Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pengampunan dalam Daftar Tunggu

Amendemen hukum perpajakan terganjal rancangan amnesti yang tak kunjung kelar. Masih perlu ditulis ulang.

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tenggat itu lewat sudah. Sampai penutupan masa sidang Jumat pekan lalu, rancangan undang-undang (RUU) yang ditunggu-tunggu itu belum juga dikirimkan pemerintah ke DPR. Menteri Keuangan Jusuf Anwar sendiri yang pernah berjanji bahwa rancangan tentang amnesti atau pengampunan perpajakan bisa beres di tingkat tim pengkaji sebelum September berakhir.

Kelambatan ini dipastikan akan menjadi ganjalan baru bagi lajunya proses reformasi paket perundang-undangan pajak yang diharapkan rampung di sisa tahun ini. Tiga rancangan lain, yakni RUU Ketentuan Umum Perpajakan, RUU Pajak Penghasilan, dan RUU Pajak Pertambahan Nilai, yang lebih dulu dikirim Presiden Yudhoyono pada 31 Agustus, terpaksa menunggu lebih lama sebelum dibahas.

”Panitia khusus yang dibentuk sudah sekali bersidang, tapi tanpa rancangan amnesti, pembahasan dianggap tak lengkap dan belum bisa berlanjut,” kata Paskah Suzetta, Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan, yang juga mengetuai panitia itu.

Berbeda dengan ketiga rancangan lain yang berisi amendemen, RUU Pengampunan Perpajakan merupakan hal baru. Sempat ditolak keras oleh Menteri Keuangan Boediono pada pemerintahan sebelumnya, niat untuk membuat undang-undang ini saja boleh dibilang sudah merupakan kemajuan. Tak mengherankan, perumusannya begitu alot. Apalagi, tim yang dipimpin mantan Menteri Keuangan Bambang Subiyanto itu tak hanya berisi orang-orang pemerintah, tapi juga wakil dari pengusaha di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan akademisi.

Para pengusaha dilibatkan karena, pada prakteknya, merekalah yang selama ini menjadi penyetor utama penerimaan negara dari pos perpajakan. Mereka yang mewakili Kadin di tim itu ialah Teddy P. Rachmat, John Prasetyo, Rachmat Gobel, Chairul Tanjung, dan Jim Castle. Wakil pemerintah antara lain Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara, I Made Gde Erata, dan tim dari Direktorat Jenderal Pajak.

Kalau ketat dengan jadwal Jusuf Anwar, mestinya rapat Tim Review RUU Perpajakan di sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta, kamis pekan lalu, adalah pertemuan penghabisan. Tapi, boro-boro menyelesaikan rancangan akhir pasal-pasal, dari 28 poin pembahasan, separuhnya belum menemukan kata sepakat. ”Menyangkut banyak hal prinsip,” kata Bambang. ”Kalau boleh jujur, harus ditulis ulang.”

Draf yang diperoleh Tempo dari sumber yang dekat dengan tim itu menunjukkan apa yang dikatakan Bambang. Beberapa poin yang belum putus dibahas itu antara lain menyangkut cakupan pengampunan, besaran tebusan dan dasar perhitungannya, serta siapa saja yang akan masuk ke dalam unit pelaksana program ini. Jadwalnya pun belum jelas.

Soal pelaksana, misalnya, tim belum sepakat apakah nanti unit itu merupakan lembaga ad hoc yang khusus dibentuk di bawah Direktorat Jenderal Pajak sendiri, ataukah akan melibatkan unsur lain yang memiliki keahlian penuntutan pidana seperti polisi dan jaksa. Penetapan ini penting mengingat fasilitas yang hendak diberikan dalam program ini bukan hanya berupa penghapusan denda pajak yang tertunggak, tapi juga pembebasan dari ancaman tuntutan pidana lainnya.

Seperti halnya Paskah, pemilik kelompok usaha Gemala, Sofjan Wanandi, mengatakan, RUU Perpajakan hanya bisa diterima jika dilengkapi dengan pengaturan mengenai amnesti. Jaminan adanya pengampunan merupakan syarat mutlak bagi perbaikan sistem perpajakan. ”Mana ada orang mau datang sukarela melaporkan hartanya yang selama ini disembunyikan kalau sudah pasti akan dipenjara?” katanya.

Seperti judulnya, program amnesti di banyak negara lain memang tak bertujuan menarik denda atau potensi pajak yang hilang di masa lalu. Dengan janji pengampunan, diharapkan mereka yang selama ini tak taat bayar pajak akan datang melaporkan kekayaannya dengan lebih jujur. Laporan itulah yang kelak akan menjadi basis data obyek pajak baru.

Sebagai pembanding, pemerintah pernah mengirim tim ke Afrika Selatan yang pada 2003 menjalankan program serupa. Selama sembilan bulan pelaksanaan program ini, hampir 43 ribu wajib pajak yang datang mendaftar.

Penerimaan yang bisa dihimpun selama program tak terlalu signifikan, yakni mencapai 2,2 miliar rand atau sekitar Rp 3,3 triliun. Cuma 0,7 persen dari total penerimaan pajak. Namun, data aset yang diperoleh senilai 65 miliar rand atau hampir Rp 100 triliun. Lebih dari dua per tiganya merupakan aset yang selama ini dianggap ilegal.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus