Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari sokoguru pembangunan

Peran BUMN dalam perekonomian nasional merosot. kini, pemerintah mengendurkan perizinan PMA. sejumlah kendala dipangkas, tapi investasi harus di kawasan IBT, bengkulu, dan jambi.

2 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUSAHAAN modal asing (PMA), yang selama ini dianggap hanya sebagai pelengkap dalam gerak pembangunan, untuk kesekian kalinya dirangsang agar maju. Bahkan sejak tahun 1986 berbagai cara dicoba pemerintah agar investasi asing yang lamban itu bisa lebih lincah. Terakhir, PP (Peraturan Pemerintah) No 17/1992 yang diluncurkan Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo, tampaknya merupakan upaya "habis-habisan". Sejumlah kendala dipangkas, bahkan beberapa hal yang dulunya tabu kini diikhlaskan. Keharusan mengikutsertakan saham lokal, misalnya, kini diperlunak. Begitu pula ketentuan proses Indonesianisasi kepemilikan saham serta manajemen. Dalam investasi awal dulu harus melibatkan 20% modal perusahaan lokal. Kini cukup 5%. Malah kalau PMA itu menanamkan modal di atas US$ 50 juta, silakan jalan tanpa didampingi mitra lokal. Tapi investasinya harus di kawasan Indonesia Bagian Timur (IBT), atau di Bengkulu dan Jambi. Mau investasi di Jawa juga boleh bahkan diperkenankan dengan modal hanya US$ 250.000 atau sekitar Rp 500 juta. Hanya saja PMA yang bermodal "sekecil" ini diharuskan menyerap tenaga kerja minimal 50 orang, atau 65% produksinya harus diekspor. Soalnya, adakah perusahaan dengan kekayaan Rp 500 juta -- jika dinilai dari asetnya -- yang tergolong pengusaha ekonomi lemah tapi produknya bisa diekspor? Sungguh mustahil. Di bagian ini terkesan sekali betapa pemerintah terlalu "mengalah", kalau tak mau dikatakan surut melangkah. Langkah ini konon terpaksa ditempuh, mengingat sokoguru dalam perekonomian Indonesia (BUMN, perusahaan swasta lokal, dan koperasi) sedang mati angin. Koperasi sekarang ini tak ubahnya biduk yang nyaris karam. BUMN setali tiga uang. Dalam dua tahun terakhir, lebih dari separuh BUMN akan dilepaskan pemerintah kepada swasta. Sejarah menunjukkan bahwa kebanyakan BUMN yang ada sekarang kurang efisien. Kendati Departemen Keuangan kini mempunyai dana cadangan sekitar Rp 3,5 triliun, pemerintah tak sekali pun berniat memanfaatkan dana tersebut untuk mengembangkan BUMN. Pengekangan BUMN-BUMN ini akan menyebabkan perkembangan provinsi di luar Jawa kian ketinggalan. Menurut Hal Hill, pengamat ekonomi Indonesia dari Australian National University, BUMN-BUMN itu justru lebih banyak beroperasi di luar Jawa. Hal Hill malah sampai pada kesimpulan bahwa peran BUMN dalam perekonomian nasional telah sangat merosot. Menurut pakar ini, penciptaan kesempatan kerja dan kegiatan ekspor justru lebih banyak dilakukan oleh perusahaan swasta nasional. (Bulletin of Indonesian Economic Studies, No. 3, December 1990). Celakanya, perusahaan swasta nasional kini sedang lesu. Dalam kungkungan kebijakan uang ketat (tight money policy), tak banyak peluang untuk lahir dan berkembangnya perusahaan swasta. Lalu apakah PMA kini bisa menjadi sokoguru dalam perekonomian Indonesia, khususnya di IBT? Harapan ini barangkali terlalu muluk. Kini kebanyakan PMA lebih suka menancapkan kaki di sekitar Ibu Kota Jakarta atau Jawa Barat. Prasarana kedua provinsi ini lebih lengkap, buruh murah, selain lebih gampang melempar hasil produksinya. Jadi tampaknya masih akan sulit menarik investor asing ke IBT. Memang betul bahwa perusahaan asing, seperti PT Freeport Indonesia di Irian Jaya dan PT INCO di Sulawasi Tenggara bisa bergerak tanpa fasilitas pemerintah. Mereka membangun jalan, pelabuhan, bahkan sarana pendidikan dan pusat layanan keluarga karyawannya. Tapi jangan lupa, mereka bergerak dalam investasi skala besar. Sementara itu, pakar ekonomi dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Dr. Thee Kian Wie, dalam suatu analisanya yang dimuat di Bulletin of Indonesian Economic Studies edisi 3 Desember 1991, melihat bahwa perkembangan PMA belakangan ini cukup menarik. Menurut Dr. Thee, dengan diperbolehkannya investor asing menanamkan modal kecil (US$ 250.000) sejak tahun 1989, terlihat banyak perusahaan asing dari negara industri baru (NIC's) -- seperti Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura -- yang memindahkan pabriknya ke Indonesia. Kita, misalnya, bisa mengikuti pola Singapura yang sudah lama menerima PMA murni 100%. Mereka lebih sejahtera karena bisa mendapatkan kesempatan kerja, juga memperoleh nilai tambah lebih tinggi selain bisa meningkatkan ekspor. "Hanya teknologi tinggi belum tumpah di Singapura," tutur Thee kepada TEMPO. Nah, jika mau mengambil alih teknologi barangkali harus meniru pola Korea Selatan dan Jepang. "Mereka ketat terhadap investasi asing, khususnya untuk pengembangan industri hulu. Teknologinya mereka kuasai dengan melakukan research & development," kata Thee lagi. Ia secara tak langsung seakan menjelaskan bahwa alih teknologi itu bukanlah satu hal yang bisa diperoleh hanya dengan sabar menunggu. Alih teknologi seperti yang terjadi di Korea Selatan adalah satu proses mahal yang diperjuangkan dengan tekun. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus