Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Makan Malam Terakhir Sayavong

Aktivis demokrasi Laos hilang saat mencari suaka di Bangkok. Satu dari 30 pegiat hak asasi yang dibunuh atau lenyap di Thailand sejak 2001.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Od Sayavong/hrw.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Od Sayavong terakhir kali terlihat oleh rekan-rekannya pada 26 Agustus 2019 pukul 17.30 di tempat tinggalnya di Distrik Bueng Kum, Bangkok. Aktivis demokrasi terkenal Laos itu tam-pak meninggalkan kediamannya dan ber-janji akan bergabung dengan mereka untuk makan malam di sebuah restoran tak jauh dari sana.

Pada pukul 18.34, sebuah pesan via Face-book Messenger dikirim dari akun Saya-vong ke salah satu dari dua rekannya. Pria 34 tahun ini meminta sang rekan “memasak nasi” untuk makan malam dan menunggunya. Sampai pukul 11 malam, Sayavong tak kunjung datang. Dua rekannya lantas meneruskan makan malam tanpa kehadiran dia.

Keesokan harinya, pukul 17.00, salah satu rekan kerjanya berusaha menelepon Saya-vong, tapi tak diangkat. Rekannya yang lain berusaha mengontak Sayavong de-ngan mengirim pesan melalui aplikasi Line, tapi juga tidak dijawab. Juga tidak ada tanda pesan itu dibaca. Telepon se-luler Sayavong tampaknya sudah tidak ber-fung-si sejak 27 Agustus malam.

Polisi Thailand menyatakan akan menye-lidiki hilangnya Od Sayavong. “Saat ini kami belum diberi tahu kerabat atau orang terkait tentang kepergiannya,” ujar wakil juru bicara Kepolisian Kerajaan Thailand, Krisana Pattanacharoen.

Para aktivis Laos melaporkan kasus hilang-nya Od Sayavong kepada polisi Thailand sepekan kemudian. Tapi tidak ada kema-juan penyelidikan yang dilaporkan. Letnan Jenderal Kongcheep Tantravanich, juru bicara Kementerian Pertahanan, membantah mengetahui keberadaan Sayavong.

International Federation for Human Rights (FIDH) yang berpusat di Paris dan organisasi anggotanya di Laos, Lao Move-ment for Human Rights, meminta peme-rintah Thailand segera menyelidiki hilangnya Sayavong. “Sayavong mencari perlindungan di Thailand, tapi negara itu menjadi makin tidak aman bagi para pen-cari suaka,” kata kelompok hak asasi itu dalam pernyataannya, 6 September lalu.

Human Rights Watch meminta komu-nitas internasional mendesak Laos mem-buka informasi mengenai Sayavong. “Amerika Serikat, negara-negara anggota Uni Eropa, dan negara-negara ASEAN harus dengan kuat menekan Laos untuk meng-ungkap semua yang diketahui tentang Od Sayavong dan berhenti menutupi kasus penghilangan paksa di Laos,” ucap Deputi Direktur Divisi Asia Human Rights Watch Phil Robertson kepada Tempo, Kamis, 19 September lalu.

Pemungutan suara Partai Komunis Laos, di Vientiane, Januari 2016./Reuters/Stirnger

OD Sayavong berasal dari Savannaket, provinsi terbesar Laos yang terletak di bagian tengah negara itu. Dia berada di Bangkok sejak 2015 dan mencari suaka me-lalui Komisi Tinggi untuk Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR). Saya-vong terdaftar di badan dunia tersebut sejak Desember 2017 dan sejak itu dalam proses menunggu untuk ditempatkan di negara ketiga.

Sayavong meninggalkan Laos karena tekanan di dalam negeri. Menurut laporan Freedom House 2019, Partai Revolusioner Rakyat Laos (LPRP) yang berkuasa men-dominasi semua aspek politik dan dengan keras membatasi kebebasan sipil. Tidak ada oposisi yang terorganisasi dan tidak ada masyarakat sipil yang benar-benar independen. Liputan media juga dibatasi.

Menurut Phil Robertson, para pembang-kang Laos datang ke Thailand untuk men-cari status suaka dan pengungsi karena negara itu adalah tempat yang paling mudah mereka capai. “Kesamaan bahasa Laos dan Thailand membuat Bangkok menjadi tempat yang lebih mudah bagi para aktivis untuk hidup,” katanya.

Selama bertahun-tahun, Bangkok men-jadi tempat aman bagi para pembangkang dari negara-negara tetangga. Tapi situasi berubah sejak kudeta militer dipimpin Jenderal Prayut Chan-ocha di negara itu pada 2014. Menurut Robertson, Thailand di bawah Perdana Menteri Prayut Chan-ocha ikut terlibat menangkap dan mengirim kembali para pencari suaka itu ke negara asalnya.

Tekanan di dalam negeri Laos memang sangat besar. Menurut Human Rights Watch, aktivis yang secara terbuka meng-kritik pemerintah dan pejabatnya akan ditangkap. Mereka juga mengalami pe--nyik-saan selama dalam tahanan dan digan-jar hukuman penjara yang lama oleh pengadilan. Pengadilan di negara itu sepenuhnya dikendalikan oleh partai komunis yang berkuasa.

Menurut Robertson, Partai Revolusioner Rakyat Laos yang otoriter memerintah negara itu sejak 1975 dan secara teratur me-nekan pelaksanaan hak-hak sipil dan politik dasar, seperti berbicara di depan umum atau di media sosial, membentuk kelompok di luar kendali pemerintah, serta mengadakan pertemuan atau unjuk rasa.

Aktivis yang menjadi sasaran intimidasi pe-nguasa Laos beragam. Termasuk aktivis po-litik yang mengusung isu hak asasi manusia dan demokrasi, aktivis yang memprotes perampasan lahan oleh perusahaan dan pemerintah, serta akti-vis yang memperjuangkan hak etnis mino-ritas.

Di pengasingannya di Bangkok, Od Sayavong tetap aktif dalam aktivisme politik dan kegiatan lain yang mempromosikan hak asasi manusia dan demokrasi di Laos. Ia menjadi anggota Free Lao, kelompok informal pekerja migran dan aktivis Laos yang bermarkas di dalam negeri, di Bangkok, dan negara tetangga. Kelompok ini berfokus pada pengorganisasian loka-karya dan pertemuan hak asasi manusia serta berpartisipasi dalam protes damai kecil-kecilan di luar Kedutaan Besar Laos dan markas besar PBB di Bangkok.

Pada malam 15 Maret 2019, Sayavong diketahui memajang sebuah foto dirinya di depan markas besar PBB di Bangkok dalam laman Facebooknya. Dia terlihat mengenakan kaus bergambar seekor gajah putih berkepala tiga berdiri di atas alas lima tingkat. Gambar itu adalah bendera resmi Laos sejak 1952 sampai jatuhnya pemerintahan kerajaan pada 1975.

Pemerintah Laos melarang bendera ini. Mereka yang mengibarkannya bisa ber-akhir di penjara. Pada 12 Juli 2018, selama peninjauan laporan awal Laos oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB, delegasi pemerintah Laos membenarkan kabar bahwa ada proses pidana terhadap tiga warga Laos pada Maret 2017 dengan hukuman penjara dari 12 hingga 20 tahun.

Tiga aktivis Laos itu adalah Somphone Phimmasone, Soukan Chaithad, dan Lod-k-ham Thammavong. Mereka dihukum karena mengibarkan bendera gajah itu selama demonstrasi damai di depan Keduta-an Laos di Bangkok pada hari nasional Laos, 2 Desember.

Mereka sebelumnya menulis banyak pesan di Facebook yang mengkritik peme-rintah Laos karena dugaan korupsi, peng-gundulan hutan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi FIDH, nasib yang menimpa tiga orang itu juga menyadarkan mereka bahwa pemerintah secara teratur memantau akun media sosial aktivis dan organisasi Laos yang berada di luar negeri.

Menurut Bangkok Post, Od Sayavong juga ambil bagian dalam protes 16 Juni di Bangkok, yang mengkampanyekan ke-bebasan politik dan hak asasi manusia di Laos. Sayavong pun menyerukan pem-be-bas-an tiga pekerja Laos yang dihukum pen-jara sejak April 2017 karena mengkritik peme--rintah saat sedang berada di Thailand.

Selain itu, Sayavong mendesak Amerika Serikat menyelidiki hilangnya pakar pem-bangunan perdesaan Sombath Som-phone sejak 15 Desember 2012. Sombath menghilang setelah polisi, ber-dasarkan sebuah tayangan di video, menghentikan mobilnya di sebuah pos pemeriksaan di pinggiran Kota Vientiane, ibu kota Laos. Dia kemudian dipindahkan ke kendaraan lain. Sejak itu, nasibnya tak diketahui lagi.

Sebelum menghilang, Sombath terlibat dalam gerakan menentang transaksi tanah besar-besaran yang dinegosiasikan pemerintah. Rencana itu menyebabkan ribu-an penduduk desa di Laos kehilangan tempat tinggal dan kompensasinya dinilai tak memadai. Hal itu memicu protes rakyat, sesuatu yang jarang terjadi di negeri tersebut.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan ada sekitar 30 aktivis hak asasi yang menghilang atau dibunuh di Thailand sejak 2001. Berdasarkan data PBB, seperti dilansir Myanmar Mix, lebih dari 80 kasus penghilangan paksa terjadi di negara itu sejak 1980. Tak mengherankan jika Thailand disebut sebagai salah satu tempat paling mematikan di Asia bagi para pembela hak asasi manusia.

ABDUL MANAN (REUTERS, BANGKOK POST, ASIAN SENTINEL, THE GUARDIAN, BENARNEWS, VOA)

 


 

Ujung Nasib Pegiat Hak Asasi

PEGIAT hak asasi manusia dan lingkungan di Laos, negara di bawah kendali partai komunis, menghadapi tekanan dan ancaman di dalam negeri. Lembaga hak asasi manusia Freedom House mengategorikan negara berpenduduk 7,1 juta jiwa itu “tidak bebas”.

Nasib para pegiat hak asasi itu beragam. Ada yang hilang tak tentu rimbanya. Ada juga yang raib saat dalam proses mendapatkan suaka di Bangkok. Berikut ini beberapa di antara mereka.

 

Bounthanh Thammavong, 55 tahun

Bounthanh Thammavong, 55 tahun

Bounthanh adalah pegiat demokrasi berkebangsaan Laos-Polandia dan pendiri Organisasi Siswa Lao untuk Kemerdekaan dan Demokrasi pada 1990-an. Pada 2014, dia menulis catatan di Facebook yang berisi kritik terhadap pemerintah Laos. Pada saat itu pemerintah baru memberlakukan regulasi yang melarang kritik secara online terhadap pemerintah dan partai komunis.

Ia ditangkap pada Juni 2015 atas tuduhan menyebarkan propaganda melawan negara. Dalam sidang September 2015, pengadilan memvonisnya 4 tahun 9 bulan penjara. Pada 2017, hukumannya dikurangi menjadi 4 tahun. Dia bebas pada Juni 2019.

 

Sombath Somphone, 67 tahun

Sombath Somphone, 67 tahun

Sombath terlibat dalam gerakan menentang pelepasan tanah besar-besaran oleh pemerintah. Rencana itu menyebabkan ribuan penduduk desa di Laos kehilangan tempat tinggal dan kompensasinya tak memadai. Hal itu memicu protes masyarakat.

Sombath terakhir kali terlihat di pos pemeriksaan polisi di ibu kota Laos, Vientiane, 15 Desember 2012. Dalam sebuah video tampak polisi memindahkannya ke kendaraan lain. Dia menghilang sejak itu.

 

Od Sayavong, 34 tahun

Sayavong pergi ke Bangkok untuk mendapatkan suaka pada 2015. Selama di ibu kota Thailand ini, ia aktif di Free Lao, kelompok informal pekerja migran dan aktivis Laos yang berpartisipasi dalam protes damai kecil-kecilan di luar Kedutaan Besar Laos dan markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bangkok. Pada 15 Maret 2019, Sayavong memajang foto dirinya di depan markas besar PBB di Bangkok. Dia kala itu memakai kaus bergambar bendera gajah putih berkepala tiga yang berdiri di atas alas lima tingkat. Itu bendera resmi Laos sejak 1952 sampai jatuhnya pemerintahan kerajaan pada 1975. Ia juga terlibat dalam demonstrasi pada 16 Juni 2019 yang menyerukan kebebasan politik dan hak asasi manusia di Laos.

Sayavong terakhir kali terlihat di tempat tinggalnya di Distrik Bueng Kum, Bangkok, 26 Agustus 2019. Nomor teleponnya tak bisa dihubungi. Rekannya melapor ke polisi pada 2 September 2019. Belum ada kabar soal keberadaannya.

 

Tiga Pekerja Laos

Somphone Phimmasone, 30 tahun, Soukan Chaithad (33), dan Lodkham Thammavong (31) adalah warga Laos yang bekerja di Thailand. Di Bangkok, ketiganya ikut sejumlah kampanye, termasuk berpartisipasi dalam protes terhadap pemerintah Laos di luar Kedutaan Besar Laos, Desember 2015. Mereka juga membuat cuitan di media sosial yang mengkritik pemerintah, dari soal korupsi, penggundulan hutan, hingga pelanggaran hak asasi manusia.

Ketiganya ditangkap pada Maret 2016 saat kembali ke Laos untuk perpanjangan paspor. Pemerintah menilai mereka telah mengancam keamanan nasional dengan menggunakan media sosial untuk mencoreng reputasi pemerintah. Dalam sidang April 2017, mereka dihukum penjara 12-20 tahun.

BAHAN: ABDUL MANAN | SUMBER: REUTERS, RADIO FREE ASIA, INTERNATIONAL FEDERATION FOR HUMAN RIGHTS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus