Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dicopot Gara-gara Benang Raja

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGLIMA Komando Daerah Militer Pattimura, Maluku, Mayor Jenderal Sudarmady Soebandy, dicopot dari jabatannya, Rabu pekan lalu. Ia dianggap bertanggung jawab atas insiden penyusupan pendukung Republik Maluku Selatan (RMS) dalam acara peringatan Hari Keluarga Nasional yang dihadiri Presiden di Ambon, 29 Juni lalu. Para penari sempat mengeluarkan bendera RMS, Benang Raja.

Sudarmady diganti Mayor Jenderal Rasyid Qurnaen Aquary, yang sebelumnya adalah Komandan Jenderal Kopassus. Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengatakan, Sudarmady dicopot lantaran tidak bisa melaksanakan tugas dengan benar.

Sebelum Sudarmady, Kepala Kepolisian Daerah Maluku Brigadir Jenderal Polisi Guntur Gatot Setyawan juga dicopot dengan alasan yang sama. Ia digantikan Brigadir Jenderal Polisi Muhammad Guntur Ariyadi. Beberapa anggota DPR RI menilai keputusan Panglima TNI dan Kepala Kepolisian untuk mengganti bawahannya sudah tepat.

Damai di Four Season

KETIMBANG terus bertikai di pengadilan, mantan presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Wakil Presiden Jusuf Kalla akhirnya memilih rujuk. Gugatan Gus Dur kepada Jusuf Kalla yang dianggap mencemarkan nama baiknya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah dicabut. Sehari sebelumnya, Rabu pekan lalu, keduanya bertemu untuk melakukan islah alias perdamaian di Hotel Four Seasons, Jakarta Selatan.

Pertikaian kedua tokoh berawal dari ucapan Kalla dalam Forum Pengkaderan Mahasiswa Golkar di Cibubur, Jakarta Timur, 9 April lalu. Gus Dur, kata Kalla, pernah meminta uang saat dirinya memimpin Badan Urusan Logistik (Bulog). ”Waktu itu saya menolak. Tak lama kemudian saya dipecat sebagai Kepala Bulog, juga sebagai menteri,” ujar Kalla.

Setelah usaha meminta klarifikasi selama satu minggu kepada pihak Kalla tidak membuahkan hasil, Gus Dur akhirnya menggugat lewat polisi. Setelah berdamai, Gus Dur mengatakan tadinya Kalla, lewat orang, ingin ketemu saya meminta maaf. ”Buat saya, nggaklah kalau minta maaf. Itu kan seperti saya yang tinggi, dia di bawah. Sudah sama sajalah, imbang dan saling memaafkan.”

Tommy Terjerat Cengkeh

Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto lagi-lagi berurusan dengan penegak hukum. Setelah bebas dari penjara lantaran kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, kali ini dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi senilai Rp 1,7 triliun. Begitu bunyi surat perintah penyidikan Jaksa Agung yang terbit pada 11 Mei 2007.

Pelanggaran itu, menurut Kejaksaan Agung, dilakukan Tommy ketika menjabat Ketua Umum Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Tommy dituding telah menyalahgunakan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) Rp 175 miliar dan belum mengembalikan uang petani Rp 1 triliun, tak termasuk bunganya.

Saat ini Bagian Perdata dan Tata Usaha Kejaksaan Agung juga sedang menyiapkan gugatan perdata agar piutang para petani dapat dikembalikan putra bungsu bekas presiden Soeharto itu.

Damai di Atas, Periksa di Bawah

Boleh saja Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto dan Menteri Kehutanan M.S. Kaban mengaku sudah berdamai dan akan lebih berkoordinasi dalam penindakan pembalak liar. Namun, di lapangan, polisi terus melanjutkan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat Departemen Kehutanan yang disangka terlibat pembalakan liar.

Markas Besar Kepolisian, misalnya, akan memeriksa tiga pejabat eselon 1 Departemen Kehutanan, dalam kasus pembalakan liar di Riau. Ketiganya, menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Mayor Jenderal Sisno Adiwinoto, diduga memberikan fasilitas sehingga memudahkan kejahatan terjadi.

Beberapa bulan lalu, di Riau mencuat kasus pembalakan liar yang melibatkan salah satu pemain utama di bisnis kehutanan, yaitu PT Arara Abadi—anak perusahaan kelompok Sinar Mas. Polisi menangkap 25 truk berisi kayu milik Arara yang akan dipasok ke pabrik kertas Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), kepunyaan kelompok Raja Garuda Mas—konglomerat pabrik kertas di Indonesia.

Polisi sudah menetapkan tiga tersangka dari Arara, yakni John F. Pandelaki, Didi Harsa, dan Subagyo. Namun Menteri Kehutanan M.S. Kaban menganggap penangkapan polisi salah alamat, karena Arara dan RAPP sudah mengantongi izin penebangan kayu di kawasan hutan produksi mereka. Kasus itu pula yang membuat Kaban meminta Sutanto mengevaluasi Kapolda Riau yang telah menyegel kayu RAPP.

Lapindo Mentok di Agung

Usul interpelasi kasus luapan lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, kandas di tangan Ketua DPR RI Agung Laksono. Pada Rabu pekan lalu, Sidang Paripurna DPR RI memutuskan interpelasi Lapindo dikemabalikan ke Badan Musyawarah. ”Akan diagendakan kembali dalam sidang paripurna 20 Juli,” kata Agung ketika menutup sidang. Usul interpelasi Lapindo didukung lima fraksi di DPR, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Damai Sejahtera, dan Partai Keadilan Sejahtera. Sedangkan Partai Golkar, Demokrat, Persatuan Pembangunan, Pelopor Bintang Reformasi, dan Partai Bintang Reformasi menolaknya. Sikap Agung yang buru-buru menutup sidang dengan alasan ada tamu dari Organisasi Parlemen Dunia dinilai mengada-ada, sehingga menuai protes keras dari sebagian anggota DPR. Mereka meminta Agung tak lagi memimpin sidang interpelasi.

Gunawan Santosa Dibekuk Polisi

Setelah lebih dari setahun buron, Gunawan Santosa kabarnya kembali dibekuk polisi, Jumat sore pekan lalu. Pria yang kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pada Mei 2006 itu ditangkap di Plaza Senayan, Jakarta.

Saat itu, Gunawan tengah berbelanja. Kabarnya, dia berusaha kabur dari kejaran polisi. Di dekat lobi, polisi berhasil menghentikan langkahnya. Pria yang pernah berganti rupa lewat operasi plastik itu pun langsung diborgol. Polisi sempat mengeluarkan sejumlah tembakan ke udara.

Kepala Satuan Keamanan Negara Ajun Komisaris Besar Tornagogo Sihombing membenarkan berita tersebut. Cuma, hingga berita ini diturunkan, belum bisa dipastikan apakah pria yang ditangkap itu benar-benar Gunawan. ”Masih disidik, dipastikan dulu identitasnya,” katanya.

Kuasa hukum Gunawan, Alamsyah Hanafiah, meragukan pria yang ditangkap itu Gunawan. ”Badannya terlalu tegap, padahal Gunawan punggungnya agak bungkuk,” kata Alamsyah, yang menyaksikan penangkapan itu lewat tayangan televisi.

Gunawan Santosa adalah otak pembunuh bos PT Aneka Sakti Bhakti (Asaba) Boedyharto Angsono, yang juga bekas mertuanya. Dia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Keputusan itu kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI dan Mahkamah Agung.

Saudi Ingin Memeriksa Maskapai Indonesia

TAMPARAN keras kembali menerpa Garuda. Setelah dilarang terbang ke 25 negara anggota Uni Eropa mulai awal Juli, giliran pemerintah Arab Saudi ingin memeriksa maskapai penerbangan nasional Indonesia tersebut. Otoritas penerbangan sipil Arab Saudi, GACA, telah meminta izin kepada pemerintah Indonesia untuk mengaudit maskapai penerbangan di Indonesia, mulai Agustus nanti.

Saudi adalah salah satu negara yang mengadopsi sistem keamanan penerbangan yang diterapkan Uni Eropa. Namun secara resmi kerajaan di Jazirah Arab itu belum mengeluarkan larangan apa pun terhadap maskapai penerbangan asal Indonesia yang ingin menerbangi langitnya. Selama ini hanya Garuda yang terbang ke Saudi. Maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia itu terbang teratur delapan kali dalam seminggu, dan bertambah ketika musim haji.

Mendengar permintaan Saudi itu, Menteri Agama Maftuh Basyuni bereaksi keras. ”Kalau Arab Saudi mengambil langkah seperti Uni Eropa,” katanya, ”dengan terpaksa kita tidak akan mengirim jemaah haji.” Wakil Ketua Komisi Perhubungan DPR Said Abdullah menilai langkah Saudi bermotif bisnis. Saudi, menurut dia, ingin maskapainya, Saudi Arabian Airlines, digunakan untuk mengangkut jemaah haji Indonesia.

Selain Saudi, Korea Selatan juga meminta Garuda Indonesia memperbaiki standar keselamatannya. Garuda masuk ”daftar hitam” otoritas keselamatan penerbangan negeri ginseng itu bersama maskapai Kamboja, Iran, dan Rusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus