Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Endapan Tanah di Hulu Sungai Ciliwung Memburuk, ini Efeknya

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan peningkatan endapan lumpur akibat kerusakan lingkungan di daerah aliran Sungai Ciliwung.

24 Maret 2018 | 12.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan peningkatan endapan lumpur (sedimentasi) akibat kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) hulu Sungai Ciliwung.

Kepala Sub-Direktorat Pemolaan, Perencanaan, dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai, Totok Saparis, mengatakan alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor, meningkatkan potensi erosi di hulu sungai yang mengalir ke Jakarta itu.

Menurut Totok, pada musim hujan, tanah di perbukitan Puncak semakin mudah terseret air, lalu menggelontor ke sungai dan menjadi sedimentasi. "Otomatis kapasitas daya tampung sungai jadi berkurang," kata dia kepada Tempo, kemarin. Artinya ancaman banjir ke daerah hilir yakni Jakarta membesar.

Baca : Usai Longsor, Banjir Bandang Ancam Kawasan Puncak

Totok menyebutkan sejumlah penyebab rusaknya daerah aliran sungai yang ditandai dengan peningkatan debit air dan tingginya sedimentasi. Penyebab itu antara lain hilangnya tutupan vegetasi karena kerusakan hutan (deforestasi), kemiringan lereng, karakteristik tanah, dan kurangnya area resapan air. Jika penyebab kerusakan daerah aliran sungai dibiarkan, kata Toto, “Itu sangat berpotensi menjadi bencana.”

Dari tahun ke tahun, menurut Totok, warna air sungai di hulu Ciliwung semakin keruh. Hal itu terjadi lantaran tanah yang tergerus air langsung masuk ke sungai. Di sungai, tanah yang larut dalam air mengendap menjadi sedimentasi. "Kalau warna airnya cokelat, berarti sedimentasinya tinggi," ujar dia

Menurut Totok, sedimentasi berdampak buruk bagi lingkungan. Sedimentasi, antara lain, menyebabkan berkurangnya daya tampung sungai, kualitas air, dan kandungan oksigen dalam air. Semakin ke hilir, kualitas air diperburuk oleh limbah yang langsung dibuang ke sungai.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Jarot Widyoko, membenarkan bahwa sedimentasi di Sungai Ciliwung semakin berat. Menurut dia, tanah yang terkikis cepat masuk daerah aliran sungai seiring dengan meningkatnya debit air dari pegunungan di hulu Ciliwung.

Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yuliarto Joko Putranto, sebelumnya mengatakan, pada musim hujan, volume air yang langsung menggelontor ke hulu Ciliwung terus meningkat.

Pada 2006, ketika curah hujan mencapai 153 milimeter per hari, debit banjir di hulu Ciliwung maksimal 271 meter kubik per detik. Pada 2016, dengan curah hujan yang sama, debit banjir menjadi 281 meter kubik per detik. "Ini indikasi menurunnya daya dukung DAS di Ciliwung hulu," ucap Yuliarto.

Yuliarto menambahkan, peningkatan debit banjir terjadi seiring dengan berkurangnya tutupan hutan di kawasan Puncak, antara lain, akibat lonjakan kawasan permukiman. Pada 2006, luas lahan permukiman di kawasan ini sekitar 1.249 hektare. Pada 2016, kawasan permukiman meluas menjadi 2.046 hektare.
Simak pula: Puncak Makin Botak, 5.700 Hektare Hutan Lenyap dalam 16 Tahun

Hampir bersamaan, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Jarot Widyoko, mengungkapkan, sedikitnya 20 situ di Jakarta telah hilang akibat alih fungsi menjadi lahan pertanian dan permukiman.

Untuk menyelamatkan situ dan danau yang tersisa, menurut Jarot, target pemerintah dalam jangka pendek adalah menyelesaikan sertifikasi sejumlah situ di Jakarta. Selanjutnya, pemerintah akan memperbaiki situ-situ di kawasan hilir Jakarta. "Kami mulai perbaiki situ-situ penampungan air," kata Jarot, kemarin.

Menurut Jarot, situ-situ sangat diperlukan untuk menampung luapan air dari hulu sungai yang mengalir ke kawasan hilir Jakarta. Termasuk dari hulu Sungai Ciliwung. Tanpa memperbaiki situ, pada musim hujan, Jakarta akan semakin rawan banjir. Sebab, 13 sungai yang mengalir ke Ibu Kota tak mampu lagi menampung debit air yang terus meningkat.

SIDIK PERMANA | AVIT HIDAYAT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus