Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Deregulasi ketinggalan kereta

Pemerintah mengendurkan perizinan PMA. mereka tak harus menyediakan dana jutaan dolar, tapi harus investasi di kawasan IBT. peran BUMN makin merosot. sejumlah PMA di indonesia. PMA kini tak harus menyediakan dana jutaan dolar, cukup rp 500 juta. mereka dipersilahkan investasi bidang-bidang usaha kecil. dampak negatif, pengusaha lemah akan terpukul.

2 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA kakap tak ada, teri pun tak mengapa. Itulah kesan yang terasa sangat menghunjam ketika menyimak pasal demi pasal dari Peraturan Pemerintah (PP) 17/1992 yang ditandatangani Presiden Soeharto, 16 April berselang. PP 17 memungkinkan investor asing untuk membuka usaha di Indonesia tanpa harus menyediakan dana jutaan dolar. Juga mereka tak lagi diharuskan masuk ke bidang-bidang usaha yang padat teknologi. Modal yang harus disediakan cukup 250 ribu dolar atau sekitar Rp 500 juta. Ini sungguh mengejutkan, terutama di puncak berita proyek mega Chandra Asri yang menelan investasi 1,6 milyar dolar. Dengan patokan modal US$ 250 ribu, tak pelak lagi, PMA kini dipersilakan menyerbu bidang-bidang usaha kecil. Tak percaya? Bandingkan dengan kategori usaha kecil bagi investor lokal yang menetapkan modal maksimal sebesar Rp 600 juta. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi para penanam modal asing itu pun kini tak seberat dulu. Selain harus padat karya (minimal 50 tenaga kerja), yang harus diekspor dari hasil produksi cukup 65%. Padahal sebelumnya kewajiban ekspor bagi PMA minimal 80% dari total produksi. Masih untuk menarik investor asing kelas teri, pemerintah juga memperlonggar aturan kepemilikan saham oleh pengusaha lokal. Mereka yang akan menjadi mitra bagi investor asing cukup menyertakan modal 5% saja, yang kemudian ditingkatkan menjadi 5% dalam waktu 20 tahun. Sedangkan sebelumnya, aturan 5% ini hanya diberlakukan bagi investasi modal raksasa, dan harus ditingkatkan menjadi 20% dalam waktu 5 tahun. Yang tak kalah menarik dari peraturan pemerintah nomor 17 ini adalah teknik yang digunakan untuk menjaring investor kakap. Terhitung April 1992, kalau ada pihak asing yang berminat, maka ia diperbolehkan mendirikan PMA 100%. Syaratnya enteng. Selain harus menyetorkan modal minimal 50 juta dolar, perusahaan yang bersangkutan harus mengambil lokasi di 14 provinsi yang telah ditetapkan (IBT, Kalimantan, Bengkulu, dan Jambi). Persyaratan dalam hal kepemilikan saham oleh perusahaan lokal juga sangat ringan. PMA murni itu hanya diharuskan mengalihkan sahamnya sebesar 5% setelah lima tahun berproduksi komersial. Setelah itu kepemilikan lokal bisa dinaikkan menjadi 20% dalam jangka 20 tahun. Untuk jenis investasi yang satu ini tampaknya tak ada lagi keharusan pengalihan saham hingga 51% seperti yang diatur sebelumnya. Dan yang dimaksud pengusaha lokal tak lagi harus WNI perorangan ataupun badan usaha yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Soalnya, PP ini juga menetapkan bahwa lembagalembaga keuangan internasional -- seperti Asian Development Bank, International Finance Corporation, dan Islamic Development Bank -- akan diperlakukan sama dengan investor lokal. Alasannya, seperti dikemukakan Menko Ekuin Radius Prawiro, karena Indonesia memiliki saham di tiga lembaga tersebut (walaupun kecil). Contohnya Islamic Development Bank (IDB). Di lembaga ini Indonesia menyertakan modal 76 juta dolar. Tidak banyak, memang. Apalagi jika dibandingkan dengan total modal disetornya yang mencapai 2,4 milyar dolar. Tapi bukan hanya itu yang menjadi pemicu disamakannya ketiga lembaga asing tersebut dengan investor lokal. Menurut Udayan V. Wingle, Kepala Perwakilan IFC di Indonesia, peraturan ini bukan hal baru. Di sebagian besar negara tempat IFC beroperasi, satus lembaga ini sudah lama dianggap sebagai investor lokal. Termasuk di negara-negara berkembang, seperti Tanzania, Kenya, Filipina, dan India. Jadi jika pemerintah Indonesia menerapkan hal yang sama, kata Wingle, itu wajar dan bagus. "IFC didirikan kan untuk membantu swasta," tuturnya. Terlepas dari peran lembagalembaga asing itu pemerintah punya alasan lain yang lebih jitu. Menurut Menko Radius, salah satu alasan yang mendorong PP 17/1992 ditetaskan ialah mendinginnya pertentangan Barat dan Timur. Dengan dunia yang lebih aman tenteram, semua negara cenderung menyejahterakan rakyat dan menciptakan lapangan kerja sehingga, "Semua terjun berebut modal," kata Radius pula. Oleh sebab itu, kemudahan diciptakan dan PMA pun diperbolehkan 100%, "Supaya investor asing tidak harus melakukan berbagai perundingan yang bertele-tele dengan mitra lokalnya," Radius menambahkan. Alasan serupa diungkapkan oleh Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo. Dengan memberi batas lima tahun untuk pengalihan saham, investor asing bisa lebih tenang dalam memilih mitra lokalnya. Ini memang penyakit lama. "Selama ini, banyak investor asing yang mengeluh karena kesulitan dalam memperoleh partner lokal yang baik," ungkap Sanyoto. Selain itu, yang juga dijadikan pertimbangan utama ialah pemodal lokal yang sedang "mati angin". Penyebabnya hanya satu: tight money policy yang berkepanjangan. "Lima puluh juta dolar itu besar lho. Dan saat ini tak banyak pengusaha kita yang punya duit sebanyak itu," kata Sanyoto. Apa pun alasannya, yang tetap terasa mengganjal adalah standar investasi untuk asing yang cuma 250 ribu dolar itu. Bukankah dampaknya akan membunuh usaha (terutama PMDN) yang sudah ada? Apalagi, seperti kata Radius, deregulasi ini akan dilanjutkan dengan memperpendek daftar bidang usaha yang tertutup. Artinya, kalau saat ini ada 60 bidang usaha yang tak boleh dimasuki asing, setelah deregulasi baru muncul, jumlah usaha terlarang itu kelak akan berkurang. Hal itu samalah artinya dengan pintu ekonomi yang dibiarkan semakin terbuka lebar bagi pemodal asing. Jangan-jangan, pintu itu dibukakan juga untuk peternakan ayam, industri rotan jadi, atau industri sepatu rumahan. Pada gebrakan pertama saja, mereka itu pasti langsung terpukul. Tentang kemungkinan ini, Sanyoto punya jawaban yang terdengar enteng tapi cukup realistis. Katanya, perkara standar modal minimal yang 250 ribu dolar itu tak perlu diributkan benar. "Daripada tidak ada yang mengambil, kan lebih baik kalau ada orang asing yang mengerjakan," ujarnya. Apalagi, sesuai dengan peraturan, investor lokal pun kelak akan ikut berperan sehingga mereka bisa belajar dari mitra asingnya. Dari penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa PP 17/1992 sangat mengutamakan modal asing dan bertambahnya lapangan kerja. Dampak negatif, seperti terpukulnya pengusaha lemah, tak diperhitungkan benar. Wajarlah jika langkah ini mendapat sambutan hangat dari pengusaha-pengusaha besar di tanah air. "Saya rasa kita tidak perlu terlalu khawatir," demikian cetus Sofyan Wanandi, bos Grup Gemala. Dia memperhitungkan tak akan banyak pengusaha asing yang masuk dengan modal minimal (250 ribu dolar). Di samping itu investor sekarang cenderung melirik usaha-usaha di sektor perkebunan karet, kelapa sawit, cokelat, pisang, nanas, dan turisme. "Nah, kalau sudah masuk ke sektor itu, modal yang dibutuhkan akan jauh lebih besar dari 250 ribu dolar," lanjut Sofyan. Dan ia tak ragu-ragu menyarankan agar pemerintah juga membuka usaha penangkapan ikan bagi investor asing. Bidang ini hanya diperuntukkan bagi pengusaha kecil yang bekerja sama dengan pengusaha besar di dalam negeri. Menurut Sofyan, jika sektor ini ditawarkan, akan banyak pengusaha Korea, Taiwan, dan Jepang yang terjun. "Daripada ikan kita dicuri terus oleh mereka," kata Sofyan lagi. Yang pasti, pedang deregulasi tidak akan berkelebat sampai di sini saja. Selain pengurangan daftar negatif investasi, pemerintah juga sudah menjanjikan akan memangkas prosedur perizinan. Terutama izin pembangunan pabrik di kawasan industri. Hal ini diungkapkan Menteri Muda Perindustrian Tungky Ariwibowo. Katanya, untuk memperoleh izin membangun pabrik, selama ini dibutuhkan waktu sampai berbulan-bulan. "Prosesnya sangat berbelit-belit," ucap Tungky. Nah, dengan deregulasi, yang akan diumumkan dalam waktu dekat ini, proses panjang itu diharapkan bisa lebih pendek. Setidaknya izinizin harus bisa diselesaikan dalam sepekan. Perkara proses perizinan ini juga digarisbawahi oleh Iwan Jaya Azis. Karena itu, "Jangan dulu mimpi bahwa PMA akan banjir di Indonesia," katanya. Selain izin masih ada sebaris panjang kelemahan pemerintah Indonesia dalam menarik pemodal asing. Dalam hal Hak Guna Usaha (HGU), contohnya. Di Indonesia, HGU hanya berlaku untuk 30 tahun. Muangthai dan Malaysia sudah lama memberikan HGU untuk 100 tahun. Diakui oleh Iwan, kebijaksanaan baru ini akan meringankan beban neraca pembayaran pemerintah Indonesia. Bobot risikonya jelasjelas lebih ringan ketimbang harus membayar cicilan utang dan bunga. Disamping itu, dengan membuka pintu bagi asing (yang 100% maupun yang 250 ribu dolar), akan tercipta suasana persaingan yang memacu investor dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi kerjanya. Hanya saja, dengan berbagai kelemahan di sana sini, Iwan masih meragukan bahwa PP 17/1992 akan mampu memikat banyak peminat. Dalam kata lain, kita belum perlu takut akan terjadi "pembunuhan" pada pengusaha kecil yang sudah ada. Dan jika memang tak terjadi banjir PMA, para pelaku ekonomi tak perlu takut terhadap binatang yang namanya overheated. Yang dikhawatirkan Iwan justru dampak negatif yang akan timbul, yakni munculnya PMA-PMA 100% yang bersifat semu. "Yang harus kita waspadai adalah orang Indonesia yang membentuk perusahaan di luar negeri, lantas masuk kembali sebagai PMA 100%," katanya serius. Siapa tahu, modal yang digunakan untuk mendirikan perusahaan itu diambil dari pinjaman luar negeri. Kalau hal itu terjadi, harapan pemerintah untuk mendapatkan fresh money tidak akan terpenuhi. Ujung-ujungnya malah akan menambah beban neraca pembayaran. Tak berlebihan jika Iwan berpesan agar pemerintah bersikap waspada terhadap PMA semu ini. Kalau tidak, "Utang kita tetap akan bertambah," katanya. Ditambahkannya, pemerintah juga harus segera membenahi kondisi sarana dan prasarana penunjang, seperti listrik, telekomunikasi, jalan, dan pelabuhan. Ini sangat penting. Lihat saja IBT, yang walaupun sudah lama dipromosikan, tetap sepi peminat. Kondisi yang tidak menguntungkan ini diakui oleh Tungky Ariwibowo. Dibandingkan dengan negara-negara pesaing, seperti Cina, Malaysia, dan Muangthai, "Kita ketinggalan cukup jauh," Tungky mengaku spontan. Ambillah Guangzhou, kota industri yang dirintis RRC sejak 1978. Hanya dalam waktu 11 tahun, kota ini telah berhasil menyedot investasi 3,5 milyar dolar. Nilai yang begitu tinggi diperoleh berkat adanya zona ekonomi dan teknologi seluas 4,6 kilometer persegi. Di sini jalan raya malang-melintang menghubungkan berbagai sudut kota dan sarana komunikasi yang tersedia pun sangat memadai. Di Guangzhou juga, setiap 10,5 jiwa mempunyai sebuah telpon yang siap menghubungkan 180 negara di dunia. Tak berlebihan jika ada yang berkomentar bahwa dalam hal sarana, prasarana, dan deregulasi, "Indonesia ketinggalan kereta". Dan ketertinggalan ini akan semakin jauh. Tahun 1991, misalnya, Indonesia hanya menandatangani persetujuan PMA senilai 2,1 milyar dolar. Ini berarti telah terjadi penurunan sebanyak 6,7 milyar dolar atau hanya 23% dari nilai investasi PMA yang disetujui tahun sebelumnya. Budi Kusumah, Ivan Haris, Taufik Alwie, Iwan Qodar, Reza Rohadian, dan Amsakasasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus