Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Alzhir, Kenangan Pedih Kamp Stalin

Aleksandr Solzhenitsyn, penulis The Gulag Archipelago, mendeskripsikan begitu banyak kamp konsentrasi di era Stalin. Beberapa gulag terkejam saat itu sesungguhnya berada di wilayah Kazakstan.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto korban yang dijebloskan ke kamp konsentrasi Stalin di Museum Alzhir, Kazakstan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LETAKNYA sekitar 25 kilometer dari Nur-Sultan. Jauh di luar kota. Ke sana dengan mobil, kita bisa melihat pemandangan datar padang rumput yang luas di kanan-kiri. Segera terbayang, begitulah Nur-Sultan pada mulanya. Sebelum dibangun gedung-gedung, kota ini adalah bagian dari sebuah sabana. Stepa yang hampir seluruh wilayahnya kosong. Menjelang 10 kilometer, mulai terlihat rumah-rumah militer. Bentuknya seragam.

Pagi itu, kami menuju salah satu bekas kamp konsentrasi dari zaman Uni Soviet. “Kamp ini dulu khusus penjara wanita,” kata Maghzan Serikkhanuly dari Kementerian Luar Negeri Kazakstan. Letak “gulag” khusus perempuan itu di kawasan yang disebut Aqmol (Bukit Putih). “Di situ pada zaman Stalin banyak wanita yang dikategorikan sebagai pengkhianat negara dijebloskan. Mereka ibu, istri, atau anggota keluarga perempuan lain para aktivis yang dianggap berbahaya oleh Stalin. Mereka diambil dari berbagai daerah di Soviet,” Serikkhanuly menambahkan.   

Kamp ini beroperasi pada 1938-1953. Diperkirakan lebih dari 18 ribu wanita dikirim ke kamp tersebut, dan banyak yang tewas di sana. Kamp di Aqmol itu merupakan kamp konsentrasi terbesar untuk wanita pada era pemerintahan Joseph Stalin. Ada dua kamp konsentrasi khusus wanita lain pada zaman Stalin, yaitu di Mordovia dan Tomsk. Tapi keduanya hanya digunakan pada 1937-1938. Kamp konsentrasi di Aqmol terkenal dengan sebutan Alzhir. Alzhir merupakan akronim dari penduduk setempat untuk Akmola camp for the wives of traitors to the motherland dari bahasa Rusia. 

Diorama kamp konsentrasi Stalin di Museum Alzhir. Dok.TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Wilayah Kazakstan pada era Stalin menjadi salah satu tempat kerja paksa paling tragis. Selama ini masyarakat dunia umumnya hanya mengenal Siberia sebagai lokasi gulag. Buku pemenang Hadiah Nobel, Aleksandr Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago, mendeskripsikan begitu banyak kamp konsentrasi dalam pemerintahan otoriter Stalin sehingga Soviet saat itu bagaikan kepulauan gulag atau gulag archipelago. Kazakstan sesungguhnya salah satu lokasi gulag terganas. Beberapa gulag yang banyak memakan korban didirikan Stalin di wilayah Kazakstan. “Tak jauh dari Nur-Sultan, di Kota Karaganda, juga terdapat kamp konsentrasi terkenal. Kamp tersebut seperti di Siberia. Anda bisa menempuh perjalanan tiga jam dengan mobil dari Nur-Sultan,” ucap Serikkhanuly.

Gulag di Karaganda terkenal dengan sebutan Karlag (Karaganda Labour Camp). Di sana bahkan masih terdapat kuburan-kuburan para tahanan. Mereka yang ditahan di Karlag antara lain kritikus sastra, Arkady Belinkov, dan aktris Maria Kapnist. Alzhir sendiri sekarang sudah menjadi sebuah museum peringatan. Museum untuk memperingati penyiksaan dan kekejaman pembantaian di Kazakstan. Museum Alzhir dibangun pada 31 Mei 2007.

 

 

Begitu sampai di lokasi Alzhir yang luas, pertama-tama mata kita pasti tertumbuk pada sebuah monumen setinggi 18 meter berbentuk seperti huruf “U” terbalik atau semi-elips. Monumen itu secara desain terasa abstrak, tapi kuat.  Bentuk elipsnya dobel. Satu elips diselubungi elips lain. Yang di dalam berbentuk elips hitam dan yang menyelubunginya seperti jeruji. Bentuk elips ini menyimbolkan kudung atau penutup kepala (jilbab) yang dipakai wanita Kazak. Monumen ini merupakan sebuah penghormatan kepada para wanita Kazak yang pernah ditahan dan gugur di kamp Alzhir. Para tahanan yang meninggal dianggap sebagai patriot bangsa.   

Sebelum monumen itu, tepatnya agak di samping kirinya, sebuah gerbong kereta kayu diletakkan di sebelah taman bunga. “Gerbong itu bagian dari kereta pada zaman dulu yang dipakai untuk mengangkut para tahanan kemari,” ujar Maghzan Serikkhanuly. Di dalamnya terdapat foto dokumen saat para wanita Kazak digelandang. Beberapa manekin bersosok wanita berkerudung ditempatkan di dalam gerbong untuk menggambarkan bagaimana kondisi mereka zaman dulu di dalam kereta yang sesak.

Tak jauh dari gerbong maut itu, kita melihat semacam padas marmer setengah badan berbentuk bujur sangkar dengan sederet kalimat dan lambang sejumlah negara, antara lain Belarus, Azerbaijan, Georgia, Polandia, Ukraina, Estonia, dan Hungaria. “Wanita-wanita yang dijebloskan ke Alzhir tak hanya dari Kazakstan, tapi juga dari daerah lain yang diduduki Soviet,” kata Serikkhanuly. Kita bisa melihat nama-nama Jerman dan Prancis di padas tersebut. “Ada aktivis anti-Soviet saat itu yang memiliki istri-istri Eropa. Para istri juga ditangkap. Kita bisa menyaksikan pula karangan-karangan bunga yang belum layu di bawah padas. Beberapa sanak saudara korban masih suka datang memberikan karangan bunga,” ujarnya.

Tepat dari arah tengah monumen, kita bisa berjalan lurus menuju Museum Alzhir. Museum itu didesain unik, seperti sisi atas batok kelapa yang dibelah.  Di halaman luar sebelah kiri museum disajikan rekonstruksi barak tempat para perempuan ditahan di Alzhir. Barak buatan itu diberi nomor 26 dan dipagari kawat berduri. “Setiap barak bisa dihuni sampai 200-300 wanita,” demikian informasi pada sebuah pelat.

Di dalam barak itu terdapat manekin yang menampilkan dua ibu yang menggendong bayi. Satu ibu dengan pakaian kumal berdiri menyusui bayinya. Satu yang lain duduk di tempat tidur kayu sederhana, menimang-nimang bayinya di pangkuan. “Di sini dulu banyak anak-anak yang lahir dari hasil pemerkosaan penjaga terhadap para tahanan,” tutur Serikkhanuly. Museum Alzhir terdiri atas dua tingkat. Lantai bawah bercerita tentang sejarah Soviet di Kazakstan. Lantai dua khusus mengenai kamp konsentrasi di Karaganda dan Aqmol.

Di lantai pertama kita bisa melihat sejarah masa kelam Kazakstan di bawah Soviet. Pemerintahan Soviet terbentuk pada 1917. Saat itu para pemimpin Kazakstan menyambut baik karena merasa terbebas dari pemerintahan monarki Tsar. Mereka berkumpul dan membentuk partai politik pertama bernama Partai Alash. Tapi lambat-laun pemerintahan komunis Soviet dianggap kejam. “Saat Soviet menerapkan kolektivisasi pada 1931-1933, rakyat Kazak sangat menderita, banyak yang kelaparan dan mati. Banyak pemimpin Kazak yang mengkritik kebijakan kolektivisasi dibunuh,” ujar Nazerke dari Museum Alzhir.

Pertanian dan peternakan kolektif waktu itu merupakan bencana besar bagi Kazakstan. Mayoritas warga yang biasa hidup seminomad, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di stepa, dipaksa Stalin menetap dan menyerahkan hewan-hewan ternaknya. Rakyat menentangnya, tapi ditindas dengan bengis penuh teror. Pada periode tersebut, karena takut terhadap ancaman kekerasan Soviet, diperkirakan lebih dari 1 juta warga Kazak melarikan diri ke perbatasan, menyeberang ke wilayah Xinjian di Cina, Mongolia, Iran, Afganistan, dan Turki.

 

 

PADA masa pemerintahan Uni Soviet, banyak pemimpin Kazakstan ditangkap. Pembersihan besar-besaran menimpa kalangan intelektual Kazak. Tokoh politik, akademikus, penulis, juga penyair yang dianggap menentang kolektivisasi diciduk. Mereka dituduh menggalang gerakan nasionalisme Kazak yang membangkitkan kontrarevolusi. Para cendekia dan pemimpin Kazak dikirim ke berbagai gulag. Di antaranya tiga tokoh utama Kazak, yakni Alikhan Bokeikhanov, Akhmet Baitursynov, dan Mirzhaqyp Dulatov. Mereka tiga serangkai pendiri Partai Alash. Semuanya tewas. Hampir satu generasi intelektual Kazak saat itu dinyatakan hilang. 

Monumen Arch of Sorrow di Museum Alzhir. Dok.TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Di lantai bawah museum, terpampang foto-foto pemimpin Kazakstan yang dibunuh intelijen Soviet. Salah satunya Nazir Torekulov (1892-1937). Dia duta besar di Jeddah, Kerajaan Arab Saudi. “Saat pulang, dia dibunuh di Moskow,” kata Maghzan Serikkhanuly, yang lalu menunjukkan satu potret lain. “Ini Maghzan Zhumabayev (tertera di situ Zhumabayev hidup pada 1893-1938). Dia penyair Kazak. Dia juga jurnalis. Dia juga dibunuh di Moskow. Nama saya, oleh ayah saya, diambil dari nama penyair ini,” tuturnya. Di sebelah foto Zhumabayev, terdapat potret Zhanuzak Zhanibekov (1889-1937). Dia wartawan Kazakh Newspaper yang juga dibunuh pada era Soviet.

Di lantai dua kita bisa melihat diorama-diorama yang memperlihatkan kehidupan para perempuan tahanan di Alzhir, dari awal kedatangan saat diperiksa dan diinterogasi petugas sampai kegiatan sehari-hari. Ada juga sel dan jeruji serta sebuah pintu. “Ini pintu asli sel zaman dulu di kamp ini,” kata Nazerke. Sebuah diorama menggambarkan proses interogasi. Seorang opsir di meja menghadap mesin tik. Seorang wanita berkudung dengan nomor tahanan tersemat di jaket berada di sampingnya. “Pemeriksaan bisa berlangsung tiga-enam bulan,” ucap Nazerke. Diorama lain menunjukkan situasi kerja paksa. “Mereka harus bekerja 18 jam tiap hari. Mereka antara lain harus membuat seragam untuk para tentara, baik pada musim panas maupun musim dingin.” Pada musim dingin, temperatur di Alzhir bisa di bawah 40 derajat Fahrenheit. 

Di lantai dua itu kita bisa melihat foto orang-orang ternama yang dijebloskan ke kamp Karaganda ataupun Alzhir. Di Karaganda, banyak di antaranya penulis dan wartawan. Di Alzhir juga banyak istri, bahkan ibu, penulis dan ilmuwan. Misalnya istri tokoh politik Turar Ryskulov, Aziza Ryskulova, bersama ibunya, Arif Yesengulova; istri ilmuwan dan dokter Sandzhar Asfendiyarov, Rabiga Asfendiyarova; penyanyi Lidia Ruslanova; penulis Galina Serebryakova; istri penulis Boris Pilnyak, Cyrus Andronnikoshvili; Yuri Trifonov dan Yevgeny Lurie; ibu penyair  Bulat Okudzhava; penari Maya Plisetskaya; dan Heena Ivanovna, nenek pengarang terkenal Galina Aksenova.

Yang tak kalah menarik adalah barang-barang pribadi tahanan, dari tas, sarung tangan, sampai surat-surat yang bisa mereka selundupkan ke luar. Terdapat pula foto-foto reuni para tahanan yang bisa selamat. Foto-foto itu memperlihatkan bagaimana pada masa tua, dengan rambut memutih, mereka bertemu kembali. Mengharukan.

Tatkala Stalin meninggal pada 1953, kamp konsentrasi ini ditutup. The Gulag Archipelago ditulis Aleksandr Solzhenitsyn berdasarkan testimoni 200 orang yang pernah masuk ke kamp-kamp konsentrasi tapi akhirnya selamat. Menatap foto wajah banyak tahanan di Alzhir, kita tak tahu mana yang lebih banyak, yang selamat atau yang tewas. 

SENO JOKO SUYONO (NUR-SULTAN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus