Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denny Indrayana
Setelah awal reformasi menjadi era emas kekuatan masyarakat sipil karena lemahnya kekuatan ”negara”, sewindu kemudian terjadi arus balik kekuatan koruptif-otoritarian. Komisi-komisi independen yang awalnya hadir untuk menguatkan kontrol publik, kini menghadapi counter attack para penggiat KKN. Komisi Yudisial digoyang hakim yang kenikmatan bermafia peradilannya terganggu; KPU dipotong kewenangannya oleh oknum Departemen Dalam Negeri, terutama dalam pemilihan kepala daerah langsung.
Demikian pula KPK. Serangan juga dilakukan dengan upaya hukum yang terkesan bersih, semacam gugatan ke pengadilan. Salah satunya melalui uji materi Undang-Undang Antikorupsi atau UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa serangan membuahkan kemenangan bagi koruptor. Dalam permohonan yang diajukan Bram Manoppo, MK memberikan pertimbangan bahwa KPK tidak berwenang mengusut kasus korupsi sebelum lahirnya komisi tersebut. Putusan itu sangat problematik, karena menjadi imunitas yuridis bagi koruptor pada era Orde Baru.
Pekan lalu, MK kembali mengeluarkan dua putusan berkait UU KPK dan UU Antikorupsi. Dalam putusan pertama, MK menyatakan Masyarakat Hukum Indonesia tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi pemohon. Ini putus-an yang tepat, karena permohonan itu senyatanya meminta KPK dibubarkan, suatu permohonan yang sangat koruptif. Modus yang sama pernah terjadi pada masa Jaksa Agung Marzuki Darusman. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terpaksa dibubarkan karena dasar pembentukannya dinyatakan batal oleh putusan judicial review yang koruptif di Mahkamah Agung.
Sayangnya, pada hari yang sama, MK mengeluarkan putusan atas UU Antikorupsi yang menuai kontroversi karena menghapuskan arti melawan hukum secara materiil. MK mengklasifikasi melawan hukum tidak semata berdasar peraturan, namun juga mengacu pada perbuatan yang dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma dalam masyarakat.
Putusan MK ini memperpanjang perdebatan antara pi-lihan berpihak pada ”kepastian hukum” dan pada rasa ”keadilan”. Sayangnya, MK lebih memilih berpihak pada kepastian hukum. Ini pilihan yang kontroversial, khususnya bila diterapkan di ”negeri kampung maling”. Di negeri ini, semestinya rasa keadilan masyarakat diberi kesempat-an untuk menjadi dasar dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi. Jika yang menjadi pijakan semata-mata peraturan tertulis, penegakan hukum antikorupsi yang luar biasa, progresif, dan akseleratif tak bisa dilakukan.
Bahkan bila diterapkan dalam masa Orde Baru, akan banyak pelaku korupsi yang bebas karena pendekatan hukum positivistik demikian. Pada masa itu, tindak korupsi tidak akan bisa dilihat semata dari aturan tertulis karena hukum tertulis sudah dimanipulasi untuk melegitimasi korupsi.
Pada masa sekarang pun modus operandi yang sama masih berlanjut. Di beberapa daerah, korupsi yang dilakukan anggota parlemen—dengan meningkatkan berbagai tunjangan—diberi label halal peraturan daerah. Dalam hal demikian, argumentasi MK bahwa hanya perbuatan me-lawan hukum formal yang dapat dijadikan dasar sangkaan korupsi berpotensi besar memandulkan perang me-lawan korupsi.
Mungkin MK berniat baik mempertegas kepastian hukum dengan menghapus perbuatan melawan hukum materiil. Namun, salah-salah niat baik malah akan dijadikan benteng pertahanan para koruptor. Misalnya, rencana penerbitan instruksi presiden tentang perlindungan pe-jabat, yang kabarnya dibuat agar pejabat -tidak ragu mengambil keputusan; secara niat, inpres itu baik. Namun, dalam prakteknya, inpres itu berpotensi disalahguna-kan oleh para koruptor.
Hal yang sama akan terjadi dengan putus-an MK. Putusan MK itu menjadi buah sima-lakama. Jika diterapkan secara kaku, membuka peluang makin banyaknya koruptor. Sebaliknya jika tidak dijadikan acuan oleh lembaga peradilan umum, putusan MK sebagai lembaga tertinggi yang menjaga aturan konstitusi menjadi kehilangan legitimasi dan kredibilitasnya.
Seharusnya untuk memutuskan uji konstitusionalitas, MK tidak hanya berpegang pada bunyi pasal per pasal di dalam konstitusi. MK wajib menggali makna konstitusi seiring aspirasi di tengah masyarakat. Saat ini, perang melawan korupsi adalah agenda utama gerakan masyarakat sipil. Mempersulit upaya gerakan itu tidak hanya bertentangan dengan rasa keadilan, tetapi juga dengan norma konstitusi. Sebab, interpretasi konstitusi tidak boleh bertentangan dengan prinsip moralitas-konstitusionalitas (Keith Whittington: 1999).
MK sewajibnya menjadi lilin di tengah gelapnya hukum- Indonesia yang terkontaminasi penyakit nista mafia per-adilan. Proses peradilan yang cepat dan transparan membuka harapan MK dapat menjadi pejuang moralitas konstitusi. MK seharusnya tidak lagi melahirkan putusan yang berpotensi menjadi benteng pertahanan para koruptor. MK adalah guardian of the constitution, bukan guardian of the corruptors.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo