Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Dari Selebrasi Bunyi Djaduk

Kua Etnika kembali menggelar konser di usia ke-12 tahun. Bintangnya kali ini justru vokalis mungil bersuara menggelegar Trie Utami.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATATATA.… Senapan kayu itu bergerak dari satu posisi ke posisi lain, menembaki penonton dari titik-titik berbeda. Bunyinya yang janggal mengusik kuping, nyemplung di antara soundscape dari film Mission Impossible. Djaduk Ferianto, pemimpin kelompok Kua Etnika itu, meracik pola dasar lagu dengan banyak variasi perkusif—dengan kendang dan reong, juga saron dan pamade.

Dalam Misi Nggak Mungkin itu Djaduk memang memberikan tempat istimewa bagi ’instrumen” senapan kayu. Ia berbicara tentang tragedi Alas Tlogo. ”Senapan ini dibeli dari uang rakyat,” katanya sambil mengelus mainan di tangannya tersebut. ”Jadi mestinya tak bisa dipakai untuk menembaki rakyat. Mestinya itu kan misi yang nggak mungkin,” sambungnya menunjuk insiden berdarah di Pasuruan yang terjadi pada akhir Mei silam. Dan penonton tiba-tiba tercekat, seperti memahami larik-larik sajak yang pernah ditorehkan penyair romantik Inggris Percy Bysshe Shelley. Bahwa ”lagu termerdu adalah lagu yang menceritakan pikiran tersedih”.

Kua Etnika, mereka menggambarkan ironi melalui bahasa musiknya yang khas. Dengarlah Minggu Tidak Tenang. Nomor ini memperolok keyakinan pihak berwenang tentang sebuah ”minggu tenang” dalam rangkaian pesta demokrasi.

Begitulah Kua Etnika, kelompok yang dibentuk Djaduk 12 tahun silam, menampilkan 10 repertoar terbaru di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 12-13 Juli 2007. Di permukaan, komposisi mereka terdengar riang gembira, nakal, menyodok-nyodok urat lucu penonton. Namun hanya selapis di bawah selebrasi bunyi yang membaurkan titi laras pentatonis dan diatonis itu, terbujur kesedihan demi kesedihan, tercabik-cabik.

Tapi Kua Etnika tidak berhenti pada ironi. Di luar itu, kelompok ini membahas keanekaragaman manusia. Nomor pembuka Donau—ya, danau di Austria yang mengilhami Johann Strauss dalam walsa On A Beautiful Blue Danube—gubahan Purwanto yang mencoba merekonstruksi pertemuan Timur-Barat. Ada sejumput Eropa dari instrumentasi slendro-pelog yang, ironisnya, justru pernah membuat Claude Debussy terkesima pada awal abad ke-20. Sebuah puntiran kontradiksi yang menohok, bukan?

Sementara pada Gandekan, nama sebuah wilayah China town di Yogyakarta, Kua Etnika menafsir bebunyian ”musik Cina” lengkap dengan atraksi barongsai dengan permainan kendang jenaka—dibawakan oleh Sukoco. Sebuah jejak akulturasi, yang tak selalu berjalan mulus, muncul seperti sepotong mimpi yang berkelindan dengan kenyataan.

Sejatinya, konser ini disiapkan sebagai pemanasan bagi Kua Etnika untuk tampil di Brisbane dan Melbourne, pada 10 dan 12 Agustus mendatang. Setelah menelurkan sejumlah album seperti Nang-ning-nong Orkes Sumpeg, Ritus Swara, dan Unen-Unen, Kua Etnika menghadapi problem terbesar yang bahkan membuat waswas penggemar setia mereka: bisakah kelompok ini berkelit dari jebakan pencitraan tentang seorang Djaduk yang memiliki tiga tempat bermusik—Djaduk yang Kua Etnika, Sinten-Remen, atau Orkes Melayu Banter Banget?

Pentas kali ini yang diberi judul Raised from the Roots, Breakthrough Borders itu, untungnya, masih bisa membuat penonton menuai beberapa hal segar. Tanpa meremehkan permainan para instrumentalis yang bermain lepas, kredit terbesar justru layak disematkan pada vokalis Trie Utami. Ia ngibing, ia nandak, ia ber-free style jazz, mempertontonkan eksplosivitas vokalnya yang jarang terdengar pada tahun-tahun terakhir.

Dan ketika mantan penyanyi Krakatau itu mengolah kekenyalan suaranya hanya dengan iringan perkusi Djaduk dalam Duo, yang tersaji adalah sebuah koreografi bunyi spektakuler. Djaduk memainkan hung, instrumen dari bahan metal mirip miniatur pesawat UFO yang dibuat seorang perkusionis Swiss, namun dengan sistem reproduksi bunyi yang terdengar mengejutkan di telinga, karena berdenting seperti hasil petikan dawai harpa.

Dalam konser dua malam itu, Kua Etnika menunaikan janji judul pementasan mereka kepada penonton, menautkannya dengan konteks sosial politik yang relevan, dan tetap renyah sebagai sebuah hiburan.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus