Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIAT hati menghibur keluarga, Abdul Malik Damrah malah harus pulang sambil menahan gondok. Pria 45 tahun itu batal menikmati semilir angin sambil bermain pasir di Pantai Ancol, Jakarta Utara, pada akhir April lalu. Ia dan dua putranya yang masih di sekolah dasar tertahan di gerbang utama Ancol. "Tiketnya kemahalan," kata warga Petamburan, Jakarta Pusat, ini kepada Tempo, akhir pekan lalu.
Malik dan keluarga bertahan di pintu gerbang nyaris setengah jam. Penjaga pintu menyuruh membayar tiket Rp 15 ribu per orang. Artinya, ia harus mengeluarkan duit Rp 45 ribu. Bagi Malik, yang berprofesi sebagai pedagang musiman, itu bukan jumlah kecil. "Harga segitu hanya wajar bagi orang kaya," kata Malik, yang sudah lama tak ke Ancol. Dia pun menawar harga tiket itu, tapi ditolak mentah petugas.
Sebagai pedagang musiman, Malik kerap bepergian ke Kalimantan dan Sulawesi. Ia suka menyambangi pantai-pantai di luar Jawa. Semua pantai yang ia datangi gratis. Kalaupun membayar, harganya tak memberatkan. "Harga tiket Pantai Ancol paling mahal di negeri ini," kata Malik.
Cerita gagal masuk Ancol Malik simpan sekitar seminggu. Sampai akhirnya dia bertemu dengan dua rekannya. Ternyata mereka punya pengalaman nyaris sama. Mereka sama-sama keberatan terhadap tarif masuk ke Pantai Ancol.
Ketiganya sepakat membawa masalah tersebut ke jalur hukum. Mereka beranggapan pantai adalah ruang terbuka publik. Artinya, setiap orang boleh masuk dan menikmati keindahan alam tanpa embel-embel kutipan. Mereka lalu berdiskusi dengan pakar hukum dan pemerhati lingkungan. Dukungan pun mereka kumpulkan. Akhirnya, mereka sepakat menunjuk tim pengacara dari Bela Keadilan untuk menggugat.
Pada 2 Mei lalu, mereka mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka menggugat tiga pihak sekaligus. Pertama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang dianggap tak memberi akses luas kepada masyarakat yang ingin menikmati pantai. Kedua, PT Pembangunan Jaya Ancol, yang dianggap menetapkan harga tiket terlalu mahal. Ketiga, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pekerjaan Umum.
Dalam gugatannya, mereka menuntut dua hal: pembukaan akses Pantai Ancol tanpa harus membayar dan ganti rugi sebesar Rp 45 ribu. "Ini uang pengganti kerugian bagi penggugat yang pernah membayar tiket masuk Ancol," kata Fahmi Syakir, salah seorang anggota tim pengacara Bela Keadilan.
Landasan hukum yang mereka pakai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 29 dan 30 undang-undang itu menyatakan pantai merupakan ruang terbuka hijau untuk kepentingan masyarakat. Para penggugat juga memakai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai. "Kedua peraturan ini secara gamblang menyebutkan pantai harus dibuka tanpa dikutip biaya," kata Fahmi.
Sidang perdana gugatan itu digelar Selasa pekan lalu. Tapi karena tergugat pertama, pemerintah DKI Jakarta, tak hadir, hakim memutuskan sidang ditunda pekan ini.
Sejak 1966, kawasan Ancol dikelola PT Pembangunan Jaya Ancol, sebuah badan usaha milik daerah. Mereka mengelola sekitar tiga kilometer dari 32 kilometer garis pantai di Jakarta. Selain Ancol, Jakarta punya pantai di Cilincing dan Marunda. Namun hanya Ancol yang terawat. Aneka sarana hiburan melengkapi pantai berpasir putih yang dijaga petugas keamanan selama 24 jam itu. Adapun di Cilincing dan Marunda, sampah dan limbah bertaburan di mana-mana. Setiap tahun Ancol memberi pemasukan pemerintah DKI sekitar Rp 100 miliar.
Direktur Keuangan PT Pembangunan Jaya Ancol Teuku Sahir Syahali menganggap harga tiket Rp 15 ribu setimpal bagi pengunjung yang menikmati Pantai Ancol. Dengan harga itu, pengunjung boleh menikmati keindahan dan semua fasilitas pantai selama 24 jam. Yang masih harus bayar hanya sarana hiburan, semacam Dunia Fantasi dan SeaWorld. Adapun fasilitas parkir dan toilet gratis. "Harga perawatan itu mahal," katanya.
Pengacara PT Pembangunan Jaya Ancol, Imran Nating, mengatakan masih mempelajari isi gugatan bersama timnya. Menurut dia, jika tidak dikelola dengan benar, Pantai Ancol akan bernasib sama dengan Cilincing dan Marunda. Karena itu, dia menganggap gugatan Malik dan kawan-kawan dipaksakan dan terlalu berlebihan. "Kami tengah berpikir untuk menggugat balik mereka," kata Imran.
Pihak Ancol, menurut sumber Tempo, mempunyai senjata melawan gugatan itu. Salah satunya perihal penetapan Ancol sebagai wilayah wisata dalam Tata Ruang Jakarta. "Dengan demikian tidak menyalahi UU Penataan Ruang karena undang-undang menyatakan tata ruang suatu daerah diserahkan ke pemerintah setempat," katanya. Sumber itu menambahkan, gugatan ke Ancol yang juga memakai dasar Peraturan Menteri tentang Reklamasi Pantai tersebut tak tepat. "Tidak ada hubungannya dengan peraturan itu," katanya.
Pengamat tata ruang dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, menyambut baik gugatan Malik tersebut. "Ini pertama kali ada pengelola pantai yang digugat." katanya. Bila merujuk pada standar internasional, menurut Nirwono, akses ke pantai semestinya dibuka selama 12-15 jam dalam sehari. Bagi masyarakat yang ingin menikmati pantai, kata dia, tak boleh ada kutipan. Nirwono mencontohkan Pantai Lhoknga di Banda Aceh, Pantai Losari di Makassar, dan Pantai Kuta di Denpasar. Semuanya dapat diakses gratis. Pemerintah DKI, ujar Nirwono, semestinya segera menggratiskan Pantai Ancol. Apalagi kini ada Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030, yang akan menjadikan pantai di utara Jakarta sebagai ruang publik.
Nirwono juga menyoroti sejumlah perumahan mewah di wilayah Jakarta Utara, seperti kompleks Pantai Mutiara, Pluit, yang memiliki dermaga pribadi dan hanya untuk empunya rumah. Menurut dia, dermaga yang tertutup untuk umum itu bisa digolongkan haram. Aturannya, ujar dia, tak boleh ada dermaga yang dimiliki pribadi. Setiap dermaga yang berjarak 200 meter dari tepi pantai merupakan milik publik. "Siapa pun boleh menggunakan dermaga itu," kata Nirwono.
Peraturan yang sama, menurut dia, berlaku pula untuk kawasan yang dibangun dengan cara reklamasi. Biaya mahal menguruk laut tak bisa jadi alasan menutup kawasan untuk publik. "Pemilik dermaga harus membuka akses sebesar-besarnya," katanya.
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo