SEORANG petani menagih janji gubernurnya. "Pak, dulu kami
dijanjikan premi Rp 3/kg bila mau ikut insus. Sampai sekarang
premi itu belum kami terima," katanya. Pengaduan itu kontan
disambut tepuk-tangan riuh dari para petani lainnya. Gubernur
Ja-Tim Sunandar Prijosudarmo menjawab, ia sudah lama
memperjuangkannya. "Saya sudah mengirim surat ke atasan sana,"
katanya sambil menunjuk ke atas. Para petani bertepuk-tangan
lagi kegirangan.
Hal itu terjadi pada pertemuan di Balai Pertemuan Kecamatan
Prambon, Kabupaten Sidoarjo dua pekan lalu. Para petani Ja-Tim
memang pantas menagih janji itu karena dewasa ini, berkat insus,
provinsi tersebut berhasil tampil sebagai salah satu gudang
beras nasional. "Produksinya meliputi 925.000 ton, jadi hampir
50% dari stok nasional," kata Sunandar.
Premi itu memang dimaksud untuk merangsang pelaksanaan program
insus, seperti tercantum dalam Keppres 36/80. Karena itu,
seperti kata Menmud Urusan Produksi Pangan, Affandi, "kalau ada
yang belum dibayar, akan kami bayar, sebab uang itu memang uang
rakyat." Jumlah dana seluruhnya yang disediakan meliputi Rp 6,4
milyar. Premi itu diberikan untuk 50% dari tiap produksi yang
dijual oleh kelompok insus kepada Dolog lewat KUD. Petani
perorangan, meskipun menjual gabah kepada KUD, tidak mendapat
premi.
Tidak Tahu
Bila kelompok insus menjual gabah kepada KUD, mereka mendapat
formulir tanda-terima yang ditanda-tangani petugas KUD dan Sub
Dolog setempat. Juga surat keterangan yang menyatakan bahwa
gabah yang dijual benar-benar merupakan hasil insus,
ditanda-tangani oleh PPL (petugas penyuluh lapangan).
Selanjutnya petani juga mendapat formulir untuk pengambilan
premi. Premi bisa diambil di BRI setempat dengan membawa
surat-surat tersebut.
Di Ja-Tim usaha memancing pengumpulan gabah dengan umpan premi
tersebut ada hasilnya. Menurut Kepala Dolog Ja-Tim, A. Jaffar,
di daerah ini telah terkumpul, sekitar 480.000 ton yang mendapat
premi. "Itu berarti preminya lebih dari Rp 1 milyar," kata
Jaffar. Uang inilah rupanya yang belum diterima para petani.
Di daerah lain, ternyta banyak petani yang tidak memanfaatkan
kesempatan mendapat premi, bahkan ada yang tidak tahu ada premi
perangsang itu. Misalnya Johan Daeng Lira dari Desa Cambaya,
Kelurahan BorongloE, Kecamatan Bontomarannu (Goa, Sul-Sel).
"Selama ikut insus saya tak pernah menerima premi. Saya [idak
tahu," katanya. Hanung Daeng Talli, Ketua Kelompok Tani Minasa
Taji, memperkuat pengakuan anggota kelompoknya itu.
Desa BorongloE nampaknya lagi naas. Dua tahun lalu desa ini
pernah jadi juara II insus sekabupaten, tapi tahun berikutnya
panen gagal. "Selain itu KUD di sini menanggung utang Rp 800.
000," kata Galib Daeng Ngati, kepala desanya.
Menurut Ir. Sennang Ima Bathik, Kepala Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Goa, petani bukannya tak tahu adanya premi. "Soalnya
mereka lebih suka menjual hasil panen ke pasar Ujungpandang,"
katanya. Tiga kali Kabupaten Goa mengkuti insus sejak 1978/79,
tapi realisasi preminya nihil. Padahal menurut sumber Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Sul-Sel, premi yang tersedia untuk
1978/79 ada Rp 230 juta, tapi yang dibayarkan hanya Rp 14 juta.
Tahun berikutnya tersedia Rp 290 juta, realisasinya nihil.
Di Ja-Bar, pemberian premi insus baru merupakan rencana. "Pemda
belum menjanjikan apa-apa," kata Drs. Dod Soewondo, Kepala Humas
Pemda Ja-Bar. Di Provinsi ini malah ada petani yang heran
mendengar adanya premi. Haji Masykur misalnya, koordinator insus
Desa Kianroke, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.
"Sebenarnya tak usah dijanjikan apa-apa. Janganjangan kalau
diberi premi semangat insus malah kendur," katanya. Tiga
kelompok insus di desa ini pernah dinyatakan sebagai yang
terbaik di Ja-Bar.
Di Sum-Ut, ada petani yang tidak berminat mengambil prenni. Tak
seorang petani pun di Desa Pardamean, Kecamatan Tanjung Morawa,
Deli Serdang, yang menjual hasil panennya kepada KUD. Sebab
seperti pengakuan Siahaau, Ketua KUD Setia di sana, "harga yang
ditetapkan KUD lebih murah dari harga pasar." Harga KUD Rp
120/kg harga pasar antara Rp 137 sampai Rp 140/kg. Pernahharga
pasar anjlok jadi Rp 95/kg. tapi KUD Setia tak berani menampung,
sebab tak punya mesin pengering. Kepala Bagian Penyuluhan Dinas
Pertanian Sum-Ut, Ir. Sinulingga sendiri mengakui, "premi insus
di sini tidak jalan sebab harga pasar lebih tinggi dari harga
pemerintah."
Di Daerah Istimewa Yogyakarta juga ada petani yang tidak
tertarik akan premi. "Petani di sini menjual gabah kepada
tengkulak yang lebih berani membayar harga tinggi," kata
Marsudi, petani dari Dukuh Kebitan, Kelurahan Sendangarum,
Kecamatan Minggir. Sleman. Para tengkulak di sana berani
membayar Rp 140/kg, sedang harga di KUD hanya Rp 135/kg.
Beberapa alasan lain dikemukakan oleh Marsudi. Antara lain,
letak KUD 3 km dari desa, hingga untuk mengangkut gabah ke sana
memerlukan ongkos lagi. "Selain itu peraturannya berbelit-belit,
preminya pun harus diambil di BRI-antre lagi. Ini kan perlu
ongkos tambahan," katanya. Martodiharjo sendiri, kepala
dukuhnya, juga mengaku tidak menjual hasil sawahnya ke KUD.
Meski begitu Marsudi maupun Martodiharjo berharap agar premi
insus tetap dipertahankan. Cuma saran mereka, agar premi
tersebut dihitung dari jumlah hasil panen--bukan semata-mata
karena dijual secara kelompok kepada KUD. Maksud saran ini mudah
ditebak. Yaitu agar setiap peserta insus, apalagi yang juara,
tetap mendapat premi tinggi tapi juga bebas menjual hasil panen
ke pasar dengan harga lebih tinggi. Saran seperti itu tentu saja
tak bisa dilaksanakan, sebab tak sesuai dengan Keppres 36/80.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini