Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kawan lama itu berjumpa lagi. Hamid Awaludin dan Daan Dimara. Saat bekerja di Komisi Pemilihan Umum, mereka sa-ling menyapa dengan panggilan ala tuan-tuan Belanda: Meneer Daan dan Meneer Hamid. Keduanya suka bergurau. Tapi nasib mereka kini berbeda bak langit dan bumi. Hamid kini menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan Daan Dimara tersuruk di kamar tahanan Kepolisian Metro Jaya.
Di ruang sidang Pengadilan Korupsi Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu, me-reka tak bisa lagi saling berbalas gu-yon. Daan duduk di kursi terdakwa, Hamid hadir sebagai saksi. Bersama Untung Sastrawijaya, Daan didakwa terlibat ko-rupsi pengadaan segel sampul surat suara pemilihan presiden 2004. Negara rugi Rp 3,5 miliar karena harga segel dinilai terlalu mahal. Pengadaan juga hanya melalui penunjukan langsung, tanpa tender. Untung adalah Direktur Utama PT Royal Standard, yang mencetak segel. Daan adalah ketua panitia pengadaan itu.
Tapi Daan Dimara menuding: Hamidlah yang menentukan harga segel pemilihan presiden. Dosen Universitas Cen-derawasih Papua ini menunjuk setumpuk bukti, dari sejumlah surat yang dikirimkan Untung Sastrawijaya ke-pada Hamid Awaludin hingga pertemu-an penentuan harga yang dipimpin Hamid. Salah satu surat itu tertanggal 10 Juni 2004, ditujukan kepada ketua panitia pengadaan cetakan pemilihan pre-siden, u.p. Hamid Awaludin.
Surat yang ditandatangani Untung itu menawarkan harga segel amplop surat suara. Harga segel ukuran 5 x 6 cm dipatok Rp 131 per keping, sudah termasuk pajak dan ongkos kirim ke daerah. Dalam surat ini Untung melampirkan spesifikasi segel pengaman.
Erick S. Paat, kuasa hukum Daan Dimara, juga menunjuk pertemuan pa-da 14 Juni 2004 sebagai bukti keterlibatan Hamid dalam penentuan harga. Rapat ini dihadiri Untung Sastrawijaya, Zai-nal Asikin, dan Aryoko (ketiga-nya dari Royal Standard), Hamid Awalu-din, Bakri Asnuri (staf Biro Hukum KPU), dan Boradi (pegawai Sekretaris Jende-ral KPU). Pertemuan itu dipimpin -Hamid Awaludin.
Adanya rapat itu dibenarkan oleh Untung. ”Pada pertemuan 14 Juni 2004, Pak Hamid menawarkan harga segel Rp 99 per keping dan saya menerima,” ujarnya dalam kesaksiannya pada sidang Daan Dimara, tiga pekan lalu. Dua petinggi Royal Standard lainnya juga membenar-kan peran Hamid dalam penentuan -harga itu.
Kisah rinci keterlibatan Hamid diungkap dua saksi dari KPU, yakni Bakri Asnuri dan Boradi. Bakri menuturkan, sekitar pukul satu siang tanggal 14 Juni Hamid Awaludin memanggilnya mengikuti rapat negosiasi harga segel dengan Royal Standard. Rapat berlangsung di lantai tiga gedung Komisi Pemilu Jakarta Pusat. Menurut dia, Hamid akhirnya memutuskan harga segel Rp 99 per keping, belum termasuk pajak pertambahan nilai dan ongkos kirim ke daerah.
Dengar pula keterangan Boradi. Dia pun ikut rapat. ”Sampai di lantai tiga, saya melihat Hamid Awaludin sudah ada. Harga Rp 99 per keping sudah ditentukan. Dia menuliskannya di whiteboard,” katanya.
Begitu rapat usai, Hamid memerintahkan Bakri Asnuri meneruskan pro-ses pengadaan segel ini dengan Daan Dimara. ”Pak Bakri, untuk selanjutnya selesaikan dengan Pak Daan Dimara,” kata Hamid sebagaimana ditirukan Bakri Asnuri.
Bakri lalu merancang konsep nota dinas dan surat keputusan penetapan barang dan jasa pada 16 Juni 2004. Nota dinas bernomor 641/ND/VI/2004 itu berisi usulan penunjukan rekanan pencetak segel pemilihan presiden tahap pertama. Nota dinas dan konsep surat keputusan itu kemudian diperlihatkan Bakri kepada Daan Dimara hari itu juga. Kepada Daan, Bakri juga melaporkan hasil perundingan Hamid Awaludin de-ngan Untung Sastrawijaya soal harga -se-gel. Tanpa banyak komentar, Daan pun meneken nota dinas dan konsep surat keputusan itu.
Nota tersebut ditujukan kepada Ke-tua Komisi Pemilihan Umum, Nazaruddin Syamsuddin. Di situ dijelaskan, seharusnya pengadaan segel ini dilakukan lewat lelang, tapi proses lelang itu memerlukan waktu 36 hari. Karena keadaan sangat mendesak, sesuai de-ngan Keputusan Presiden Nomor 80 -Tahun 2003, penunjukan langsung dapat di-benarkan.
Menurut Daan Dimara, dia menandatangani nota dan konsep surat keputusan itu karena harga sudah disepa-kati antara Hamid Awaludin dan Untung Sastrawijaya pada 14 Juni 2004. Apalagi setelah rapat ini Nazaruddin Syam-suddin memanggil Daan Dimara ke -ruangannya. Di sana sudah ada Hamid Awaludin. Kata Daan, saat itu Hamid mengatakan, ”Meneer Daan, tidak usah diubah-ubah lagi harganya. Sudah oke. Tinggal menjalankan dan meng-awasi saja.”
Daan, yang belum tahu apa-apa, lantas bertanya, ”Untuk proyek apa, Pak?” Menurut dia, saat itu Hamid menjawab, ”Untuk proyek segel kertas suara pemi-lihan presiden.” Meneer Daan mengangguk. Berdasarkan penjelasan di ruang Nazaruddin itu, ia lalu meneken nota dinas dan konsep surat keputusan.
Hamid berkeras membantah me-mimpin rapat penentuan harga ini. Ia membeberkan kepada Tempo bahwa Daan Dimara sudah mengikuti proses percetakan segel sejak awal. Ahli hukum ini menunjuk sejumlah dokumen seperti berita acara pertemuan pada 9 Juni 2004. Rapat itu dihadiri Untung Sastrawijaya, Daan Dimara, Bakri Asnuri, Boradi, dan empat staf dari KPU. Rapat membahas pekerjaan seputar pengadaan segel.
Digelar di lantai satu, rapat ini ditu-tup setengah dua belas siang. Dalam beri-ta acara itu disebutkan, rapat itu dipim-pin Daan Dimara selaku ketua panitia peng-adaan segel pemilu presiden. Peserta yang hadir menandatangani berita acara itu.
Hamid juga menunjuk Berita Acara- Pembukaan Penawaran Harga, yang di-terbitkan 10 Juni 2004. Dalam beri-ta acara itu dijelaskan bahwa pada hari itu telah digelar rapat pembukaan penawaran harga segel pemilihan pre-siden. Dalam pertemuan itu Untung me-nawarkan harga segel Rp 131 per keping.
Esoknya, 11 Juni 2004, panitia peng-adaan menggelar rapat negosiasi harga dengan Untung Sastrawijaya berdasarkan penawaran pada 10 Juni itu. Rapat digelar di lantai satu gedung KPU. Hasil rapat itu tertuang dalam Berita Acara Nomor 49.1/BA-PH/15/VI/2004. Di situ dijelaskan bahwa hasil negosiasi harga dipatok pada Rp 131 per keping. Harga ini sudah termasuk pajak dan ongkos kirim. Daan Dimara dan sejumlah anggota panitia pengadaan ikut menandatangani berita acara itu. Jadi, ”Ini menjelaskan bahwa sejak awal Daan ikut terlibat pengadaan segel ini,” Hamid menjelaskan.
Tapi dengarlah jawaban Daan Dimara. Menurut dia, tiga pertemuan itu tidak pernah ada. Dokumen-dokumen itu dibuat belakangan oleh Bakri Asnuri selaku sekretaris panitia pengadaan segel, setelah pemilihan presiden tahap per-tama selesai. Tujuannya untuk kelengkapan administrasi.
Bakri Asnuri juga mengaku semua berita acara itu dibikin belakangan. Dia pun bilang, pertemuan pada 9 Juni 2004 tidak pernah ada. Berita acara pertemuan itu dibikin tanggal 30 Juni. Berita acara pembukaan penawaran harga pada 10 Juni 2004 sama saja. Dibuat belakangan dan rapatnya sendiri tidak pernah ada.
Boradi juga memberikan jawaban yang sama. ”Rapat tanggal 9 Juni dan 10 Juni itu tidak pernah ada. Berita acara itu saya tandatangani 31 Juli 2004,” kata-nya.
Jadi, semua berita acara ini baru di-bikin setelah pemilihan presiden tahap pertama digelar, 5 Juli 2004. Baik Bakri Asnuri maupun Boradi mengaku bahwa satu-satunya rapat yang benar-benar ada cuma tanggal 14 Juni yang dipimpin Hamid Awaludin itu.
Repotnya, jaksa memasukkan semua berita acara yang dibuat belakangan ini sebagai bukti untuk menjerat Daan Dimara seorang diri. Padahal, menurut Daan, surat-surat itu dibikin atas perintah resmi pemimpin KPU.
Daan Dimara mengisahkan, saat itu Badan Pemeriksa Keuangan memang telah siap mengaudit pengadaan logistik pemilihan umum. Petinggi Komisi Pemilu blingsatan karena banyak sekali rapat tanpa berita acara. Sussongko Suhardjo, yang saat itu menjabat sekreta-ris jenderal, lalu mengirim surat kepada semua anggota panitia pengadaan logistik. Isinya: perintah melengkapi admi-nistrasi pengadaan.
Perintah yang sama kemudian diterbitkan Ketua Komisi Pemilu, Nazaruddin Syamsuddin. Karena perintah dadakan itu, ”Jadilah rapat yang tidak pernah ada dibikin ada. Yang ada rapatnya malah lupa dibikin berita acaranya,” ujar Daan. Menurut dia, Hamid Awaludin berlindung di balik kekisruhan administrasi itu.
Kepada Tempo, Hamid mengambil untung dari keruwetan itu. ”Kalaupun surat-surat itu dibikin mundur, mengapa rapat tanggal 14 Juni 2004, yang disebut-sebut dipimpin oleh saya, tidak bisa dibikin mundur juga berita acaranya?” ujarnya.
Sebelum perang kesaksian pada sidang Selasa pekan lalu, sebetulnya Daan Dimara dan Hamid Awaludin sempat berpelukan mesra di ruang tunggu pengadilan. Mereka lalu bergandengan masuk ke ruang saksi. Berdua di ruang itu, mereka terlihat akur.
Keluar dari situ, bencana baru justru meledak. Menurut Daan, Hamid menawarkan uang untuk membantu- ekonomi keluarganya, tapi ia menolak-nya. ”Hamid juga mendesak agar kuasa hukum Daan Dimara tidak menyerangnya dengan pertanyaan keras di persidangan, jika tidak ingin masalah ini jadi soal pribadi,” tutur Daan menirukan ancaman Hamid.
Geger soal ancaman itu membuat Hamid perlu meluruskannya. ”Saya hanya meminta agar dia tidak menyerang saya di media massa. Nanti terkesan ini masalah pribadi,” katanya.
Mana yang betul, agak kabur, mirip kesaksian Meneer Daan dan Meneer Hamid soal pertemuan 14 Juni 2004. Yang pasti, satu di antara dua meneer itu sudah berdusta di muka hukum.
Wenseslaus Manggut, Arif Kuswardono, Wahyu Dhyatmika
Kesaksian yang Menyudutkan
Kasus korupsi segel sampul suara pemilihan presiden 2004 kini sedang disidangkan di Pengadilan Korupsi Jakarta Pusat. Kontroversi terjadi lantaran terdakwa Daan Dimara mengungkap keterlibatan Hamid Awaludin, yang sekarang menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Saat itu Daan menjadi ketua pengadaan segel sampul di Komisi Pemilihan Umum. Hamid juga jadi anggota komisi itu.
Selain Daan Dimara, Direktur Utama Royal Standard Untung Sastrawijaya juga dijadikan terdakwa. Mereka dituduh menyebabkan negara rugi Rp 3,5 miliar karena harga segel yang di-sepakati terlalu tinggi. Pengadaan segel juga tidak melalui tender, tapi dengan penunjukan langsung.
Pengakuan Daan mengenai keterlibatan Hamid dibenarkan pula oleh lima saksi lain. Tiga di antaranya telah bersaksi di pengadilan. Inilah kesaksian mereka:
Bakri AsnuriSekretaris panitia pengadaan segel
”Saya tidak pernah melakukan negosiasi harga. Tapi saya pernah diperintahkan Hamid Awaludin untuk mendampinginya melakukan negosiasi harga dengan Untung Sastrawijaya dari PT Royal Standard di lantai tiga kantor KPU (pertemuan 14 Juni 2004). Saat itu panitia pengadaan segel untuk pemilihan presiden belum dibentuk. Disepakati harga Rp 99 per keping, belum termasuk ongkos kirim dan pajak.”
BoradiAnggota panitia pengadaan segel
”Pada 14 Juni 2004 siang, saya ditelepon Bakri Asnuri untuk ikut rapat pengadaan segel di lantai tiga KPU. Harga segel ditentukan oleh Hamid sebesar Rp 99 per keping, yang saat itu menuliskannya di whiteboard. Rapat juga dihadiri Bakri Asnuri. Hamid Awaludin selaku pemimpin rapat. Dari rekanan, yang hadir adalah Untung Sastrawijaya selaku Direktur Utama Royal Standard dan dua orang stafnya.”
Untung Sastrawijaya Direktur Utama PT Royal Standard
”Hamid Awaludin yang menentukan harga segel, yakni Rp 99 per keping. Penentuan itu dilakukan dalam rapat di kantor KPU pada 14 Juni 2004. Saya sempat tawar-menawar harga karena sebelumnya dia menyodorkan harga Rp 131 per keping. Namun, penawaran tersebut ditolak oleh Hamid dengan alasan, dengan harga Rp 99 per keping itu, saya sudah mendapatkan keuntungan.” Hamid membantah semua kesaksian itu. Dia mengaku tidak pernah menghadiri, apalagi memimpin rapat pada 14 Juni 2004.
Sederet Keganjilan
Kasus korupsi segel pemilihan presiden- juga diwarnai ber-bagai kejanggalan, m-ulai da-ri dokumen yang baru di-buat belakangan hingga dakwaan yang mengabur-kan peran Hamid.
Dokumen Mundur Sejumlah dokumen pengadaan segel dibuat setelah pemilihan presiden berakhir. Bahkan saksi Boradi menyatakan, berita acara penawaran harga tertanggal 10 Juni 2004 sebenarnya dibuat pada 31 Juli 2004. ”Kegiatan itu sebenarnya juga tidak pernah ada,” katanya.
Surat Royal Standard Royal Standard pernah mengirimkan surat penawaran harga segel ke Hamid Awaludin. Surat penawaran dikirimkan dua kali pada 10 Juni dan 12 Agustus 2004. Namun, surat itu tidak diakui Hamid. Ketika bersaksi, Hamid membantah menerima surat penawaran itu, ”Saya baru tahu setelah diperiksa KPK.”
Berita Acara Fiktif Dalam berita acara dinyatakan 19,8 juta lembar telah selesai dicetak pada 16 Juni 2004. Padahal perjanjian pengadaan kertas segel antara Royal Standard dan KPU baru dibuat pada 15 Juni 2004. Bagaimana mungkin 19,8 juta lembar selesai dalam sehari?
Dakwaan Ganjil Dalam dakwaan jaksa kepada Daan Dimara, Hamid Awaludin hanya disebut sebagai ”peserta” rapat pada 14 Juni 2004. Padahal dalam berkas pemeriksaan, Hamid Awaludin disebut berperan sebagai penentu harga.
Sumber: berkas pemeriksaan dan kesaksian di persidangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo