Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Aroma Sogokan Aturan Pertanahan

Rancangan Undang-Undang Pertanahan dianggap menguntungkan pengusaha besar. Di tengah pembahasan, Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus rencana penyerahan uang dari pengusaha ke pejabat pemerintah dan anggota DPR.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kawasan yang masuk wilayah ibu kota negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 31 Agustus 2019./ ANTARA/Akbar Nugroho Gum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat terbatas di Istana Negara itu menjadi ajang keluh-kesah Presiden Joko Widodo tentang peraturan lahan di Tanah Air yang menghambat investasi. Jokowi dalam rapat pada 12 Agustus lalu itu mengeluhkan batalnya rencana penanaman modal sekitar 30 investor asal Cina, yang kemudian memilih mendirikan pabrik di Vietnam. Kepada peserta rapat, Jokowi mengatakan aturan pertanahan yang ada saat ini terlalu rumit.

Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, yang hadir dalam rapat itu, mengiyakan pendapat Presiden bahwa Undang-Undang Pokok Agraria belum sepenuhnya menguntungkan investor. Keduanya mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat dipercepat pengesahannya. Rancangan yang disebut akan menyempurnakan Undang-Undang Pokok Agraria ini dianggap penting peserta rapat itu karena berkaitan dengan rencana pemerintah memindahkan ibu kota ke Kalimantan.

Tak sampai hitungan dua jam, rapat berakhir dengan sejumlah kesimpulan. Presiden Jokowi meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkoordinasi kementerian terkait mengawal proses pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Kalla lantas meminta Menteri Sofyan Djalil mempercepat pembahasan rancangan itu sehingga bisa rampung pada akhir September ini. Wakil Presiden Jusuf Kalla membenarkan pemba-hasan dalam rapat terbatas tersebut. “Iya, pemerintah ingin secepatnya selesai, kan sudah lama. Karena kalau ditunda bisa kembali ke nol lagi,” ujar Kalla di kantornya pada 13 September lalu.

Seusai rapat tersebut, pemerintah mela-lui Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengusulkan sejumlah ketentuan baru untuk dibahas dengan DPR. Draf yang baru ini menambahkan sejumlah ketentuan yang belum ada dalam rancangan undang-undang versi 22 Juni 2019. Rancangan undang-undang ini merupakan inisiatif DPR sejak 2 Februari 2015.

Menurut hasil kajian Komisi Nasio-nal Hak Asasi Manusia, sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan -Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Aliansi Ma--syarakat Adat Nusantara, serta akademikus dari Universitas Gadjah Mada, ada empat permasalahan besar dalam RUU tersebut. Empat permasalahan itu adalah upaya penghilangan hak-hak masyarakat atas tanah, kemudah-an pengusahaan lahan atas nama investa-si, penutupan akses masyarakat terhadap lahan, dan kriminalisasi bagi masyarakat. “Di draf Juni ini tak ada, kemudian ditambahkan di draf Agustus,” kata Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herawati.

Sejumlah LSM menganggap perubahan draf versi Agustus lebih kental terhadap kepentingan pengusaha besar. Sebagian besar ke--tentuan yang menguntungkan pengusa-ha tersebut tertuang dalam beberapa pasal. Misalnya pasal 26, yang berisi tentang ketentuan perpanjangan hak guna usaha (HGU) yang bisa sampai 90 tahun. Ada juga hak impunitas bagi pemegang HGU yang menguasai lahan melebihi ketentuan kendati proses penguasaannya melanggar aturan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menepis anggapan Rancangan Undang-Undang Pertanahan hanya menguntungkan pengusaha besar. Menurut dia, rancangan undang-undang ini akan memudahkan masyarakat dan pelaku usaha menyelesaikan permasalahan tanah. “Rancangan undang-undang ini nantinya bisa mempermudah semua pihak dalam urusan pertanahan,” ujar Kalla.

Sejumlah politikus juga tidak sependapat dengan perubahan rancangan versi pe--merintah. Salah satunya politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, anggota Panitia Kerja RUU Pertanah-an. “Rancangan ini seharusnya menyem-pur-nakan Undang-Undang Agraria, -bukan merombak total asas dan prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Agraria,” ucapnya.

Menurut Arif, Rancangan Undang-Undang Pertanahan versi baru mereduksi paradigma fungsi lahan sebatas untuk meladeni kepentingan pemodal. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, kata dia, misalnya, kepemilikan lahan individual dibatasi hing-ga 2 hektare. Sementara itu, dalam RUU Pertanahan, setiap orang berhak memiliki lahan seluas-luasnya asalkan bersedia membayar pajak. “Buat pengusaha, ini bukan masalah besar. Tapi punya dampak besar terhadap ketimpang-an akses kepemilikan lahan,” ujarnya.

Arif juga menyorot sikap pemerintah yang menghapus ketentuan hukum adat sebagai salah satu instrumen pengaturan tentang penguasaan, kepemilikan, dan penggunaan tanah, seperti yang tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria. Peng-akuan atas tanah adat pun bermasalah karena hanya dibatasi untuk kawasan nonhutan. “Padahal, bagi orang Baduy, kawasan hutan dijaga untuk menjaga daya dukung ekologis dan sumber makanan,” ucapnya.

Arif mengaku berusaha meyakinkan pemikiran yang melatari penolakan tersebut di hadapan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat PDIP, termasuk Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Menurut dia, Megawati punya pemahaman yang sama. Asas dan prinsip dalam rancangan undang-undang itu dinilai bertolak belakang dengan Undang-Undang Pokok Agraria.

Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali (kedua dari kiri) menerima Daftar Inventari­sasi Ma­salah RUU Pertanahan dari Mente­ri Agraria dan Tata Ruang.

Rancangan Undang-Undang Pertanahan punya riwayat panjang. Rancangan tersebut merupakan konsep terbaru yang dijajaki untuk menjawab Ketetapan -Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 9 -Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pe---nge-lolaan Sumber Daya Alam. -Inisiatif pem-buatan regulasi itu semula dibahas pada 2004 melalui Rancangan Undang-Un--dang Sumber Daya Agraria, tapi gagal di--sahkan. Pada 2009, DPR dan -pemerintah bersepakat menyiapkan RUU Pertanahan sebagai pengganti.

Seorang pejabat negara mengatakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya belum satu suara dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengenai rumusan pasal Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Sebab, kata sumber ini, rancangan yang dipaparkan di hadapan Presiden Joko Widodo dalam rapat 12 Agustus lalu berbeda dengan hasil rapat Panitia Kerja DPR tiga hari sebelumnya. Menteri Siti meminta pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan rancangan tersebut. Dimintai konfirmasi lewat pesan pendek, Siti menjawab singkat, “Saya masih di lapangan.”

Ketua Komisi Pemerintahan Zainudin Amali menyatakan isi rancangan undang-undang itu sudah disepakati pimpinan DPR dan pimpinan fraksi dalam forum rapat panitia kerja. Anggota Fraksi Golkar itu menilai rancangan ini tetap diperlukan agar regulasi seputar pertanahan bisa menjawab perkembangan zaman. “Kita tak boleh menutup mata ada banyak celah persoalan dalam Undang-Undang Pokok Agraria,” ujarnya.

Amali membenarkan kabar bahwa sejumlah pengusaha sempat berdialog dengan anggota DPR membahas pengesahan RUU Pertanahan. Mereka adalah para profesional yang tergabung dalam sejumlah asosiasi, seperti Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Menurut dia, forum audiensi itu merupakan proses yang lazim karena setiap produk legislasi wajib melibatkan partisipasi masyarakat. “Siapa pun kami dengar,” katanya.

Di sela proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan, beredar surat berkop Komisi Pemberantasan Korupsi di kalangan anggota Komisi Pemerintahan. Isinya berupa perintah pemantauan rencana penyerahan suap di kalangan anggota Dewan serta pejabat Kementerian Agraria dan Tata Ruang dari pengusaha. Amali tak menampik kabar tersebut. Ia mengaku mendengar kabar serupa dari sejumlah anggota Dewan yang lain. “Tapi saya tidak memiliki salinan surat itu,” ujarnya.

Salah seorang anggota Dewan sempat memperlihatkan salinan surat itu kepada Tempo. Surat tertanggal 3 Juli 2019 itu memuat tiga nama pejabat Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta seorang pengusaha yang sudah masuk radar KPK. Di dalamnya juga terurai kronologi rencana penyerahan uang yang diserahkan dalam beberapa tahap. Total uang yang akan digelontorkan pengusaha tersebut Rp 37,5 miliar.

Seorang penegak hukum mengatakan KPK sempat akan melakukan operasi tangkap tangan terhadap pengusaha, pejabat Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta anggota DPR karena diduga akan melakukan transaksi suap terkait dengan RUU Pertanahan. “Dua kali rencana operasi tangkap tangan KPK bocor,” ucap sumber ini.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang Himawan Arief Sugito meng-aku mendengar kabar soal akan adanya operasi tangkap tangan tersebut. Namun ia membantah kabar bahwa pejabat di kementeriannya menerima uang pelicin untuk memuluskan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Himawan tak risau terhadap kabar yang beredar tersebut. Menurut dia, pemerintah konsisten mendorong penyelesaian rancangan undang-undang tersebut sesuai dengan arahan Presiden. “Kalau kita punya niat benar, kenapa harus takut?” ujarnya.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan lembaganya memang memonitor pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Tapi ia menolak berkomentar soal rencana operasi tangkap tangan lembaganya tersebut. Menurut dia, KPK telah mengkaji khusus rancangan itu dengan sejumlah pakar pertanahan. Syarif meminta rencana pengesahan RUU Pertanahan pada Selasa, 24 September, ini ditunda. “Sebaiknya tak diundangkan dulu karena memiliki banyak kerancuan,” katanya.

RIKY FERDIANTO, ANTON APRIANTO, FRISKI RIANA, BUDIARTI UTAMI PUTRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus