Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAOIHIRO Takahara tak beda dengan burung merpati. Dia tidak ingkar janji. Selepas mencetak gol ke gawang Uni Emirat Arab, dia mengumbar kata-kata. ”Kami akan menang dan lolos sebagai juara grup. Kemenangan ini akan mempengaruhi perjuangan kami di babak berikut,” kata Takahara. Pendek kata, Vietnam harus dihancurkan.
Janji itu bukan sesumbar. Pada Senin pekan silam, penyerang Eintracht Frankfurt, Jerman, ini memang tidak mencetak gol, tapi permainannya ikut mempengaruhi hasil akhir. Lima gol dibuat tim itu. Empat masuk ke gawang Vietnam. Satu lagi, bunuh diri dari Keita Suzuki. Gagah betul: Tim Negeri Matahari Terbit itu menang telak 4-1.
Penonton di Stadion My Dinh sudah pasti malu dan kecewa. Kalaulah harus kalah, skornya jangan besar seperti itu. Tapi, biar begitu, Vietnam—sang tuan rumah—tetap saja senang tiada kepalang. Biar kalah, poin yang mereka miliki lebih baik ketimbang Uni Emirat Arab. Akhir cerita di grup B: Vietnam ke perempat final mendampingi Jepang, si jagoan Asia.
Vietnam sangat beruntung. Pertandingan akhir tiap grup menjadi malapetaka bagi tuan rumah. Di grup A, tuan rumah Thailand harus lepas sepatu. Australia menjerumuskan mereka dengan 4-0. Gara-gara kalah, Thailand gigit jari. Selisih gol mereka pun kalah jauh dibanding Australia.
Tuan rumah yang lain? Kita sudah tahu juga. Malaysia hanya punya stadion bagus. Bukit Jalil yang modern itu menjadi saksi betapa keroposnya tim Kuning Hitam itu. Tim asuhan Norizan Bakar ini kalah tiga kali dari tiga pertandingan. Selain itu, 12 kali gawangnya kebobolan dan hanya mampu mencetak 1 gol.
Indonesia masih mending. Sempat bermain bagus melawan Bahrain dan Arab Saudi, tapi kedodoran di babak akhir. Gerakan Lee Chun-soo, playmaker Korea Selatan, tak tertahankan. Tendangan Kim Jung-woo di menit ke-33 membuat Indonesia kalah, Rabu pekan lalu. Sebuah gol itu memusnahkan harapan Indonesia membuat sejarah lolos ke perempat final untuk pertama kalinya.
Tak pelak kini tinggal Vietnam, sang tuan rumah yang bertahan. Vietnam ditantang Irak di babak perempat final. Penampilan mereka di putaran final Piala Asia ke-14 setelah 47 tahun sungguh patut diacungi jempol. Padahal tim ini melewati banyak rintangan sepanjang sejarah sepak bolanya.
Politik pernah memberangus sepak bola negeri ini. Ketika terbagi dua menjadi Vietnam Utara dan Selatan, tim sepak bola pun ikut terbelah. Vietnam Selatan mengikuti berbagai turnamen dan sempat dua kali jadi semifinalis Piala Asia 1956 dan 1960. Sedangkan Vietnam Utara hanya mau bertanding dengan sesama negeri Blok Timur.
Setelah itu, perang saudara membuat sepak bola mati di Vietnam. Bahkan, meski Perang Vietnam usai pada 1976, tim nasional baru muncul lagi pada 1991. Hasilnya, seperti perekonomiannya yang terus bergerak naik, negeri ini menjelma menjadi macan Asia Tenggara. Thailand bukanlah satu-satunya tim yang ditakuti di kawasan Asia Tenggara sekarang.
Keberhasilan mereka melaju hingga ke babak kedua ini merupakan prestasi indah. Empat puluh ribu penonton di Stadion My Dinh pun bersorak. Keadaan yang tidak jauh berbeda tatkala tim U23 (di bawah usia 23 tahun) mereka lolos ke Olimpiade Beijing tahun depan.
Apa resep mereka? Bonus memang tidak bisa dianggap enteng. Kemenangan yang mereka peroleh atas Uni Emirat Arab langsung bikin gendut kantong celana mereka. Selepas bermain draw melawan Qatar, tim mendapat bonus 300 juta dong atau sekitar Rp 168 juta. Dengan lolos ke babak kedua, paling tidak bonus yang mengucur sudah mencapai 2 miliar dong (lebih dari Rp 1,1 miliar) ke tim asuhan Alfred Riedl itu.
Jumlah yang tampak tidak besar jika dibandingkan bonus bagi tiap pemain Indonesia sebesar Rp 50 juta setelah mengalahkan Bahrain. Tapi biaya hidup di sana masih rendah, makan dengan lauk daging cukup 8 ribu dong.
Soal bonus mau tidak mau menjadi perihal penting. Bukan apa-apa, di negeri ini duit bisa menjadi masalah pelik. Dua tahun silam, dalam SEA Games 2005, empat pemain Vietnam, yakni Pham Van Quyen, Le Quoc Vuong, Huynh Quoc Anh, dan Le Bat Hieu, terlibat dalam pengaturan skor saat melawan Myanmar.
Para penjudi menginginkan Vietnam menang tak lebih dari 1-0. Mereka berhasil mewujudkan skor itu. Enak memang, mereka berhasil ke final, pemainnya juga kaya. Total uang yang didapatkan empat pemain itu mencapai 43 juta dong (Rp 24 juta).
Kejadian ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, sebanyak 20 wasit, pelatih, dan ofisial tim juga terlibat dalam pengaturan skor. ”Saya sama sekali tidak kaget kalau mereka terlibat dalam pengaturan skor,” kata Nguyen Danh Thai, Menteri Olahraga Vietnam.
Persoalan seperti ini menjadi jamak. Meski dilarang, perjudian di negeri ini sudah seperti makanan. Orang-orang di sana doyan betul mengadu nasib di meja judi. Perputaran judi sepak bola di sana mencapai jutaan dolar. Banyak yang berharap mendapat durian runtuh. Maklum, negeri ini masih tergolong miskin.
Alhasil, sanksi pun dijatuhkan. Mereka yang terlibat dalam skandal itu masuk penjara tiga sampai enam tahun. Mereka juga tidak boleh bertanding selama beberapa tahun. Habis memang karier mereka.
Belum lagi usai dengan kasus itu, giliran obat-obatan merasuki para pemain. Pada awal tahun ini, federasi sepak bola negeri ini melansir beberapa pemainnya terjerat narkoba. Hasil ini didapatkan setelah mereka melakukan tes darah. Luu Van Hien, kapten dari tim Song Lam Nghe An, terbukti merupakan junkie yang doyan memamah heroin.
Ternyata Vietnam belum habis. Alfred Riedl memang sempat pusing dihadapkan pada kondisi itu saat kembali ke Vietnam dua tahun silam setelah sempat melatih Palestina. Belum lagi target yang dibebankan padanya: menjadi juara SEA Games di Thailand akhir tahun ini, dan lolos ke Olimpiade Beijing. Tapi stok pemain Vietnam bejibun.
Salah satu andalan Riedl sekarang adalah Cong Vinh. Pemain alumni tim nasional usia 14 tahun ini menjawab kepercayaan pelatihnya. Dia menjadi salah satu bintang dalam pertandingan perdana saat mengempaskan Uni Emirat Arab. ”Luar biasa. Para pemain tampil tanpa rasa takut. Saya bangga pada mereka,” katanya.
Di sisi lain para pemain pun memuji pelatihnya. Di mata mereka, Alfred Riedl sungguh luar biasa. ”Dia tidak saja memainkan perannya sebagai pelatih, tapi juga bisa menjadi teman yang menyenangkan. Pengaruhnya bagi kami sungguh luar biasa,” kata Cong Vinh.
Saat ini, Le Cong Vinh merupakan darling sepak bola Vietnam. Dia disejajarkan dengan Le Huynh Duc, pemain legendaris negeri itu. Hampir dalam setiap pertandingan, untuk klubnya atau bermain memakai kostum nasional, Cong Vinh selalu menjadi andalan. Kehebatannya terbukti ketika mencetak tiga gol dalam babak penyisihan untuk Olimpiade awal tahun ini.
Di ranah liga Vietnam yang dikenal dengan sebutan V-League, Cong Vinh pun berjaya. Dalam usianya yang masih 21 tahun dia telah memberikan segalanya untuk negerinya. Kehebatannya sudah mulai tercium tiga tahun silam, saat memenangi Bola Emas yang kemudian berlanjut saat dia bergabung dengan klub Song Lam Nghe. Pada musim lalu, dia membawa klub itu menjadi juara liga Vietnam sekaligus meraih gelar pemain terbaik.
Kini, dalam ajang Piala Asia, dia kembali menunjukkan kelasnya. ”Ini merupakan pertandingan yang menarik dan akan memberikan dampak besar bagi sepak bola di negeri ini,” katanya. Dalam beberapa tahun mendatang, pengaruhnya pasti akan terasa. Apalagi separuh dari tim nasional Vietnam di Piala Asia ini diperkuat oleh para pemain muda yang akan berangkat ke Beijing.
Keberhasilan mereka lolos ke babak kedua dan mampu tampil di Olimpiade tahun depan bisa jadi hanyalah menu pembuka. Bukan tidak mungkin, mereka akan mampu membalikkan ucapan Naoihiro Takahara.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo