AWAL tahun 1981, seorang dokter duduk di kursi terdakwa. Dan muncullah untuk pertama kalinya silang pendapat tentang malapraktek. Media massa ricuh bertanyatanya dan peradilan terkejut -- di mana letak pasal malapraktek? Dokter protes dan menyatakan tak ada malapraktek dalam kasus itu. Setianingrum, dokter puskesmas Wedarijaksa, Kabupaten Pati, yang diadili itu, menurut para dokter, tidak melakukan kesalahan. Pasiennya yang meninggal, Ny. Rukmini Kartono, dalam kasus itu mendapat kejutan anfilatik akibat reaksi alergis suntikan streptomisin yang diberikan. Ini, masih kata para dokter, risiko penyuntikan yang sulit dihindari, dan memang bisa merenggut nyawa pasien dalam waktu sangat singkat -- selagi dokternya sendiri, yang dengan sadar menjaga kemungkinan itu, tak jarang masih terkesima bila menghadapi kejadian tersebut. Cuma ada satu kata bagi dokter yang menghadapi reaksi anfilatik: sial! Protes dokter yang mengemukakan alasan medis secara teknis itu tak ada pada KUH Pidana. Dan polisi yang memeriksa memang bingung. "Dengan terpaksa kami menggunakan pasal keranjang sampah," ujar Mayor (Pol) Sudibyo, Kapolres Pati, mengisahkan. Yang dimasudkan Sudibyo pasal 359 KUHP yang bicara perihal kematian akibat kelalaian. Di kalangan penegak hukum, pasal ini populer karena bisa menampung macam-macam kasus, dan mengundang pengusutan secara gampangan. Protes dokter ternyata tidak menjadi bahan pertimbangan oleh pengadilan Pati, dan keputusan dijatuhkan: Setianingrum pada 2 September 1981 dinyatakan bersalah dan dihukum 3 bulan dengan masa percobaan 10 bulan. Pengadilan tingkat banding menguatkan keputusan itu pada 19 Mei 1982. Setianingrum terpidana. Silang pendapat belum berakhir. Di tingkat kasasi, protes para dokter akhirnya terdengar juga. Mahkamah Agung membebaskan Setianingrum. "Dia tidak lalai," ujar Piola Isa, S.H., ketua majelis hakim agung yang memeriksa kasus itu. "Memutuskan perkara tidak cuma dengan mendengarkan keterangan saja tapi juga pakai logika." Piola memang tahu apa reaksi alergis, dan itulah pertimbangan ekstra yang ada padanya. Nah, bagaimana kalau hakim tak tahu apa kejutan anafilatik? "Untuk itu harus ada undang-undang yang mencakup masalah kedokteran dan hukumnya," ujar Piola Isa. Dan ia mengakui undang-undang itu belum ada. Silang pendapat melalui kasus-kasus lain pun berkelanjutan -- sampai kini. "Kami menggarap Undang-Undang Kesehatan sejak dua tahun lalu," ujar Teuku Mohammad Radhie, S.H., Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), tempat semua rancangan undang-undang disusun. "Mulanya, digunakan istilah Undang-Undang Kedokteran, tapi ada pemikiran untuk mendapat jangkauan lebih luas." Untuk penggarapan itu di lingkungan BPHN dibentuk Tim Pengkajian Hukum Kesehatan. Kerja tim, mengkaji dan berusaha menyempurnakan Undang-Undang Kesehatan tahun 1960 dan 1963. "Hukum kesehatan yang lama, dengan berjalannya waktu, tidak lagi sesuai," ujar Radhie. Maka, silang pendapat perihal malapraktek jelas latar belakangnya. Undang-Undang Kesehatan yang ditunjukkan Radhie hampir tak punya klausul tentang masalah kedokteran, dan sudah tentu lumpuh menghadapi kasus malapraktek. Pasal kedokteran yang ada di sana hanya: sumpah dokter dan rahasia dokter. Lalu apa kabar dengan rancangan undang-undang itu? "Sementara ini masih tertunda dulu," jawab Radhie, walau ia sadar benar akan adanya keperluan mendesak mengamati perkembangan keadaan akhir-akhir ini. "Memang," katanya, "kesadaran masyarakat meningkat, dan dokter jadinya tak punya pegangan." BPHN tak bekerja sendiri dalam mengkaji Undang-Undang Kesehatan. Lembaga pemerintah itu didampingi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki) yang diketuai Brigjen Polisi (pur) Ameln, S.H. Pada perhimpunan yang dulunya semacam study club ini berkumpul para ahli hukum dan dokter. Kini perhimpunan inilah yang aktif mengkaji Undang-Undang Kesehatan, dan sudah menyelesaikannya. Apa pokok-pokok hasil kajian mencakup pula masalah kedokteran, khususnya malapraktek? Ameln mengiyakan, dan untuk itulah ia melakukan studi di Negeri Belanda. Menurut Ameln, ada tiga pokok penting dalam menimbang, apakah seorang dokter melakukan malapraktek atau tidak, yaitu: apakah ada faktor kelalaian, apakah praktek dokter yang dimasalahkan sesuai dengan standar profesi medis, dan yang terakhir, apakah korban yang ditimbulkan fatal. Dalam hal kelalaian, Amein sependapat dengan Piola Isa yang membebaskan Setianingrum. Pasal 359 KUHP tak bisa digunakan untuk menilai malapraktek. "Kelalaian yang dimaksud pada pasal ini adalah culpa lata yang merupakan kelalaian berat," katanya. Untuk melihat tingkat kelalaian dokter harus ada ukuran sendiri. Dan sebagai pertimbangannya, harus dilihat seberapa jauh kelalaian yang dimasalahkan itu jauh atau dekat dari standar pengobatan. Mengukur standar ini, diakui Ameln, adalah bagian yang sulit karena yang mengerti hanya dokter yang menguasai ilmu kedokteran. Karena sulitnya mengetahui standar pengobatan, Ameln berpendapat untuk mengadili kasus malapraktek, perlu ada Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan yang mendampingi peradilan dalam mengambil keputusan. Sebagian anggota majelis ini, tentunya, dokter yang memiliki integritas. Ameln menunjukkan peradilan kesehatan di beberapa negara seperti Negeri Belanda dan Inggris. Di negara ini, seperti juga di beberapa negara lain, terdapat lembaga pertimbangan masalah kedokteran yang mengeluarkan keputusan berkekuatan hukum (lihat Bagaimana Menghukum Malapraktek). Teuku Radhie agaknya sependapat dengan Ameln, "Karena hal-hal yang sifatnya spesifik medis tidak bisa dicantumkan dalam suatu undang-undang." Masalahnya, kata Radhie lagi, ilmu kedokteran berkembang terus dan senantiasa berubah. "Nanti undang-undangnya setiap kali harus ikut berubah," kata Kepala BPHN itu, "ini kan tidak mungkin." Radhie berpendapat, mengadili dokter tetap bisa dengan acara peradilan umum, tapi dengan menggunakan pasal-pasal yang ada pada Undang-Undang Kesehatan. Paling tidak, pasal kelalaian bisa dilacak pada proses ini. Bila ada hal-hal khusus medis baru, baru majelis yang beranggotakan dokter dimintai pendapat. Namun, masih menurut Radhie, dalam menentukan salah tidaknya seorang dokter, keputusan majelis harus didasarkan pada paket-paket ketetapan yang sudah disusun terlebih dahulu -- paket inilah yang bisa diubah menurut perkembangan ilmu kedokteran. Radhie mengambil contoh Medico Legal Considerations yang ada di Amerika Serikat (lihat Bagaimana Menghukum Malapraktek). Lalu, siapa yang bisa dipercaya memilih anggota Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan? Radhie melihatnya Majelis Kehormatan Organisasi Profesi. Jadi, pembentukannya dibebankan pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang sudah memiliki Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Amein tak sependapat dengan Radhie. Apalagi bila MKEK yang dikembangkan menjadi majelis yang mendampingi peradilan dalam memeriksa salah tidaknya seorang dokter. "MKEK tidak bisa obyektif karena kolega," katanya, menimbang perkembangan akhir-akhir ini, "dan etik yang baik belum tentu yuridisnya benar." Apa pendapat IDI, benarkah organisasi profesi itu cenderung membela teman sejawat? "Ah, itu kesan di luar," ujar, dr. Kartono Mohamad, Ketua Umum Pengurus Besar IDI, "di dalam, IDI dianggap memukul teman-teman sendiri." Kartono menolak, MKEK yang diberi wewenang memeriksa pelanggaran-pelanggaran kode etik tidak obyektif. Dalam tata kerja MKEK digariskan dengan tegas keharusan melihat obyektif. Termasuk di dalamnya kewajiban mendengarkan semua pihak. Selain dokter yang bersangkutan, saksi-saksi, dan yang terutama korban yang merasa terkena malapraktek. Namun, Kartono mengakui ada nuansa pada perkembangan MKEK sendiri. Di masa lalu, MKEK cenderung hanya membina anggota dan karena itu lebih banyak bersikap lunak. Tetapi, menurut Kartono lagi, dalam dua tahun terakhir sudah ditetapkan MKEK harus bersikap lebih keras. Berani melakukan pemeriksaan, melakukan vonis, dan memberikan kesempatan banding. Pada kongresnya yang ter akhir, IDI memperagakan sikap kerasnya dengan memeriksa dr Gunawan Simon dan juga memberi dokter itu kesempatan banding di kongres. Mengapa sikap itu tidak terlihat pada kasus-kasus malapraktek akhir-akhir ini? "Mengubah sesuatu yang bersangkutan dengan sikap tidak semudah membalik tangan," kata Kartono. Ia mengakui masih banyak anggota MKEK yang belum memahami ketetapan baru yang digariskan. "Saya sendiri sudah berusaha keras menanamkan dasar baru MKEK, dan memompa keberanian mengambil keputusan pada kasus-kasus yang kebetulan saya ketahui," ujar Kartono. Pasalnya, menurut Kartono, citra MKEK sangat penting. Bila masyarakat pada akhirnya tidak lagi mempercayai kesimpulan MKEK, citra semua dokter akan ikut runtuh. Ia menegaskan, tak setuju pada sikap membela teman sejawat yang nyata-nyata bersalah, "Generalisasi akan membuat semua dokter menanggung risikonya." Selain terhadap Gunawan Simon, pernahkah MKEK membuat keputusan-keputusan keras? "Pernah, dan IDI memang tidak tinggal diam menghadapi ancaman citra buruk," jawab Kartono, "Pada sejumlah kasus yang tidak dipublikasikan, MKEK telah mengambil keputusan keras dengan mencabut rekomendasi izin praktek dan menurunkan status medis." Namun, menurut Kartono, sulit bagi IDI mengumumkan tingkat kesalahan dokter kepada masyarakat, karena ukurannya sampai kini masih kode etik. Untuk melibat masyarakat dan peradilan, diperlukan Undang-Undang Kesehatan yang sampai kini belum juga dikukuhkan. Lewat undang-undang ini bisa dipastikan apakah seorang dokter salah atau tidak menurut ukuran masyarakat. "Tapi bila MKEK menduga kuat seorang dokter telah melakukan tindak pidana, MKEK pasti akan menyerahkannya ke pengadilan," kata Ketua Umum PB IDI itu. Ia menunjuk pasal 165 KUHP yang mengancamkan hukuman bagi mereka yang tidak melaporkan tindak pidana yang membahayakan nyawa orang. Bagaimana menetapkan dugaan kuat seorang dokter telah melakukan tindakan pidana? Pertimbangannya ada pada Undang-Undang Kesehatan yang masih terkatungkatung itu. Kapan silang pendapat malapraktek akan berakhir? Dokter menunggu dengan cemas, masyarakat bingung -- dan mungkin dirugikan. Jis., Laporam Eko Yuswanto (Jakarta) & Bandelan Amaruddin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini