KASUS Muhidin, yang matanya bolong karena operasi di sebuah rumah sakit di Sukabumi, ternyata, berkepanjangan. Belum beres pengadilan di sana menyelesaikan perkaranya, pekan lalu pemuda berusia 20 tahun bersama ayah dan pengacaranya itu, rupanya, langsung mengadu ke DPR. Maka, sejumlah wakil rakyat datang ke rumah sakit tempat Muhidin pernah berobat, Jumat pekan lalu. "Kami hanya ingin mengecek laporan yang disampaikan pihak pasien kepada kami," ujar Ny. Salkon, "Kalau mereka tidak datang ke DPR, kami juga tidak akan datang ke sini." Tidak salah, masalah pasien yang tidak puas terhadap pelayanan dokter sudah menanjak tinggi ke lembaga seperti DPR. Itusebabnya Komisi VIII DPR-RI dengan resmi mengutus wakilnya, Ny. Salkon, mengunjungi Sukabumi, menemui dr. Husaeni, yang dilaporkan pasiennya bertindak gegabah dalam melakukan operasi mata. Perlukah upaya sejauh itu? Ny. Salkon sendiri menyesalkan pengaduan itu. "Tapi sebagai warga negara ia berhak menyampaikan keluhannya ke DPR, dan kedatangan kami cuma mencari fakta sehingga kami bisa bersikap obyektif." Untuk apa pengumpulan fakta itu, Ny. Salkon tak menjelaskannya. Wakil rakyat itu menunjuk pengadilanlah yang sebaiknya menangani masalah itu. "Kalaupun nanti putusan pengadilan dirasa kurang memuaskan, mereka bisa banding, bahkan kasasi," katanya. Muhidin bersama ayahnya, Mamun, sebelum mengadu ke DPR memang sudah menuntut dr. Husaeni dengan tuduhan telah mengambil biji mata Muhidin melalui operasi mata di RS Syamsudin tanpa izin pihak keluarga. Husaeni sendiri menangkis tuduhan itu dengan alasan, tindakan yang dilakukannya semata-mata untuk keselamatan Muhidin sendiri. Infeksi mata, yang ditemukannya, dikhawatirkan akan merambat ke otak. Tuntutan Rp 30 juta yang diajukan Muhidin dan ayahnya menggegerkan Sukabumi. Para dokter di sana serta-merta cemas, dan akibatnya bersikap sangat formal dalam melakukan pembedahan. Dalam dua minggu terakhir, tak ada dokter berani melakukan pembedahan bila izin operasi dari pihak keluarga tak ada. Akibatnya, beberapa pasien yang memerlukan pembedahan terpaksa dikirim ke RSU Hasan Sadikin, Bandung. Untung, pasien-pasien dengan kondisi gawat darurat tak sampai ditinggalkan. Toh Sukabumi sempat kaget dan Wali Kota menggerutu di tengah kecemasan itu. Di tengah kepanikan itu, Muhidin dengan cepat dituduh biang keladi, dan beberapa pejabat agaknya menyesalinya. Barangkali cemas menghadapi perkembangan itu, Muhidin bersama ayahnya mengadu ke DPR bersama pengacara-pengacaranya, yang tampak bersemangat mengurusi kasus yang telah diramaikan media massa itu. "Hanya sekadar melapor kepada wakil rakyat," ujar Mamun, "saya rasa di Sukabumi para pejabatnya sudah kurang perhatian terhadap nasib anak kami." Dan upayanya melapor ke DPR itu ternyata tak dilakukannya sendiri. Bersama Mamun dan Muhidin ikut pula Opa bin Tuhi. Bapak tiga anak berusia 40 tahun ini mengaku mengalami kejadian yang sama dengan Muhidin. Matanya dioperasi dr. Husaeni, juga hingga bolong. Ia juga mengaku diminta menandatangani formulir tentang izin operasi yang kurang dipahaminya. "Dalam kertas yang saya tanda tangani itu cuma dibilang mata saya akan diobati lewat operasi," tuturnya melalui penerjemah, "sama sekali enggak dibilang mau dicopot." Opa "ditemukan" pengacara Muhidin, Ade Gumilang, S.H. "Bukan apa-apa, saya kasihan melihat mereka yang dari golongan bawah," ujar Ade kepada Erlina Agus dari TEMPO. Kembali ke Sukabumi setelah mengadu ke DPR, keadaan bertambah panas saja. Dokter Husaeni, yang sebelumnya tampak masih tenang dan masih berani melakukan operasi gawat darurat, seperti bangkit reaksinya. Melalui pengacaranya Muslikh, S.H. ia balik menuntut Mamun dan bekas pasiennya, Muhidin, tak kurang dari Rp 60 juta. Jumlah tersebut didasarkan pada perhitungan biaya yang telah dikeluarkannya untuk menempuh pendidikan spesialisasi sebagai dokter mata. Apakah kasus Muhidin termasuk malapraktek? Persoalannya kini adalah, bila kasus ini termasuk malapraktek, bisakah pengadilan menyelesaikannya secara tuntas. Pengalaman selama ini menunjukkan kasus malapraktek sering kandas di tengah jalan, macet di pengadilan, atau disalahtafsirkan di sidang pemeriksaan. Tak seperti di berbagai negara maju yang memiliki Undang-Undang Kedokteran, Indonesia sementara ini tak punya ketetapan yang jelas mengenai masalah kedokteran, khususnya malapraktek. Bahkan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta tak begitu yakin harus serta-merta mambawa kasus malapraktek ke pengadilan. Belum lama ini, lembaga itu menangani kasus seorang ibu, Ny. Lienaeni Wahab Sugema, yang mengalami keluhan panjang setelah menjalani operasi sterilisasi. LBH menemukan, berdasar keterangan kliennya, dokter telah ceroboh meninggalkan tampon penahan perdarahan ketika melakukan sterilisasi. Akibatnya, terjadi infeksi berat juga depresi yang mendalam karena infeksi yang menimbulkan penderitaan hebat sempat tidak terdeteksi selama berbulan-bulan. LBH tidak segera membawa kasus Ny. Lienaeni ini ke pengadilan, tapi mengadukannya ke Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) DKI Jakarta. Harapannya mendapat kejelasan, dan bila perlu MKEK memeriksa serta mengambil tindakan terhadap dokter yang telah merugikan kliennya. Namun, yang didapat LBH sederetan kebingungan baru, bahkan rasa diperlakukan tidak adil. Dengan mudah dan sangat singkat MKEK DKI menyatakan infeksi yang terjadi pada Ny. Lienaeni berpangkal dari infeksi yang terjadi di luar RS Polri, tempat nyonya itu menjalani sterilisasi. Dengan begitu, dokter tak bersalah. MKEK DKI juga merasa tak perlu memeriksa dan mendengarkan keluhan korban -- yang disebutkan di luar wewenang MKEK. Tak jelas apakah MKEK juga mengumpulkan data dan menanyai saksi-saksi. LBH mati langkah, dan sederet misteri malapraktek kembali menampakkan diri seperti pada kasus-kasus sebelumnya. Sulit membantah MKEK karena lembaga itulah yang mengetahui masalah kedokteran. Tapi di sisi lain, sulit pula menghindari kesan, MKEK berusaha membela teman sejawat. Mas Achmad, S.H., dari LBH, mengutarakan tak mengerti tata cara persidangan MKEK. Dan ia sementara ini bingung mencari jalan keluar. Ke pengadilan dengan mengandalkan apa? KUH Pidana atau KUH Perdata. Kalau pidana, bisakah kelalaian dokter yang mengoperasi dikategorikan tindakan pidana? Bisa dipastikan KUH Pidana akan menemui kesulitan dalam melacaknya. Berbagai kemungkinan akan dengan mudah diruntuhkan oleh kesaksian para dokter yang memang menguasai bidangnya. Lalu siapa yang bisa menilai kesaksian dokter. Betapapun besarnya kecurigaan, tidak tertutup peluang kesaksian itu benar. Malapraktek barangkali memang suatu masalah faset. Di antara kemungkinannya yang tumpang tindih, batas salah dan benar mungkin tipis saja. Dalam hal semacam ini, keterangan lembaga seperti MKEK sebenarnya sangat menentukan. Bahkan pengadilan sangat memerlukannya. Namun, sayang, entah mengapa dan tak jelas titiknya keterangan-keterangan profesional kebanyakan menimbulkan masalah baru. Kasus Andriani, yang sempat muncul ke permukaan dan diramaikan media massa beberapa waktu lalu, salah satu contohnya. Andriani, gadis cilik berusia 5 tahun, menjalani operasi mata yang tidak terlampau sulit di RS Mata Aini, Jakarta. Operasi matanya sukses, tapi Andriani menderita kerusakan otak. Yang dicurigai penyebabnya adalah proses anestesi atau pembiusan dalam pembedahan. MKEK memang memeriksa dokter yang menjalankan anestesi itu, dan memang dipersoalkan, dokter itu meninggalkan ruangan. Ini, seperti diakui MKEK, sejenis kelalaian. Namun, lembaga pengawas kode etik itu tak tegas menggariskan apakah kerusakan otak Andriani diakibatkan kelalaian meninggalkan ruangan itu. Lalu, kalau tidak, mengapa? Seorang anggota pengurus IDI yang mengikuti masalah ini berdalih, pada tata cara MKEK ada ketentuan untuk tidak memberikan kesimpulan pasti sebelum pengadilan menurunkan vonis. Kasus Andriani termasuk kategori itu, karena orangtuanya, yang didampingi Pengacara O.C. Kaligis, maju ke pengadilan. Sudah terhitung 10 bulan sejak kecelakaan operasi itu terjadi, Andriani masih saja tergolek tanpa daya. Entah bagaimana kisahnya akan diungkapkan di pengadilan, karena pada pemeriksaan pendahuluan saja, polisi mendapat kesulitan. Anestesiologi bukan ilmu yang mudah. Toh polisi berhasil juga menyelesaikan pemeriksaan, dan kini kasus gadis itu sudah di tangan kejaksaan. Anestesiologi memang ilmu kedokteran yang penuh dengan risiko malapraktek -- baik akibat kealpaan dokter maupun bukan. Yang menakutkan, karena yang paling terancam pada malapraktek anestesi adalah susunan saraf. Sebuah kasus yang mirip dengan kemalangan Andriani terjadi pula di RS Sumber Waras Jakarta. Kini menimpa seorang pemuda berusia 22 tahun. Berbeda dengan keluarga Andriani, keluarga pemuda ini tak bersedia memberikan banyak keterangan. Mereka, dengan setengah ketakutan, menyatakan tak mau. memperbesar masalah. Adakah sikap itu bisa mengurangi kegetiran keluarga yang malang itu? Tapi memang kecil kemungkinan bisa mengubah keadaan. Bila kekakuan yang menyerang anggota tubuh pemuda itu diakibatkan kerusakan pusat saraf motorik, tipis kemungkinan ia bisa sembuh kembali. Lagi-lagi sulit menetukan apakah kekakuan diakibatkan karena kesalahan anestesi. Pihak RS Sumber Waras, setelah berulang kali menghindar, bersedia memberikan keterangan lewat Humasnya, dr. Robert Imam Soetedja. Awalnya, pemuda itu datang ke rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas, Juli lalu. Terdapat kerusakan pada matanya, dan karena itu ia menjalani operasi. "Pada proses operasi, terjadi secara mendadak jantung berhenti selama 30 detik," ujar Soetedja. Di sini kemungkinan terjadi kesamaan kemalangan dengan Andriani. Jantung berhenti dan otak tidak mendapat suplai oksigen hingga mengalami kerusakan. Tetapi Soetedja menjelaskan, justru terdapat kerusakan sebelumnya hingga jantung berhenti. "Kami berani dihadapkan pada orang yang lebih ahli untuk membuktikan bahwa operasi yang dilaksanakan sudah sesuai dengan teknis medis yang ada," ujar Soetedja kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. Namun, lagi-lagi, adakah kasus ini bisa diperdebatkan tanpa adanya Undang-Undang Kesehatan? Pembedahan memang punya banyak risiko yang sulit diperdebatkan. Barangkali itu sebabnya kasus-kasusnya sering tak bisa selesai dengan jelas. Seperti yang menimpa keluarga Abdussalam Said. Anak bungsu mereka, Uzair Irfani, kini sudah sepuluh tahun. Tapi separuh dari hidup anak itu dihabiskan tergeletak tanpa sadar. Lima tahun lalu, Uzair menjalani operasi jantung di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sesudah pembedahan, bocah yang ketika itu berusia lima tahun mengalami kejang-kejang. Dan kisah kehidupan sadar Uzair sejak itu punah. Berbagai usaha dilakukan Abdussalam untuk mengobati anaknya yang kesepuluh itu, termasuk menjual tanah. Hasilnya nihil, dan kini Uzair tergolek nyaris tak berdaging. Tulang-belulangnya membuat ia bagai tengkorak hidup. Tubuhnya susut seperti itu karena ia tak bisa makan normal. Susu bubuk untuk mempertahankan hidupnya dimasukkan dengan semacam infus melalui lengannya. Ada apa dengan Uzair? Keluarganya yang sederhana, yang sangat jauh dari kerumitan dunia kedokteran, tak mampu menjawab. "Saya sudah abis-abisan tapi sampai sekarang tidak tahu," ujar sang ayah. Tak adakah komunikasi antara para dokter dan pasien, terutama yang berpendidikan rendah? Mungkinkah penyembuhan bisa dicapai tanpa pertalian dokter-pasien? Barangkali malapraktek terjadi karena kurangnya komunikasi -- sikap tidak mengacuhkan dan sembrono. Itulah yang bisa jadi menimpa sejumlah pasien, termasuk Samsiah boru Siregar, ibu berusia 59 tahun, di Samarinda. Samsiah datang berobat ke RSU Samarinda, November 1982. Hasil pemeriksaan menunjukkan, ada tumor di dalam kandungannya. Para dokter yang merawat Samsiah memutuskan untuk melakukan operasi. Ketika pembedahan berlangsung muncullah kejanggalan pertama. Setelah perut dibuka terlihat tumor bukan berada di dalam kandungan, melainkan di luar kandungan. Kepanikn terjadi dan operasi nyaris tak diteruskan. Untung, ada seorang dokter yang baru saja datang dari Pulau Jawa, dan dokter itulah yang melanjutkan operasi. Pembedahan bisa diselesaikan, dan dua minggu kemudian Samsiah diperkenankan pulang. Kejanggalan selanjutnya muncul. Beberapa menit sebelum beranjak pulang, Samsiah merasakan bau bangkai. Setelah mencari-cari, Samsiah menemukan sumber bau terletak di sekitar tubuhnya. Dokter segera sadar, ada sesuatu yang tak beres, dan Samsiah segera digotong kembali ke ruang operasi. Pembedahan dilakukan kembali dan, di saluran kencing Samsiah ditemukan perban yang tertinggal ketika pembedahan dua minggu sebelumnya. Yang tertinggal ternyata bukan cuma perban. Seminggu di rumah, Samsiah kembali diserang rasa sakit di bagian perut, juga ketika buang air kecil. Kali ini Samsiah dan suaminya, Bahran Harahap, bisa mengira-ngira, jangan-jangan ada lagi barang ketinggalan di dalam. Ternyata, benar, ketika buang air kecil, Samsiah "melahirkan" benang dari saluran kencingnya. Lalu apa komentar dokter. "Ah, tak apa-apa itu," ujar Bahran menirukan jawaban dokter. Memang ada 1.001 alasan mengapa sebuah kelalaian terjadi. Dan itu bisa saja merupakan kesialan seorang dokter, atau karena daruratnya keadaan. Namun, satu hal pasti, itu bukan peristiwa sederhana yang bisa diremehkan dengan jawaban: tidak apa-apa. Ngatemi juga mendapat sikap dingin seperti tak ada yang istimewa setelah terjadi pembedahan yang dilakukan padanya. Namun, yang terjadi pada penduduk Desa Batang Kilat Sungai Mati, Kecamatan Labuhan -- 22 kilometer dari Medan -- bukan pasal sederhana. Ngatemi mulanya menjalani operasi pembersihan karena kandungannya keguguran pada usia dua bulan. Operasi, yang lebih populer dengan nama kuret, berlangsung di RS Bersalin Kartini, Belawan, pada bulan Maret 1983. Yang fatal, kuret dilakukan oleh bidan, istri dokter pada rumah sakit itu. Pada operasi itu, terjadi kecelakaan yang menyiksa karena bidan yang melakukan kuret, menurut pengakuan Ngatemi, menarik bagian dalam perutnya dengan paksa. Baru berhenti setelah suaminya menghentikan operasi bertenaga itu. Ngatemi kemudian dilarikan suaminya, Abdul Mutalib, ke RS Kodam Bukit Barisan I. Dan di rumah sakit itu ia menerima berita buruk. Usus istrinya putus 10 sentimeter, dan kandungan Ngatemi rusak. Karena kerusakan-kerusakan itu, saluran pembuangan Ngatemi harus dipindah ke bagian perut. Dan dari lubang di perut itulah Ngatemi buang air besar -- sampai kini. Abdul Mutalib menggugat suami-istri pemilik RS Bersalin Kartini ke pengadilan. Namun, tergugat menanggapinya dengan dingin dan tak pernah hadir di pengadilan. Hakim Panut Alfisah menurunkan vonis dan Abdul Mutalib memenangkan ganti rugi. Namun, sekali lagi pengadilan tak digubris, dan keputusan tertanggal 16 Juli 1984 tidak diacuhkan. Hingga kini Abdul Mutalib dan Ngatemi tak pernah mendapat ganti rugi. Yang menusuk perasaan Ngatemi dan suaminya, sikap dokter dan bidan yang menanganinya. Dingin. Sikap hangat, yang menggambarkan pertalian dokter-pasien, barangkali faktor yang tak kalah pentingnya dari Undang-Undang Kesehatan. Bahkan mungkin lebih menentukan. Ada kasus yang menunjukkan kecenderungan itu. Kasus itu menyangkut Ny. Moechtar yang merasa ada kejanggalan pada kematian suaminya. Moechtar Boechari, suami ibu itu, menjalani terapi penembakan laser pada 26 April lalu di RS Islam, Jakarta. Terdapat batu pada kandung kemihnya. Penembakan dengan laser gagal, dan pembuangan batu diulangi dengan jalan pembedahan beberapa hari kemudian. Batu sebesar telur puyuh bisa dikeluarkan, dan operasi dianggap sukses. Namun, 30 April, Ny. Moechtar dipanggil Kepala Bagian Gawat Darurat, mendapat kabar suaminya tidak lagi memiliki harapan. Dan benar, Moechtar Boechari, yang telah kehilangan kesadarannya sejak pembedahan kedua, meninggal 11 Mei. Sangat sulit mengatakan kasus ini malapraktek. Menilai penembakan batu dengan laser, berbagai metode masih diperdebatkan sampai kini. Melihat penyebab kematian yang disebutkan saraf batang otak, berbagai kemungkinan yang sulit diketahui bisa terjadi. Kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO, pihak rumah sakit memberikan penjelasan singkat, kematian diakibatkan komplikasi. Namun, seperti yang dirasakan Ny. Moechtar, terasa ada kejanggalan pada kematian Moechtar Boechari. Apakah Ny. Moechtar akan menuntut. Sama sekali tidak. Ia sangat berhati-hati memberikan keterangan dan enggan membesar-besarkan persoalan. Pada mulanya, ia pun tak mau memberi keterangan. Mengapa? Ibu itu berterus terang: dr. Adi, salah seorang dokter yang merawat suaminya, sangat ramah padanya. "Pendekatan dokter itu sangat simpatik, bisa saja kami bercuriga ia mungkin ikut bersalah, tapi kami tak punya perasaan apa-apa padanya," ujar Ny. Moechtar. Cerita tentang kasus-kasus kegagalan dokter ini, dengan sendirinya, tak menunjukkan bahwa dokter selalu di pihak yang harus disalahkan. Namun, mungkin persoalannya menjadi jelas bila perangkat peraturan, misalnya undang-undang, sudah dimiliki. Sehingga, di satu pihak dokter tak perlu takut digugat pasien, sementara pasien memperoleh pelayanan layak dari para dokter. Jim Supangkat, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini