Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kalpataru di pasir kadu

Nyi eroh, 50, menerima penghargaan kalpataru. ia berhasil membuat saluran air untuk sawah 60 ha. ia menatah cadas, membelah bukit tanpa henti, 50 meter di galinya sendiri sebelum akhirnya dibantu 19 lelaki.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN, tercipta dari sempalan tulang rusuk lelaki. Konon. Adakah ia berasal dari perisai jantung dan paru-paru? Mungkin. Maka perempuan 50 tahun itu pun bangkit, si makhluk lemah itu tegak. Ia adalah Nyi Eroh, ia jadi perisai jantung kehidupan, ia jadi tameng paru-paru alam. Berasal dari alam, bersatu dengan alam, ia merawat alam, amanat titipan Tuhan. Seutas akar areuy membelit pinggang, ia menggelantung di tubir jurang. Di tangannya sebilah pahat dan martil. Crok-crok-crok. Ia menatah cadas, membelah bukit, selama 45 hari, tanpa henti. Crok-crok-crok. 50 meter digalinya sendiri, sebelum akhirnya dibantu 19 lelaki. Crok-crok-crok. Habis sudah puluhan pahat dan martil, sekian linggis, belincong, dan cangkul. Crok-crok-crok. Peluhnya membanjir tak dihiraukannya. Antingnya terjual tak dirisaukannya. Crok-crok-crok. Nyi Eroh mengukir saluran cai, karna mendambakan sesuap nasi, setelah tahunan cuma singkong dan ubi. Crok-crok-crok. Tiga anaknya setia menunggu, suami yang renta cuma termangu. Crok-crok-crok. Niatnya bulat sudah, kerja baginya ibadah. Mencipta karya besar, saluran air untuk sawah 60 hektar. Dari Kali Cilutung air berpusing, lengket di bibir tebing, meliuk di lintasan 8 bukit. Nyi Eroh, Nyi Eroh. Hatimu tegar, kalbumu mekar. Karna Kalpataru, kini singgah di Pasir Kadu. Di Pasir Kadu, antara Pasir Malang dan Pasir Buntu, nun di lereng Galunggung di Bumi Parahiyangan langit membiru, sawah membentang. Nyi Eroh lahir dan bergulat dalam kemiskinan, di rumah panggung beratap ijuk dan rumbia, jualan singkong dan janur kelapa. Nyi Eroh, Perempuan sangat sederhana. Kata-katanya pun bukanlah seloka: "Kini tak lagi kubeli beras, karna sudah kucium harumnya bulir padi, karna telah kuperas peluhku sendiri, yang mengering di bukit cadas." Crok Crok Crok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus