Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIKAP hati-hati Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap kartu tanda penduduk elektronik tentu tidak ada salahnya. Meski demikian, sikap waspada itu hendaknya tidak membuat mereka surut langkah. Setelah pengadilan membatalkan status tersangka Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, KPK menyatakan memiliki bukti baru, termasuk laporan Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat, FBI, soal keterlibatan Setya. Dengan bukti-bukti itu, Komisi hendaknya tidak kecut mengeluarkan surat perintah penyidikan baru.
Apalagi Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa kemenangan seseorang dalam praperadilan tak menggugurkan dugaan tindak pidananya. Dalam putusan terbaru pada 4 Agustus lalu, Mahkamah menyebutkan penyidik atau penegak hukum dapat kembali mengeluarkan surat perintah penyidikan meski orang tersebut memenangi praperadilan. Alat bukti lama pun bisa digunakan kembali sebagai bukti.
Dengan demikian, tanpa bukti baru pun KPK bisa kembali menjerat Setya. Praperadilan hanya mempersoalkan prosedur penetapan tersangka-bukan substansi perkara. Komisi, misalnya, bisa menggunakan kembali rekaman percakapan yang sebelumnya ditolak hakim tunggal Cepi Iskandar.
Apalagi bukti baru sudah di atas meja. KPK, misalnya, telah mendapat kesaksian sejumlah notaris yang mencatat akta perusahaan yang diduga terlibat dalam proyek e-KTP. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sudah pula menemukan transaksi mencurigakan di negara suaka pajak bernilai puluhan juta dolar Amerika Serikat yang dialirkan kepada orang-orang dekat Setya.
Terungkapnya laporan FBI dalam sidang permohonan penyitaan aset Johannes Marliem di pengadilan Minnesota, Amerika Serikat, akhir September lalu, juga bisa menjadi kartu as. FBI melaporkan bahwa Marliem, pengusaha kontraktor e-KTP, diduga menyerahkan jam tangan Richard Mille kepada Setya Novanto melalui Andi Agustinus, pengusaha yang telah menjadi tersangka. KPK mengantongi catatan pembelian arloji mewah bernilai Rp 1,82 miliar itu dari sebuah butik di Beverly Hills, California. Selain itu, Marliem membeli rumah dan mobil mewah.
Fakta tersebut mempertegas dugaan keterlibatan Setya dalam kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu. KPK bisa memasang jerat Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini merupakan "pintu aman" bagi KPK untuk menyeret Setya ketimbang menggunakan pasal suap, yang mensyaratkan harus menemukan aliran duit, yang jelas lebih sulit dibuktikan.
Pasal 2 ayat 1 itu menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan penjaraminimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 200 jutadan paling banyak Rp 1 miliar.
Kerugian negara dalam kasus e-KTP tidak diragukan lagi. Perbuatan melawan hukum dari hilangnya hampir separuh duit proyek Rp 5,9 triliun juga tak bisa ditolak. Pembuktian unsur "memperkaya diri sendiri" hendaknya dilapis dengan pembuktian "memperkaya orang lain". Dalam banyak kasus, unsur kedua ini efektif menjerat pelaku korupsi.
Dalam kasus mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan, pada 2009, misalnya, jaksa mendakwa dengan menggunakan pasal 2 ayat 1 tersebut. Saat itu, Aulia dan tiga anggota dewan gubernur memutuskan penggunaan dana Rp 100 miliar untuk membantu pejabat BI yang tersangkut kasus hukum. Sebagian dana lain mengalir kepada para anggota DPR. Ditemukannya unsur "memperkaya orang lain" itu telah mengantarkan Aulia ke penjara selama 4 tahun 6 bulan.
Persoalannya tinggal keberanian Komisi. Upaya kriminalisasi terhadap Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Saut Situmorang hendaknya tidak mengendurkan langkah. Kriminalisasi itu tak lebih dari mengulang "lagu lama" kriminalisasi komisioner KPK setelah penetapan calon Kepala Kepolisian RI, Budi Gunawan, sebagai tersangka dua tahun lalu: sumbang dan basi.
Komisi hendaknya juga tidak cemas terhadap tekanan politik eksekutif dan legislatif. KPK seyogianya tidak terbawa logika bahwa penetapan tersangka ulang pada Setya Novanto akan mengganggu "stabilitas dan pembangunan". Jangan terpengaruh juga oleh "imbauan" agar Komisi tidak meneruskan kasus Setya supaya tidak memancing gaduh menjelang Pemilihan Umum 2019. Perkara KTP elektronik adalah perkara besar yang pengusutannya tidak boleh diganggu pelbagai agenda politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo