Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Faktor Menara dalam Tragedi Sukhoi

Penyebab kecelakaan Superjet 100 yang menabrak Gunung Salak mulai terkuak. Pengawas udara kurang memandu pilot yang tak paham medan. Ada upaya mengaburkan kesalahan. Tempo memperoleh rekaman komunikasi terakhir.

18 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pilot Aleksandr Yablontsev mengirim berita ke pengatur lalu lintas udara Terminal East, Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Jam menunjuk 14.24 pada Rabu, 9 Mei 2012. Sukhoi Superjet 100 bernomor registrasi RA-36801 yang ia terbangkan lepas landas dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, 12 menit sebelumnya.

Petugas di Cengkareng—pengatur senior lalu lintas udara, yang demi keamanan namanya disingkat N—menjawab, "RA-36801 radar contact, maintain ten thousand pro­ceed area." Sesuai dengan prosedur, Yablontsev mengulang instruksi petugas: "Maintain level 10.000 feet 36801." Jet melaju menuju Pelabuhan Ratu, sesuai dengan tujuan pada rencana penerbangan.

Semua tampak berjalan normal. Pilot menerbangkan pesawat dengan status instrument flight rules. Artinya, pilot mengikuti panduan alat navigasi di kokpit dan panduan petugas pengatur lalu lintas udara. Sebelum pesawat mengudara, petugas pengatur di Halim Perdanakusuma menghubungi N. Keduanya akrab: "Halo, ap­proach request release, Mas. RA-36801 ke Bogor Area dalam lima menit." Pemandu pun sempat bercanda, "RA-36801 OK. Langsung atau lewat Tangerang?"

Mengangkut tujuh kru dan 37 penumpang—antara lain petinggi maskapai penerbangan swasta dan wartawan—jet penumpang pertama buatan Rusia itu terbang buat promosi. Penerbangan gembira berakhir tragis: pesawat menabrak tebing Gunung Salak, Bogor. Sebulan lebih setelah tragedi itu, keping-keping informasi mulai terkuak. Termasuk detail percakapan pilot dan petugas pengatur lalu lintas udara.

Dua menit melaju di ketinggian 10 ribu kaki, pilot menghubungi petugas: "Tower, 36801 request descend 6.000 feet." Petugas N menjawab, "36801 say again request." Pilot Yablontsev mengulang permintaan untuk menurunkan pesawat ke 1.828 meter di atas permukaan laut. N segera membalas, "OK, 6.000 copied." Lagi sang pilot mengulang, "Descend to 6.000 feet 36801."

Seperti biasa, setiap siang, lalu lintas udara Jakarta sangat sibuk. Bertugas di Terminal East—satu dari lima sektor pengaturan lalu lintas udara: East, West, Lower North, Lower East, dan Arrival North—N seorang diri melayani 13 pesawat pada waktu bersamaan. Ia merespons permintaan turun, orbit, atau naik dari 13 pilot.

Sang pemandu kembali sibuk ­melayani permintaan dari pilot pesawat lain. Menurut seorang petugas menara, meski ada lima orang tercatat bertugas pada jam di hari itu, N sendirian tanpa asisten. Ahmad, petugas yang sebenarnya asisten, memandu puluhan pesawat lain di Terminal West.

Di radio, ketika jam berdetak pada pukul 14.28, Yablontsev terdengar kembali meminta persetujuan. "Tower, 36801 request turn right orbit present position." Tak menanyakan alasan pilot memutarkan pesawatnya ke kanan, N langsung setuju: "RA-36801 approve orbit to the right six thousand."

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi tak menampik ketika dimintai konfirmasi tentang komunikasi pilot dan pemandunya itu. "Percakapan ini normatif, tak ada petunjuk apa pun. Kami punya yang lebih lengkap," katanya Selasa pekan lalu. Semua data komunikasi, rekaman radar, juga kotak hitam pesawat telah diserahkan ke lembaga itu. Semua petugas juga telah dimintai keterangan.

Permintaan memutarkan pesawat itu merupakan komunikasi terakhir pilot. Hampir lima menit setelahnya, pesawat menabrak tebing. Dari rekaman kotak hitam, menurut seorang penyelidik dari Rusia, sesaat setelah permintaan memutar disetujui, pilot menjerit, "O Bozhe, chto eto takoe? (Ya, Tuhan, apa ini?)"

Petugas baru sadar 24 menit kemudian. Pesawat tak lagi bergerak di target radar. Ia memanggil Sukhoi tiga kali. Tak ada jawaban. Ia memanggil lagi. Sunyi….

l l l

KERIBUTAN meruyak di ruang kontrol Bandara Soekarno-Hatta begitu Sukhoi resmi dinyatakan hilang. Direktur Operasi dan Teknik Angkasa Pura II Salahuddin Rafi mengumpulkan semua pemandu yang bertugas hari itu. "Yang belum pulang ditahan, yang sudah pulang diminta kembali," kata seorang petugas.

Pukul 23.00, mereka bertemu di ruang rapat Sabda. Sekitar 20 pemandu hadir. Ada yang berdiri karena kursi tak cukup. Ada juga yang sambil menyantap mi atau nasi goreng pesanan dari kantin. Salahuddin Rafi memimpin rapat ditemani Vice President Air Traffic Services Sutrisno Jaya Putra.

Menurut seorang peserta, Sutrisno menekankan pentingnya kesamaan pendapat. Ia meminta semua peserta melihat rekaman komunikasi Sukhoi. Lalu ia membuat simulasi kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang bisa mengarahkan kesalahan kepada pemandu. "Mari kita tutup lubang atau celah yang ada," kata Sutrisno, seperti ditirukan peserta lain.

Rapat bubar pukul 03.30 tanpa ada notulensi hasilnya. Esok sorenya, rapat serupa digelar. Kali ini rapat dipimpin Wisnu Darjono, Kepala Subdirektorat Navigasi Udara Kementerian Perhubungan. Pesertanya 31 orang. Presiden Indonesia Air Traffic Controllers Association (IATCA) I Gusti Ketut Susila juga hadir.

Hasil rapat yang berakhir menjelang tengah malam itu dituangkan dalam risalah. Isinya versi yang disepakati tentang kronologi kecelakaan. Ada beberapa poin yang terlihat janggal. Misalnya, dalam risalah disebutkan, "Petugas menara menginstruksikan Sukhoi menuju Bogor Area." Dalam transkrip percakapan, petugas tak terdengar menyebut-nyebut daerah ini ke pilot.

Bogor Area yang dimaksud itu adalah training area Atang Sendjaja, yang jaraknya memang 20 nautical mile dari Halim. Penyebutan wilayah aman untuk manuver ini membuat persetujuan N atas permintaan turun dan berbelok dari Yablontsev jadi terdengar logis. Padahal, sesuai dengan rencana terbang, area ini bukan tujuan akhir Sukhoi.

Area Atang Sendjaja, seperti terlihat dalam peta penerbangan yang ditunjukkan Tatang Kurniadi, memang jalur yang dilalui pesawat dari Halim menuju Pelabuhan Ratu. Masalahnya, seperti tercatat dalam rekaman percakapan menara Halim dan Cengkareng, Sukhoi berencana terbang pada ketinggian 10 ribu kaki. "Kenapa permintaan turun ke 6.000 kaki disetujui, ini yang masih diselidiki," kata Tatang.

Tatang tak menganggap dimunculkannya "Bogor Area" dalam kronologi versi Angkasa Pura sebagai kejanggalan. Sutrisno juga menyangkal jika kantornya disebut merekayasa jawaban dan data untuk mengaburkan dugaan kesalahan pemandu. "Buat apa? Karena pasti terbuka juga ketika KNKT memeriksa," ujarnya.

Sutrisno menjamin, jawaban resmi Angkasa Pura soal Sukhoi sesuai dengan data dan fakta. "Kami punya kesimpulan apa yang terjadi dengan Sukhoi, tapi itu sudah ranah KNKT," Mulya Abdi, General Manager Senior Air Traffic Services Soekarno-Hatta, menambahkan.

l l l

TATANG Kurniadi tak mau berspekulasi soal penyebab utama jatuhnya pesawat seberat 45 ton itu. Alasannya, analisis kotak hitam baru selesai 12 bulan lagi. Tapi ia mengatakan, saat terbang, pesawat sepenuhnya dikendalikan pilot. "Pemandu menara tak tahu kalau ada gunung," katanya.

Tatang memastikan, dalam flight plan Sukhoi, pesawat ini terbang dengan panduan instrumen pada ketinggian 10 ribu kaki dari Halim menuju Pelabuhan Ratu. Menurut dia, penyebab Yablontsev meminta turun ke 6.000 kaki masih jadi misteri.

Petunjuk datang dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, yang mencatat munculnya awan kumulonimbus di atas pucuk Salak pada hari itu. Awan yang menandai turun hujan dan petir itu melayang 6.000 kaki di atas permukaan laut. Awan memanjang sejauh lima kilometer. "Asumsi sementara, dia menghindari awan ini," ujar Tatang.

Seorang investigator Rusia yang mengetahui analisis sementara kotak hitam mengatakan Yablontsev berniat melakukan manuver setelah permintaan turunnya disetujui menara Cengkareng. "Dia mau terbang di celah dua puncak gunung," katanya. Salak punya tiga pucuk dengan lembah-lembahnya yang curam.

Aleksandr Yablontsev pilot senior. Di usianya yang 57 tahun, ia sudah menerbangkan 221 jenis pesawat dengan 14 ribu jam terbang. Bekas pilot tempur ini juga terlibat membangun Sukhoi sejak 2004. Dengan pengalaman dan keahlian itu, kata investigator ini, Yablontsev diduga berniat menunjukkan kecanggihan Sukhoi kepada tamu-tamunya.

Tak paham kontur jalur ke Pelabuhan Ratu itu, sang pilot terkejut ketika membelokkan pesawat ke kanan justru mengarah ke tebing Salak. Luka tebing akibat benturan menunjukkan Yablontsev berniat menaikkan pesawat tapi tak cukup jarak dan waktu buat menghindar.

Menurut Presiden IATCA I Gusti Ketut Susila, jarak koordinat pesawat saat kontak terakhir dengan Gunung Salak hanya 14 kilometer. Dengan kecepatan 290 knot atau 450 kilometer per jam, pilot hanya punya waktu sembilan detik menghindari tebing.

Menurut Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan, Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov mengabaikan peringatan sistem yang berbunyi sebelas kali—tanda pesawat menuju bahaya. Tapi seorang petugas di Cengkareng menyimpulkan, pemandu memiliki andil dalam kecelakaan. "Semestinya pemandu tak menyetujui permintaan pilot berbelok ke kanan karena di monitor radar sebenarnya tercantum gunung," ujarnya.

Jika saja petugas menyatakan "negatif" dan memerintahkan pesawat berbelok ke kiri, pilot punya waktu dua menit untuk menghindari puncak gunung. Kesibukan N yang memandu belasan pesawat lain dalam waktu bersamaan membuatnya tak waspada. Dalam transkrip percakapan itu, ia tak terdengar mengarahkan Sukhoi atau menolak permintaan pilot.

Mulya Abdi, General Manager Senior Air Traffic Services Soekarno-Hatta, beralasan bahwa turun ke 6.000 kaki dan berbelok ke kanan disetujui pemandu karena Sukhoi berada di training area Atang Sendjaja. "Ini daerah bersih. Pesawat minta turun ke 3.000 pun pasti disetujui," katanya.

Training area Atang Sendjaja adalah sebuah wilayah imajiner di Bogor yang melintang sepanjang 50 kilometer dari Tangerang hingga Cikeas, dengan lebar sekitar 20 kilometer. Letaknya 20 nautical mile atau 37 kilometer dari Pangkalan Halim. Area ini sering dijadikan tempat latihan siswa penerbang Curug, Tangerang, karena sepi dari lalu lintas pesawat.

Terbang di area latihan ada syaratnya. Menurut Heruyanto Sutiyoso, dosen senior di sejumlah sekolah penerbangan, kecepatan maksimal di wilayah ini 250 knot. "Dan pilot harus terbang secara visual, bukan instrumen," ujarnya.

Ketika menabrak tebing Salak, Sukhoi melaju 40 knot di atas batas maksimal yang diizinkan di area latihan. "Semestinya pemandu memberitahukan syarat-syarat terbang di training area," kata seorang petugas menara Cengkareng. Akibat kelalaian ini, N kini belum diizinkan lagi memandu pesawat. Ia sempat dirawat dua hari di Rumah Sakit Mayapada, Tangerang, karena depresi.

Bagja Hidayat, Wahyu Muryadi, Pramono


Tower 36801 good afternoon, establish Radial 200 degrees VOR ten thousand feet.

VOR:
singkatan dari very high frequency omnidirectional range, peranti navigasi udara

Radar contact:
pemandu udara sudah melihat pesawat di monitor radar dan kemudian memandunya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus