DELAPAN bulan lewat, ketika polisi menemukan mayat Sardiman di kamar tidurnya, di kawasan Menteng Sawah, Jakarta Selatan. Tempat tidur semrawut, lemari teracak-acak, dan sebuah pisau lipat sepanjang 20 cm tergeletak penuh darah. Celana panjang cokelat bernoda darah tertinggal di kamar mandi. Di ruang tamu, tersisa dua cangkir kopi, dua mangkuk mi, dan puntung rokok kretek. Dugaan polisi, ketika itu, pencurian dengan kekerasan. Di kantung celana yang tertinggal, ditemukan selembar kertas selebar setengah halaman folio, terlipat-lipat. "Itu surat pengganti KTP," kata sumber di kepolisian. Di kertas itu tertulis nama Dadang beserta alamat. Sabtu pekan lalu, pukul 02.30, akhirnya petugas menemukan Dadang, di Depok, yang lalu digiring ke Polsek Setiabudi, Jakarta Selatan. "Saya kini merasakan kepedihan dan penyesalan," kata tamatan pendidlkan guru agama bertubuh kurus itu. Dengan mata berkaca-kaca, bekas anak pesantren di Garut, Jawa Barat, itu berkisah. Katanya, Februari lalu, ia kebetulan berjumpa Sardiman di terminal bis Cililitan, Jakarta Timur. "Waktu itu Pak Sardiman kelihatan baik sekali. Kalau bicara sambil mengelus-elus pundak saya," tutur Dadang. Sardiman tampak bersimpati pada Dadang yang menganggur. "Saya lalu ditawari kerja di Caltex, karena dia bekas karyawan di sana," tutur Dadang yang berhidung mancung dan berkulit putih itu. Maka, Dadang menurut saja ketika lelaki setengah baya itu mengajak bertandang ke rumah kontrakannya, yang cuma dihuni sendiri. "Karena saya diperlakukan baik, diajak makan, saya mencucikan pakaian Pak Sardiman," kata Dadang. Pulangnya, bekas buruh pabrik tenun berpenghasilan Rp 8.400 per minggu itu dibekali uang Rp 3.000, dan pesan untuk kembali ke rumah Sardiman tiga hari kemudian. Beberapa hari kemudian Dadang bertamu lagi. Kali ini tuan rumah mempersilakan tamunya menginap. Malamnya, di kamar tidur, sikap Sardiman bertambah baik. Malah, terlalu mesra, hingga Dadang gemetar. "Dia ngekepin saya, seperti lelaki ngelonin perempuan," kata Dadang yang menikah tiga kali. Dan terjadilah hubungan sejenis akhirnya, karena Sardiman berubah jadi bengis, mengancam dengan pisau. Di tengah pertarungan seru itulah, Dadang bisa merebut pisau, dan menghunjamkannya ke dada dan leher pemerkosanya. "Setelah kejadian itu, saya gelisah. Ingin bercerita, tapi takut. Tidak diceritakan, dada sesak," kata Dadang. Sampai akhirnya Dadang bertemu dengan seorang ibu. Dadang mengaku punya banyak dosa. Ibu itu lalu mengajak Dadang menjadi umat Sekolah Penyebar Injil GBI Mawar Saron, di Jakarta Pusat. Di tempat itu, "Puji syukur saya mendapat ketenangan." Malah di tempat itu, ia bertemu dengan perempuan dari keluarga kaya, yang kemudian dinikahinya sebagai istri ketiga. Katanya, ia kemudian disayangi mertua. "Karena saya bisa mengembalikan perempuan itu ke rumahnya, sewaktu orangtuanya kewalahan menghadapinya," cerita Dadang. Perkawinannya yang pertama, tahun 1976, cuma berlangsung enam tahun. "Risiko orang nggak mampu, semua dibayarin mertua," katanya, menerangkan mengapa mereka bercerai. Tahun 1984 Dadang menikah lagi, lalu bekerja membantu mertuanya berdagang kopiah dan kardus. Lalu, cerai lagi. Menurut polisi, catatan masa lalu Dadang kurang bersih. "Dia kawin cerai, untuk morot perempuan," kata sumber di kepolisian. Malah, Dadang, yang bermukim di Garut dan Bandung sebelum ke Jakarta, pernah tercatat sebagai pelaku pencurian dan ditahan seminggu. Dadang terdiam, lalu komentarnya, "Karena nasib, saya jadi begini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini