Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bila dokter lalai ...

Wawancara tempo dengan ketua mkek pusat wafj tumbelaka tentang dokter yang melakukan malapraktek, pengaduan masyarakat, peranan mkek, medical record, kasus dokter-dokter mata di sukabumi, dst. (ksh)

25 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKTER adakalanya memang bisa lalai. Atau terpeleset melakukan pelanggaran kode etik. Jika kasus seperti itu terjadi, salah satu badan dalam keorganisasian Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), bakal menghadapi tugas berat. "Karena harus mengadili rekan sendiri," kata Profesor Willem Alexander Frederik Josef Tumbelaka, 66, Ketua MKEK Pusat. Di tengah menghangatnya tudingan atas beberapa dokter, tak jarang, badan yang dimaksudkan sebagai mahkamah para dokter itu dinilai orang awam agak lambat dan lebih cenderung membela kolega mereka. Betulkah begitu ? Prof. Tumbelaka, guru besar UI, pernah jadi penjabat rektor semasa Nugroho Notosusanto (almarhum) jadi menteri P dan K, menjawab pertanyaan TEMPO. Di ruang kerjanya sebagai Dekan FK Universitas Tarumanegara, Jakarta, Senin pekan ini, ayah tiga anak yang sudah jadi Ketua MKEK Pusat sejak 1981 itu diwawancarai Indrayati. Bila ada dokter yang melakukan tindak malpractice ke mana sebaiknya masyarakat harus melapor? Dulu, memang banyak cara ditempuh. Bisa melapor ke organisasi profesi (IDI), Kakanwil Depkes, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, atau media massa. Tapi sekarang sudah ada konsensus: adukan dulu ke organisai profesi. Bisa ke IDI cabang atau MKEK cabang. Biasanya, IDI cabang meneruskan kasus itu ke MKEK cabang. Badan ini yang akan memeriksa menyangkut Etik atau pidana. Bila tindak pidana, bagaimana? MKEK akan menganjurkan supaya langsung saja mengadu ke pengadilan. Sebab, pada dasarnya, tugas MKEK di bidang etik, mencoba membimbing anggota yang melanggar etik. Antara lain dengan memberikan peringatan lisan atau tertulis. Bila tidak didengarkan, mengeluarkan peringatan keras. Tidak juga, mengusulkan kepada IDI agar rekomendasi praktek dokter tadi ditarik. Baru Departemen Kesehatan yang menentukan pencabutan izin praktek dokter itu. Ada kesan MKEK cenderung membela dokter . . . Kesan itu tidak benar. Kami memang disorot demikian. Tapi, sebenarnya, tidak begitu. Contohnya, tahun lalu ada dokter di Jakarta yang melakukan aborsi sudah kami tindak. Dia dicopot dari keanggotaan IDI. Juga terhadap dokter lain, misalnya, kalau masih ingat, kasus Dokter Gunawan Simon. Di pengadilan sering pengacara kurang bahan, karena medical record (MR), biasanya dipegang dokter. Sebetulnya mudah. Cuma belum diketahui saja. MR itu memang rahasia jabatan. Tapi pengacara bisa mendapatkannya. Dia bisa memberi kuasa kepada dokter yang dipercayainya untuk meminta MR itu ke rumah sakit, misalnya. Dokter RS pasti memberikannya. Tentu saja, selain harus diambil sendiri oleh dokter tadi, catatan yang bisa diberikan adalah yang sesuai dengan kasus yang relevan atau yang benar-benar diperlukan sang pengacara. Kalau meminta seluruh kasus, ya, tentu tak boleh. Dan memang sulit menentukan mana yang relevan dengan kasus dan mana yang tidak. Di sini kami memang belum jalan. Bila ada pengaduan, katakan, seorang dokter mata yang melakukan kesalahan, apa yang dilakukan MKEK? Kami selalu berusaha seobyektif mungkin. MKEK akan lebih dahulu meminta pendapat kelompok dokter mata. Untuk mencari tahu di mana sebenarnya letak kesalahannya. Kami minta bantuan itu, karena kami harapkan ini bisa dipergunakan juga dalam memperbaiki peraturan, untuk menentukan standar profesi. Tentang kasus dakter mata di Sukabumi? Di sini, pasien jelas dirugikan. Tapi, harus dilihat dulu, apakah itu untuk keuntungan si dokter. Saya kira tidak. Upaya operasi (mata) itu untuk menolong pasien. Cuma, dokter melanggar standar profesi. Yakni tidak memberikan penjelasan secukupnya kepada pasien tentang tindakan yang akan dia lakukan. Padahal, ini harus dia lakukan. Surat izin operasi pun tidak disampaikannya sendiri. Juga dia percaya saja kepada mantri yang menyiapkan peralatan operasi. Konon, mantri bilang siap, dan dia percaya saja, tidak mengeceknya. Dari sudut medis, ia memang melakukan semuanya dengan tepat. Lha, kalau begitu lantas bagaimana? Ini memang masih dibicarakan. Kenapa dokter itu balik nuntut .... Ya, saya kira dia merasa namanya memang tercemar, karena sudah diramai-ramaikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus