Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Deindustrialisasi

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faisal Basri*

Industri manufaktur semakin merana. Pada triwulan ketiga 2009 pertumbuhannya hanya 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), yang mencapai 4,2 persen. Pada masa jayanya, 1987-1996, industri manufaktur tumbuh dua digit, rata-rata 12 persen, hampir dua kali lipat pertumbuhan PDB sebesar 6,9 persen.

Lebih memprihatinkan lagi, dalam lima tahun terakhir pertumbuhan industri manufaktur selalu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDB. Kecenderungan demikian membuat porsi industri manufaktur dalam PDB terus menurun. Penurunan porsi manufaktur dalam PDB terjadi ketika baru mencapai 28 persen. Padahal pola normal yang lazim berlangsung di negara-negara yang telah lebih dulu menapaki industrialisasi, penurunan porsi manufaktur baru terjadi ketika sudah mencapai sekitar 35 persen.

Penurunan porsi manufaktur dalam PDB yang terjadi secara konsisten selama kurun waktu yang cukup panjang, padahal belum mencapai titik optimumnya, bisa dipandang sebagai gejala dini deindustrialisasi. Gejala ini diperkuat dengan kenyataan bahwa porsi sektor pertanian dalam PDB dan penyerapan tenaga kerja justru meningkat. Penguatan peran sektor pertanian baik dalam hal sumbangsihnya terhadap penciptaan nilai tambah maupun penyerapan tenaga kerja seperti itu bukanlah gejala yang sehat, melainkan lebih sebagai ekses dari keterpurukan industri manufaktur.

Masih ada lima indikator utama yang memperkuat konstatasi terjadinya gejala dini deindustrialisasi. Pertama, jumlah perusahaan yang bergerak di industri manufaktur menciut. Kenyataan memang menunjukkan hal ini. Data industri besar dan menengah menunjukkan bahwa lebih banyak perusahaan yang keluar (exit) daripada yang masuk (entry), sehingga menghasilkan net entry negatif. Belum lagi kalau kita memperhitungkan penurunan kapasitas produksi perusahaan-perusahaan yang masih bertahan.

Kedua, kecenderungan penurunan daya saing. Berdasarkan World Competitiveness Yearbook yang diterbitkan oleh International Institute for Management Development, setelah krisis 1998, daya saing Indonesia hampir selalu berada pada urutan kedua terbawah. Peningkatan pesat dari urutan 54 pada 2007 menjadi urutan 42 pada 2009 lebih disebabkan oleh krisis global yang banyak membenamkan negara-negara pesaing kita. Namun mereka akan segera pulih sejalan dengan pemulihan ekonomi global yang lebih cepat daripada perkiraan semula, mengingat fondasi mereka lebih baik daripada Indonesia, sehingga posisi Indonesia kembali terancam.

Ketiga, Indonesia kian tersingkir dari jaringan produksi manufaktur regional dan global. Hal ini terlihat dari porsi parts and components yang sangat kecil dalam ekspor kita, yakni hanya belasan persen. Bandingkan dengan Malaysia dan Filipina yang masing-masing di atas 40 persen dan 60 persen. Struktur industri yang lemah membuat daya tarik kita bagi foreign direct investment (FDI) relatif sangat rendah. Padahal peran FDI terbukti sangat vital dalam percepatan industrialisasi. Peran FDI ini pula yang membuat perekonomian Cina sangat dinamis. Terbukti lebih dari separuh ekspor Cina berasal dari perusahaan asing.

Keempat, daya tarik relatif industri manufaktur kian meredup sebagaimana terlihat dari porsi kredit ke sektor ini yang turun sangat tajam. Pada 1985, alokasi kredit perbankan ke industri manufaktur mencapai hampir 40 persen, sedangkan pada 2008 sudah terpangkas menjadi hanya 16 persen.

Kelima, penurunan penjualan listrik ke industri. Selama semester pertama 2009, penjualan listrik ke industri turun cukup tajam, yakni 8,9 persen. Sementara itu, untuk kelompok konsumen lain (sosial, rumah tangga, bisnis, dan umum) rata-rata naik 7-9 persen. Data konsumsi listrik menurut wilayah menguatkan kecenderungan itu. Wilayah Jawa Barat dan Banten—yang merupakan konsentrasi industri manufaktur Indonesia—mengalami pertumbuhan negatif 0,9 persen. Begitu juga Jakarta-Tangerang (0,9 persen) dan Jawa Timur (0,8 persen). Justru wilayah nonindustri tumbuh cukup tinggi, yakni Bali (9 persen) serta Jawa Tengah dan Yogyakarta (5 persen).

Untuk lima tahun ke depan, pertumbuhan industri manufaktur diperkirakan masih akan lebih rendah daripada pertumbuhan PDB. Berdasarkan skenario yang lebih optimistis sekalipun, pertumbuhan manufaktur maksimal hanya 6,5 persen pada 2014, sementara pertumbuhan PDB pada tahun yang sama 7,4 persen. Sebetulnya, ruang gerak bagi industri manufaktur untuk tumbuh lebih cepat masih cukup terbuka, mengingat pertumbuhan potensial sektor ini sekitar 9 persen.

Namun, tanpa tindakan luar biasa, industri manufaktur diperkirakan terus terseok-seok. Tahun depan, perjanjian perdagangan bebas (FTA) Asean-Cina akan berlaku hampir penuh. Tanpa FTA sekalipun, penetrasi barang-barang Cina sudah membuat banyak pelaku industri nasional tunggang-langgang. Sejak 2007, surplus perdagangan kita dengan Cina merosot. Bahkan setahun kemudian berbalik menjadi defisit US$ 3,6 miliar. Hingga Agustus 2009, defisit itu sudah mencapai US$ 1,7 miliar.

Industri manufaktur juga kian terpukul oleh krisis listrik belakangan ini. Pemadaman bergiliran tanpa jadwal pasti, keandalan pasokan yang rendah, serta tarif listrik untuk industri yang tergolong tinggi sangat memukul sektor ini. Yang paling merasakan adalah industri kecil. Mereka umumnya tak memiliki pilihan karena terlalu mewah untuk mengoperasikan genset sendiri.

Sementara itu, masalah ketenagakerjaan masih terus menggantung. Peraturan ketenagakerjaan yang notabene merugikan kedua belah pihak (pekerja dan pengusaha) tak kunjung direvisi. Akibatnya, kondisi ketenagakerjaan kian buruk.

Perlu diingat bahwa industri manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja formal terbesar. Keterpurukan industri manufaktur mengakibatkan pekerja sektor formal semakin terdesak. Dalam beberapa tahun terakhir, persentase pekerja di industri manufaktur terus turun, dari 18,8 persen pada 2005 menjadi 17 persen tiga tahun kemudian. Inilah yang menyebabkan daya serap tenaga kerja sektor formal merosot. Mengingat mayoritas pekerja kita dihadapkan pada kenyataan pahit, too poor to be unemployed, terpaksalah mereka menyemut ke sektor informal. Tahun ini pekerja di sektor informal sudah mencapai 69,5 persen dari keseluruhan pekerja.

Penguatan industri manufaktur sehingga bisa meningkatkan daya serap tenaga kerja di sektor formal diyakini juga akan mempercepat penurunan angka kemiskinan. Dalam sepuluh tahun terakhir boleh dikatakan upaya pengentasan puluhan juta penduduk miskin jalan di tempat. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan masih relatif besar, yaitu 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk.

Ekses selanjutnya adalah ketimpangan pendapatan memburuk. Hal ini terlihat dari angka koefisien Gini yang meningkat pesat dalam lima tahun terakhir.

Yang tak kalah penting, industri manufaktur merupakan ujung tombak modernisasi perekonomian. Tanpa industri manufaktur yang kuat, sektor-sektor jasa modern pun kehilangan pijakan untuk tumbuh sehat. Akibatnya, landasan bagi perekonomian untuk tumbuh secara berkelanjutan akan rapuh.

Industri manufaktur juga diyakini sebagai salah satu unsur utama yang memperkukuh basis penerimaan pajak. Makin banyak bahan baku yang diolah di dalam negeri, kian besar pula proses penciptaan nilai tambah. Dari proses ini, penerimaan negara dari pajak pertambahan nilai akan makin besar. Belum lagi dari pajak keuntungan perusahaan dan pajak pendapatan pribadi karena sebagian besar pekerja di industri manufaktur adalah pekerja formal. Lebih jauh, penerimaan pajak negara akan lebih stabil, karena harga-harga produk manufaktur tak berfluktuasi tajam seperti komoditas primer.

Kebangkitan kembali industri manufaktur harus dibentangkan. Kekuatan terbesar kita adalah ketersediaan bahan baku dan pasar domestik yang besar. Menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar akan menjadi bencana, membuat industri manufaktur kian terpuruk. Diperlukan more active industrial policy untuk memastikan terjadinya sinergi di antara kekuatan yang berserakan, bukannya malah saling membunuh. Tak boleh dibiarkan industri pupuk kita bangkrut karena tak dapat pasokan gas, industri petrokimia kesulitan memperoleh nafta karena kita tak kunjung menambah kapasitas kilang minyak, gas kita diekspor sehingga industri di dalam negeri harus mengimpor amoniak, industri mebel rotan dan mebel kayu kesulitan bahan baku, industri pengolahan cokelat bertumbangan karena kakao mentah langsung diekspor, dan industri pengolahan ikan banyak yang tutup karena kesulitan pasokan ikan segar. Serangkaian ironi tersebut harus diakhiri segera, secepatnya.

Pasar domestik kita yang besar—yang sudah terbukti menyelamatkan kita dari krisis global—tak akan banyak berarti kalau kita gagal mengintegrasikan perekonomian domestik. Investor tak akan mempertimbangkan keunggulan ini jika ongkos angkut khususnya dan ongkos logistik di dalam negeri sangat mahal. Sangat sulit untuk bersaing jika ongkos logistik kita mencapai 30 persen PDB, padahal di Cina hanya 20 persen dan di Thailand hanya belasan persen.

Gugusan 17 ribu pulau bagaikan zamrud di khatulistiwa, dengan luas lautan yang dua kali lipat dari luas daratan, membuat Indonesia sangat unik. Tak ada satu negara pun yang menyerupainya. Karena itu, kita harus mentransformasikan keunikan tersebut menjadi sumber keunggulan utama. Kita hanya bisa menyongsong kejayaan bangsa apabila menguakkan visi: ”Mewujudkan negara kesatuan maritim yang mampu mengintegrasikan perekonomian domestik menuju negara maju yang berkeadilan.”

Omong kosong kalau kita bisa memperoleh manfaat besar lewat integrasi dengan perekonomian regional dan global apabila kita tak kunjung mengintegrasikan perekonomian domestik terlebih dahulu.

Sekaranglah saatnya.

*) Ekonom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus