Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Toba, bukit, dan pesta

Kemeriahan pesta danau toba ke-9, tenggelam di balik bukit parapat. alam danau toba yang mempesona ikut menyemarakkan peniup sarune tari manortor lomba dayung sampan, solu bolon dan tontonan lain.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA gondang dan sarune bagai tak henti-hentinya terdengar bersahutan, bertalu-talu, lalu raib ditelan keluasan danau yang membiru. Kemeriahan Pesta Danau Toba Ke-9 akhir Juni lalu pun tenggelam di balik Bukit Parapat. Alam seolah tak mau diusik. Bentanganan Toba (82 x 40 km) memang bisa mempesona. Udara sejuk di ketinggian lebih dari 900 m dari permukaan laut memang terasa nyaman. Dan di Pulau Samosir, di tengah Toba, yang nyaris tandus dengan lebar 18 km itu, bagai menyimpan misteri. Itukah yang menelan keanekaragaman seni budaya dari Simalungun, Toba, Karo, dan Dairi, yang dikiprahkan dalam pesta seni kali ini? Pesta yang kelihatannya sepi dari peminat? Lihatlah, pada puncak acara, 40 turis dari Singapura malah beranjak pulang. Dan 25 wisatawan dari Belanda yang baru tiba pun memilih acara untuk bertandang ke desa sekitar danau, ketimbang menikmati atraksi kesenian di pentas pinggir danau. "Saya cuma tertarik pada alam yang mempesona," kata Syarif, turis dari Malaysia. Padahal, kontingen Malaysia, Pulau Penang, ikut dalam lomba Solu Bolon, lomba dayung sampan, menempuh jarak 18 km dari Parapat ke Samosir pulang-pergi. "Kalau pesta ini mau sukses, pengorganisasiannya tidak bisa amatiran," kata Wahyu Sihombing, sutradara film yang baru lepas dari heboh Losmen, sandiwara TVRI populer yang kini lenyap -- bukan karena ditelan alam. "Yang paling mengganggu adalah penempatan spanduk sponsor di arena pesta," keluh putra Batak yang datang atas undangan panitya itu. Iklan memang biasa dianggap merepotkan. Iklan tak datang, berarti dana berkurang, kemeriahan pesta pun surut. Bila ia datang, lalu minta tempat, ada saja yang bilang, "Iklan itu mengganggu." Sebagaimana pesta Toba itu sendiri, yang juga merepotkan. Tak melibatkan warga setempat, panitya bisa dituduh tak tahu diri. Bila warga diajak berpartisipasi, ada saja keberatannya. Misalnya, "Kami baru pesta kalau panen berhasil. Sekarang lebih baik kami cari makan dulu," kata Ibu Manurung di pekan Ajibata, Parapat. Memang susah menyenangkan semua orang. Mungkin kita sekali-sekali perlu acuh-tak-acuh, bagaikan danau dan bukit yang tak peduli pada hura-hura pesta. Mungkin. Burhan Piliang & Affan Bey

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus