Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Pekalongan Menuju Jakarta
Dikenal punya banyak strategi perang, Ali Moertopo bertemu dengan Yoga Soegomo. Bersiasat mengangkat Soeharto.
RUMAH berdinding kayu jati itu berdiri kokoh di tepi Jalan RA Kartini, Kunden, Blora, Jawa Tengah. Pohon nangka dan mangga menaungi dua unit rumah punjer—rumah berjejer milik keluarga besar. Di rumah inilah Ali Moertopo lahir pada 1924. Ali sebenarnya tak tahu persis kapan ia lahir. Tanggal 23 September yang tercantum sebagai tanggal lahirnya merupakan tanggal rekaan Leonardus Benjamin Moerdani, belakangan menjadi Panglima ABRI.
Ali putra ketiga dari sembilan anak Raden Karto Prawiro dan Raden Ng Soekati. Karto Prawiro adalah agen mesin jahit Singer sekaligus penjahit. Adik Ali Moertopo, Ali Moersalam, mengatakan ayah mereka masih keturunan Pangeran Diponegoro. Sedangkan kakek Ali dari pihak ibu, Harun PartoÂkoesoemo, tokoh masyarakat Blora asal Solo.
Sejak bayi, Ali Moertopo diasuh kakak tertua ibunya, Ali Rahman Sastrokoesoemo. Sewaktu Ali lahir, ibunya sakit-sakitan. Hampir bersamaan dengan lahirnya Ali Moertopo, istri Ali Rahman juga melahirkan. "Namun bayi itu meninggal," kata Faturakhman, cucu Ali Rahman. Bersama Ali, adiknya, Estri Utami (nomor enam), ikut keluarga Ali Rahman. Adapun Moersalam serta dua kakaknya, Ali Moerdijat (nomor empat) dan Pranti Sayekti (nomor lima), ikut pakde yang lain, yakni Ali Moerni Partokoesoemo, di Desa Kraton, Pekalongan.
Semasa kecil, Ali biasa dipanggil Mangkyo oleh keluarganya. Nama panggilan ini, menurut Moersalam saat ditemui medio September lalu, diambil dari lagu yang disumbangkan Sultan Surakarta Hadiningrat kepada Wilhelmina ketika Ratu Belanda itu melahirkan Putri Juliana. Dibesarkan oleh Ali Rahman, Ali Moertopo tumbuh di kalangan pedagang keturunan Arab. Di rumah Ali Rahman, warga biasa berkumpul untuk membatik. Kain batik yang terkumpul lalu dijual oleh Ali Rahman.Â
Ali Rahman adalah tokoh berpengaruh di Pekalongan. Dia membangun sekolah rakyat. "Sekolah itu diakui sebagai sekolah partikelir terbagus di Pekalongan," ujar Moersalam, yang menyusul ke Pekalongan pada usia 7 tahun. Sekolah yang terletak di tepi Jalan Tentara Pejuang itu kini telah diambil alih oleh pemerintah. Di lokasi lama sekolah itu kini berdiri Sekolah Dasar Negeri 1 Kandang Panjang, SD Negeri 2 Kandang Panjang, dan Sekolah Menengah Pertama 2 Pekalongan.
Ali Rahman pernah membantu mengatasi kekacauan yang ditimbulkan bromocorah sehingga ia dibebaskan dari pajak, termasuk pajak kuda. "Di Pekalongan, saat itu yang naik kuda hanya Ali Rahman," kata Faturakhman. Ali Rahman memiliki beberapa jaran. Yang paling bagus bernama Gomar, kuda Arab berwarna hitam legam. Membawa pakdenya, Mangkyo sering menjadi kusir kereta yang ditarik Gomar.
Menurut Estri, kakaknya rajin mengaji. Sebelum azan magrib, Ali sudah beriktikaf di masjid dan baru pulang setelah isya. Keluarga Ali Rahman memiliki guru ngaji bernama Muhammad bin Saad. "Murid yang paling pintar, ya, Pak Ali Moertopo," ucap Estri.
Pada 1941, Ali sempat ke Bandung, ikut pamannya dari pihak ibu, Ali Imran Handojokoesoemo. Saat itu Ali, yang fasih berbahasa Belanda, meneruskan pendidikan di Sekolah Perhubungan Radio. Saat Jepang datang, Belanda yang tersudut merekrut para pemuda Indonesia. Pada 1942, Ali masuk dinas militer Belanda. Namun, saat Belanda kalah dan berencana mundur ke Australia, Ali kabur.
Ali pernah bercerita kepada Moersalam. Sekali waktu, bersama tentara rekrutan Belanda lainnya, ia diangkut truk. Perjalanan dilakukan malam hari tanpa menggunakan lampu untuk menghindari serangan Jepang. Setelah beberapa hari perjalanan, Ali loncat. "Moer, saya lihat kawan-kawan pada tidur. Pas jalan naik, saya loncat dari truk." Tak tahu di mana posisinya, Ali bolak-balik bertanya kepada orang di jalan. "Ke Pekalongan lewat pundi?" Sekitar sepekan kemudian, ia sampai di Pekalongan. Pada 1942, Ali kembali ke Bandung. Kali ini ia belajar membuat keramik—bisnis baru pakdenya.
JALAN hidup Ali berubah setelah Kemerdekaan Indonesia. Tergerak untuk berjuang, ia bergabung dengan Laskar Hizbullah di Pekalongan. Saat dibentuk pada 1947, laskar ini punya empat peleton pasukan. Ali salah satu komandan peleton. Belakangan, ia bergabung dengan Angkatan Muda Republik Indonesia.
Ali tangguh di medan pertempuran. Sampai-sampai beredar gosip di kalangan anak buah bahwa Ali sakti, kebal senjata, dan bisa menghilang. Namun, menurut Moersalam, kakaknya tidak seperti itu. Ali menjelaskan kemampuannya. "Tembakan ke sana, saya di sini. Masak, saya bisa kena? Kamu harus tahu musuh di mana," ujar Moersalam menirukan Ali. "Aku ora iso ngilang, tapi iso menghindari."
Ada sebuah kisah tentang "ilmu" Ali yang diceritakan Moersalam. Suatu saat Ali terdampar di sekitar dataran tinggi Dieng di Wonosobo. Ia sudah berhari-hari berjalan dan tak makan. Sampai ia melihat gubuk kecil dan seorang lelaki tua. Ali diberi makan. Bahkan ia kemudian diajari "ilmu petak sayuta". "Kalau suatu ketika kamu akan dibunuh musuh atau dalam keadaan terjepit, baca lafal ini dan kamu lihat orangnya, maka dia akan jatuh," ujar Moersalam menirukan Ali. Ali tak percaya. Namun, ketika orang tua itu berwudu, Ali mencobanya. Orang itu terjatuh. Ali dimarahi.
Ali memang sangat tertarik pada urusan kemiliteran. "Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran," katanya kepada Tempo dalam sebuah wawancara pada Januari 1984. Ali mengaku, selama menjadi prajurit, ia tak suka politik. "Kalau teman-teman bicara politik, pistol yang saya cabut," ujarnya.
SAAT rasionalisasi Tentara Nasional Indonesia, Ali berpangkat sersan. Tatkala 500 ribu prajurit kembali ke masyarakat, Ali mewakili TNI dalam serah-terima kedaulatan pada 1950. Ia dipercaya mengemban tugas itu karena bisa berbahasa Belanda. Namun pangkatnya tak cukup. Walhasil, untuk tugas itu, ia diberi pangkat mayor titular.
Karier Ali di militer cepat menanjak. Ia sempat mengikuti pendidikan sekolah persamaan untuk SMP dan SMA serta ditugasi di Komando Daerah Militer Diponegoro sebagai bagian dari pasukan Banteng Raiders, cikal-bakal Komando Pasukan Khusus. Pasukan yang berada di bawah komando Ahmad Yani ini merupakan pasukan spesial yang dibentuk untuk menumpas pemberontakan Darul Islam.
Kisah-kisah pertempuran Ali belum berhenti. Di Cilacap, Ali yang memimpin Kompi Banteng Raiders V pernah membuat jebakan dengan memperhatikan cuaca dan angin. Saat itu, kata Moersalam, Ali mendesak orang-orang Darul Islam untuk memasuki rawa. Dia memprediksi akan ada rob. Benar saja, ketika air laut pasang, rawa berlumpur hingga selutut. Pemberontak pun tak bisa lari lagi.
Tatkala menjadi komandan Banteng Raiders inilah Ali mengenal Yoga Soegomo dan Soeharto. Dalam buku Memori Jenderal Yoga, yang ditulis B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, Ali mengungkapkan bahwa dia diminta membantu Yoga dalam operasi intelijen mengangkat Soeharto sebagai panglima. "Pak Yoga berusaha mempersiapkan situasi dan image yang baik di Kodam ataupun Angkatan Darat agar bisa menerima Pak Harto sebagai Panglima Diponegoro."
Atas jasanya tersebut, Ali diangkat dari resimen II ke posisi staf Asisten Teritorial. Sedangkan Yoga menjadi Asisten Intelijen dan Wakil Kepala Staf Harian. Belakangan, Soedjono Hoemardani—kelak menjadi Asisten Presiden Bidang Ekonomi—juga ditarik sebagai Kepala Urusan Keuangan Teritorial IV.
Sudjono berperan dalam membentuk beberapa perusahaan swasta dan yayasan atas nama Panglima Divisi Diponegoro. Perusahaan dan yayasan ini dituding menyelundupkan gula dan kapuk, yang melibatkan Liem Sioe Liong lewat perusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan. Abdul Harris Nasution kala itu sangat marah sehingga mengusulkan pemecatan Soeharto kepada Presiden Sukarno. Tapi Gatot Soebroto membujuk Bung Karno untuk menolak permintaan itu. Gatot adalah ayah angkat Bob Hasan. Permohonan penolakan pemecatan itu kabarnya disampaikan Gatot atas permintaan Siti Hartinah, istri Soeharto.
Tapi belakangan, 14 Oktober 1959, Gatot Soebroto sendiri yang memecat Soeharto. "Ada yang memfitnah Pak Harto. Otomatis Pak Yoga terbawa. Juga staf lain, termasuk saya. Pak Harto dianggap koruptor," kata Ali dalam Memori Jenderal Yoga.
Soeharto, Ali, dan Yoga pun berpisah. Mereka berkumpul lagi setelah Soeharto diangkat menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad), cikal-bakal Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Ali ditarik ke Jakarta menjadi Asisten Kepala Staf Caduad. Yoga, yang sebelumnya berdinas sebagai atase militer, diangkat sebagai Asisten I Caduad. Ketiganya lalu bersama dalam pusaran kekuasaan Jakarta.Â
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo