indonesia yang hadir dalam forum.

Abay Kunanbayev (1845-1904) dianggap sebagai bapak sastra Kazakstan. Lahir di Kazakstan timur dengan nama Ibrahim Kunanbayev, dia belajar di Kota Semipalatinsk. Abay banyak menerjemahkan literatur klasik Rusia dan Eropa, seperti karya Goethe, Lord Byron, Alexander Pushkin, dan Mikhail Lermontov. Sajak-sajaknya dianggap membangkitkan kesadaran akan identitas Kazakstan. Dia menulis karya sastra The Book of Words, yang sangat berpengaruh dalam literasi Kazakstan. Di Kota Almaty, ibu kota lama Kazakstan, misalnya, nama Abay diabadikan sebagai nama institut seni:  Abay Kazakh State Academic Opera and Ballet Theatre. “Di sini nama Abay ternyata populer sekali, sementara kita sama sekali tak mengenalnya,” tutur Anton.

Mengundang para sastrawan, pemerintah Kazakstan agaknya, selain hendak memperkenalkan kebudayaannya, ingin “memamerkan” ibu kota barunya: Nur-Sultan. Pada 1991, Kazakstan merdeka dari Uni Soviet. Ibu kota mereka semula Almaty, kota peninggalan Soviet. Lalu Presiden Kazakstan saat itu, Nursultan Nazarbayev, ingin membangun ibu kota baru agar memiliki identitas sendiri. Ibu kota itu dipilih di dekat Kota Astana, wilayah utara Kazakstan, yang jarak tempuhnya sekitar dua jam dengan pesawat terbang dari Almaty. Pada 10 Desember 1997, Kazakstan memindahkan ibu kotanya.

Sastrawan asal Korea Selatan, Ko Un, di acara The First Forum of Asian Countries’ Writers. TEMPO/Seno Joko Suyono

“Ibu kota baru dibangun di samping Kota Astana. Lokasinya semula padang rumput kosong,” kata Maghzan Serikkhanuly, anggota staf Kementerian Luar Negeri Kazakstan. Setelah menjabat 30 tahun, Presiden Nazarbayev mengundurkan diri. Untuk menghormati dia, presiden penggantinya, Qasym-Jomart Tokayev, mengganti nama Ibu Kota Astana dengan Nur-Sultan. Sejak 2019, nama resmi ibu kota Kazakstan bukan lagi Astana, melainkan Nur-Sultan.

“Sejak memiliki ibu kota baru pada 1997, Kazakstan gencar menjadi tuan rumah berbagai acara dunia, dari acara ekonomi, agama, olahraga, sampai budaya. Pernah Kazakstan membuat forum ekonomi dunia seperti Davos. Dua tahun lalu menjadi host expo dunia. Dan, pada 2019, setelah nama Astana diubah menjadi Nur-Sultan, membuat pertemuan sastrawan Asia,” tutur Rahmat Pramono, Duta Besar Indonesia untuk Kazakstan.

 

 

NUR-SULTAN dibelah Sungai Esil. Kota lama, kota kecil dari zaman Uni Soviet, terletak di sisi kanan sungai. Sedangkan kota baru di sisi kirinya. “Jumlah penduduk kota lama dan kota baru sekitar 1,2 juta orang,” kata Maghzan Serikkhanuly.

Menarik membandingkan kota lama, yang merupakan warisan Soviet, dan kota baru Nur-Sultan, tempat ibu kota berdiri. Di kota lama masih terasa keintiman. Kota kecil dengan taman-taman mungil penuh anak-anak bermain. Kota ini pada zaman Soviet berganti nama empat kali, dari Akmolinsk, Tselinograd, Akmola, hingga Astana. Sedangkan kota baru merupakan metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langit berdesain sangat kontemporer. Jalan-jalan dan square berair mancur di kota baru tampak lebar dan bersih dengan taman-taman botaninya yang luas, tapi terlihat sepi. Kota yang hampir tanpa centang-perenang baliho iklan. Kota baru ini mengesankan sebuah pusat administrasi dan bisnis yang steril. Di situlah istana kepresidenan dan gedung-gedung kementerian berada.

“Lihat itu, blok-blok bangunan lama dari zaman Soviet,” ujar Serikkhanuly. Ia menunjuk apartemen-apartemen sederhana berwarna kelabu saat mengajak menyusuri kota lama. Menurut dia, di kota lama masih banyak jalan menggunakan nama Soviet. Jantung kota lama adalah jalur pedestrian panjang di tepi Sungai Esil. Di sini warga sering menghabiskan waktu saat sore.

Sore itu, meski mulai berembus angin dingin, masih terlihat banyak warga berlenggang-kangkung. “Jalur pedestrian ini tak pernah sepi. Apalagi saat musim panas. Musim dingin di sini panjang,” tutur Serikkhanuly. Di sebuah persimpangan di tepi sungai itu terdapat patung besar seorang kesatria berkuda. Patung tersebut tampak gagah dan kuat. “Itu patung Kenesary Kasymov Khan, Khan terakhir Kerajaan Kazakstan. Dia dibunuh Rusia.”

Akan halnya di kota baru, hari pertama setelah mendengarkan buah pikiran Ko Un dan lain-lain, para sastrawan diajak mengunjungi Baiterek Tower, “Monas”-nya Kazakstan. Menara ini adalah simbol bagi Kazakstan baru. Baiterek berarti pohon kehidupan. Desain menara ini seperti pohon tinggi yang sampai di atas jari-jemari cabangnya menangkup sebuah bola. “Menara ini salah satu bangunan pertama Ibu Kota. Diresmikan pada 2002,” kata Serikkhanuly.

Tinggi Baiterek 105 meter. Kita bisa naik ke atas sampai ketinggian 97 meter. “Sembilan puluh tujuh adalah lambang tahun 1997, tahun saat pemindahan ibu kota,” Serikkhanuly menjelaskan. Dari situ kita dapat mengamati panorama berbagai gedung berdesain kontemporer di Nur-Sultan. “Lihat, yang di sana gedung Kementerian Luar Negeri, yang masjid putih itu masjid kedua terbesar di Nur-Sultan, dan lihat di sebelah sana, Istana Presiden. Kompleks bulevar di menara ini ditata seluruhnya oleh arsitek Jepang, Kisho Kurokawa,” ucap Saule Suyundukova, petugas Baiterek, saat menjelaskan menara itu di ketinggian 97 meter.

Bukan hanya Baiterek yang menjadi ikon Nur-Sultan. Satu bangunan dengan desain futuristik lain yang juga menyedot mata adalah Palace of Peace and Reconciliation. Bentuknya seperti piramida kaca. “Desainernya Norman Foster, arsitek kenamaan Inggris,” tutur Serikkhanuly. Dia menerangkan, pada 2003, pemerintah Kazakstan mengadakan pertemuan para pemimpin agama sedunia di gedung itu. “Paus pun datang,” katanya. Selepas pertemuan, para pemuka agama dunia itu diajak membubuhkan tanda tangan di puncak Baiterek. Di ketinggian 97 meter di Baiterek kita bisa melihat “prasasti” yang dibubuhi tanda tangan semua perwakilan agama dunia, dari Buddha Cina hingga Gereja Ortodoks Rusia. Tanda tangan tersebut disertai kalimat “Semoga Kazakstan selalu damai dan diberkahi selamat”.

Selain merancang gedung Palace of Peace and Reconciliation, Norman Foster membangun pusat belanja unik bernama Khan Shatyr. Bentuk bangunan mal ini juga seperti piramida, tapi agak miring, melengkung, atau doyong. Dari kejauhan, bangunan ini terlihat mencolok karena desainnya yang asimetris tak lazim. “Di atas mal itu ada pantai buatan. Pengunjung bisa menikmati ombak lautan,” ucap Serikkhanuly.

Ikon lain adalah Millennium Alley; monumen Kazakh Eli setinggi 91 meter yang di atasnya terdapat simbol burung Samruk, lambang kemakmuran Kazakstan; dan gedung multifungsi Nazarbayev Centre. Bukan hanya kantor pemerintahan dan bisnis, gedung olahraga dan hiburan, seperti tempat sirkus dan gedung khusus gulat, juga berdesain unik. “Nantinya bangunan tertinggi di Nur-Sultan adalah Abu Dhabi Plaza Building. Rencananya sampai 350 meter. Masih belum selesai dibangun sekarang,” ujar Serikkhanuly. 

Bangunan yang juga memiliki desain sangat urban adalah kompleks gedung Expo. Pada 2017, Nur-Sultan menjadi tuan rumah expo dunia. Untuk keperluan itu, pemerintah Kazakstan membangun sebuah kompleks bangunan. Bangunan utama adalah Paviliun Kazakstan, yang desainnya seperti bola besar, mengingatkan pada model pesawat ruang angkasa dalam film fiksi sains. Bangunan berwarna biru itu dibuat arsitek Jerman, Albert Speer. Betapapun expo telah berlalu, sampai kini pengunjung masih bisa menyaksikan isinya.

Tema paviliun Kazakstan adalah “Energy of Future”. Di situ disajikan pameran bagaimana untuk masa depan Kazakstan menyiapkan pengembangan energi-energi alternatif, dari angin sampai matahari. Salah satu bagian pameran yang paling memukau adalah ruangan tempat Kazakstan menampilkan program-programnya untuk perjalanan antariksa pada masa depan. Di Kazakstan selatan, tepatnya di wilayah stepa Baikonur, negara ini memiliki Baikonur Cosmodrome, tempat peluncuran roket. Dulu Baikonur adalah wilayah Rusia. Dari situ Sputnik diluncurkan. “Yuri Gagarin dulu ke ruang angkasa dari Baikonur.  Sekarang Rusia menyewa tempat itu. Tapi ilmuwan-ilmuwan dan astronaut kami juga melakukan persiapan,” kata Tamgaly, petugas gedung Expo. 

 

 

YANG juga menarik adalah infrastruktur literasi dan kesenian tak dilupakan di Nur-Sultan. Ini mungkin bisa menjadi catatan apabila ibu kota Indonesia jadi dipindahkan ke Kalimantan. Di Nur-Sultan, misalnya, dibangun perpustakaan nasional dan gedung arsip besar dengan koleksi buku luar biasa. Ibu kota baru itu juga memiliki museum nasional, yang dibuka pada 2014. Museum ini sangat luas dan koleksinya berharga. Memasuki museum ini, kita bisa menyaksikan artefak-artefak dari masa sebelum Kristus lahir sampai zaman Mongol (lihat boks “The Golden Man”).

Betapapun sudah lepas dari Rusia, Kazakstan, yang mayoritas penduduknya muslim, tak bisa lepas dari balet dan opera. Rusia adalah sumber balet. Sehari-hari pun masyarakat Kazakstan masih menggunakan bahasa Rusia. Tradisi teater Rusia tampaknya masih kuat di sana. Di kota lama, misalnya, ada gedung teater bernama Maxim Gorky. Gedung yang namanya diambil dari nama sastrawan kenamaan Rusia itu telah ada sejak 1899. Gedung ini tengah direnovasi. Dari jadwal yang terpampang di halaman gedung, kita bisa melihat repertoar drama karya penulis Rusia sering dimainkan di sini, seperti The Last Ones (Maxim Gorky), Anna Karenina (Leo Tolstoy), Eugene Onegin (Alexander Pushkin), The Master and Margarita (Mikhail Bulgakov), dan A Lonely Apple Tree (Alimbek Orazbekov).

Nur-Sultan juga memiliki gedung-gedung kesenian yang megah. Di sana terdapat The Kazakhstan Central Concert Hall, Astana Ballet dan akademi balet, serta Astana Opera. Gedung Astana Opera dengan sisi muka bergaya pilar-pilar Yunani terlihat sangat megah. Di situ dipentaskan karya-karya klasik besar, misalnya  Attila (Giuseppe Verdi), La bohème (Giacomo Puccini), Tosca (Puccini), Sleeping Beauty (Tchaikovsky), Rodin (Boris Eifman), Romeo and Juliet (Sergei Prokofiev), Swan Lake (Tchaikovsky), dan Spartacus (Aram Khachaturian). Astana Opera menjalin kerja sama dengan berbagai gedung opera dunia, seperti Teatro Sociale di Como dan Rome Opera di Italia, Shanghai Grand Theatre di Cina, serta Cape Town Opera di Afrika Selatan.   

Astana Opera diresmikan pada 21 Juni 2013. Saat itu dipertunjukkan opera Birzhan-Sara, gubahan komponis besar Kazakstan, Mukan Tulebayev, yang wafat pada 1960. Waktu pembukaan Astana Opera itu ditepatkan dengan momen seratus tahun kelahiran Tulebayev. Malam kedua di Nur-Sultan, para sastrawan Asia seolah-olah mengulangi peresmian Astana Opera pada 2013, dijamu dengan pertunjukan Birzhan-Sara. Birzhan-Sara terdiri atas empat babak. Setiap babak menyajikan set yang memukau, dari suasana sebuah bazar di pasar rakyat yang penuh bangunan kuno sampai perbukitan dan hutan serta ruang-ruang istana. Perpaduan antara properti panggung dan multimedia membuat skenografi terasa fantastis.

Palace of Peace and Reconciliation karya arsitek Norman Foster di kota Nur-Sultan. TEMPO/Seno Joko Suyono

Birzhan-Sara berkisah tentang seorang pemusik pengembara Kazak bernama Birzhan yang ke mana-mana membawa alat musik dombra—gitar tradisional Kazak. Ia dicintai rakyat karena lagu-lagunya menyentuh. Suatu hari, di sebuah bazar yang meriah, dia bertemu dengan penyanyi bernama Sara. Mereka melakukan battle song. Tidak ada yang menang. Mereka kemudian saling mencintai. Tapi Gubernur Zhanbota memaksa Sara menikah dengan Zhienkul, sepupu Gubernur. Adegan kolosal pasukan Gubernur berusaha menangkap Birzhan dan upaya rakyat melindungi Birzhan menggetarkan. Demikian juga perasaan sedih Birzhan ketika ia kembali berkelana ke pegunungan. Adegan Sara lari dari istana dan menemui Birzhan serta keduanya ditangkap militer digarap apik.  “Atas nama syariat Islam, kalian pantas dihukum,” kata seorang mullah. Pada akhir cerita, Birzhan dan Sara ditembak Zhienkul. “Ini kisah tragis Romeo-Juliet versi Kazakstan,” ucap Yelen Inkar, petugas Astana Opera.

Opera ini terasa berbicara tentang cinta, tapi bukan hanya itu. Nyanyian-nyanyian Birzhan membela tanah suci Kazak terasa patriotik. Penonton dibawa ke refleksi mengapa kekuasaan begitu takut terhadap lagu-lagu yang dicintai masyarakat. Pertunjukan mudah dicerna karena ada teks terjemahan di mulut panggung.

Komposisi Birzhan-Sara diciptakan Mukan Tulebayev pada zaman Soviet. Libretonya ditulis  Kazhym Jumaliyev. Opera ini pertama kali dipentaskan pada 7 November 1946 di Abay Kazakh State Academic Opera and Ballet Theatre dan sukses besar. Pada Desember 1948, Birzhan-Sara disajikan dalam Moscow Creative Festival. Pada 1949, Tulebayev mendapat penghargaan negara dari pemerintah Soviet. Pada 1958, opera ini disajikan ulang di Bolshoi Theatre, yang merupakan panggung utama balet Soviet. Setelah pertunjukan di Bolshoi, Tulebayev dan Rosa Jamanova, artis yang memerankan Sara, dianugerahi penghargaan tertinggi oleh pemerintah Soviet: People’s Artist of the USSR.

 

PADA hari kedua pertemuan sastrawan di Nur-Sultan itu, sebelum pertunjukan Birzhan-Sara, bertempat di Nomad City Hall, forum diisi dengan Asian Literature Talks. Sebelas sastrawan diminta menyampaikan pemikirannya tentang estetika. Di antaranya Mekhmed Nuri Parmaghsy (Turki), Dmitry Vodenikov (Rusia) Saud al-Sanousi (Kuwait), Khisham Bustani (Yordania), Khayal Rza (Azerbaijan), dan  Gyun Azhavyn Aiurzana (Yordania).

Banyak gagasan inspirasional yang tepercik dari dua hari simposium itu. Pemikiran sastrawan Arab Saudi, Yusef al-Mohammad, tentang penyebaran sastra untuk menangkal terorisme menarik. “Sastra harus melawan terorisme. Benih ideologi teroris kini sudah masuk ke ruang keluarga. Sastra yang toleran penting dibaca,” katanya. Adapun sastrawan Kazakstan, Anatoli Kim, mengimbau para penulis sadar akan bahaya senjata nuklir. “Pada zaman Soviet, wilayah sabana Kazakstan sering menjadi tempat pengujian senjata nuklir. Sebanyak 456 uji coba nuklir dilakukan Soviet di wilayah Kazakstan sejak 1950-an. Dampaknya luar biasa. Masyarakat di sekitar tempat uji coba nuklir banyak yang cacat dan sakit. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena itu, Kazakstan sangat aktif menentang nuklir,” ucap Rahmat Pramono.

Koleksi buku karya sastrawan Asia Tenggara di The First Forum of Asian Countries’ Writers di Kazakstan. TEMPO/Seno Joko Suyono

Novelis Indonesia, Habiburrahman El Shirazy, yang juga menghadiri simposium, tertarik pada pidato sastrawan Yordania, Ibrahim Nasralia. “Nasralia secara kewarganegaraan Yordania. Namun sebetulnya dia berasal dari Palestina. Dia mengatakan, ketika pulang ke Palestina, ia melihat banyak desa dicabut akar kebudayaannya, diganti dengan nama-nama Israel. Ini ironis,” ucap sastrawan lulusan Al-Azhar University, Mesir, tersebut. Sebelum acara penutupan pada 6 September, para sastrawan yang berusia kurang dari 50 tahun berkumpul dalam sesi yang disebut Asian Young Writers Panel. Dalam kesempatan itu, Anton Kurnia mengusulkan perlunya dibentuk jaringan penulis seusai forum tersebut. Ia juga menekankan perlunya advokasi bersama untuk para penulis Asia yang berada dalam tekanan politik. Juga pentingnya penerjemahan karya sesama negara Asia.

Penutupan The First Forum of Asian Countries’ Writers pada 6 September malam berlangsung hangat. Karpet merah digelar bagi para sastrawan di gedung Nomad City Hall. Hidangan khas Kazakstan berlimpah-ruah, termasuk santapan khas Kazak: daging kuda.

SENO JOKO SUYONO (NUR-SULTAN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus