Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tertahan di depan pintu gerbang sebuah rumah di Jalan Lempung Baru, Kelurahan Lontar, Surabaya. Senin pagi pekan lalu, mereka tak bisa menggeledah rumah yang sekelilingnya dipagari tembok dan besi setinggi 2,5 meter tersebut. Tuan rumah tak sudi membukakan pintu pagar untuk mereka.
Setelah dua jam menunggu, para penyidik mengambil keputusan: kunci pintu pagar dibuka paksa. Dan, krak, dengan alat yang mereka bawa, kunci pagar rumah milik Tommy Hindratno itu patah. Pagar terbuka. Di dalam rumah, ternyata ada ibu kandung, istri, dan anak lelaki Tommy yang baru berusia tiga tahun.
Selama tujuh jam petugas KPK berada di rumah itu. Sepanjang waktu itu pula mereka terus menelisik dan mengubek-ubek semua ruangan dan sudut rumah milik Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Pelayanan Pajak II Sidoarjo Selatan itu. "Kami mencari bukti terkait dengan kasus penyuapan," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.
Lima hari sebelumnya, KPK menangkap Tommy di rumah makan Sederhana di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Dia dicokok bersama James Gunardjo, orang yang diduga menyuap Tommy. Dari lokasi penyergapan, KPK menyita uang tunai Rp 280 juta.
Penggeledahan rumah keluarga Tommy baru selesai selepas magrib. Pada hari yang sama, tim KPK menggeledah ruang kerja Tommy di Kantor Pelayanan Pajak II Sidoarjo Selatan. Dari kedua tempat itu, tim KPK memboyong bundelan dokumen ke Jakarta.
Sepeninggal petugas KPK, tiga rumah di kompleks seluas sekitar 700 meter persegi itu selalu tampak lengang. Kamis pekan lalu, Tempo kembali menyambangi rumah itu. Pintu gerbang rumah tertutup rapat. Dari celah pagar terlihat sebuah truk dan sedan abu-abu terparkir di halaman, dekat gazebo tempat bersantai.
Walau pintu pagar berkali-kali diketuk, tak ada penghuni rumah yang keluar. Saat Tempo menghubungi nomor telepon di salah satu rumah itu, terdengar suara mesin penjawab yang meminta meninggalkan pesan. "Sejak jadi ramai berita, penghuni rumah tak pernah kelihatan," kata seorang warga yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggal Tommy.
Tommy Hindratno, 38 tahun, mengawali karier di Direktorat Jenderal Pajak pada 1996. Ia bekerja di sana begitu lulus dari program diploma Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Tommy pertama kali bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing I, Jakarta. Sembari bekerja, dia melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia.
Setelah lulus sarjana, ia dipindahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa, Jakarta. Saat berkantor di kawasan Jalan Sudirman inilah Tommy berhubungan dengan banyak wajib pajak perusahaan besar. Ia kemudian mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan master di Universitas Waseda Jepang. Kembali dari Negeri Sakura pada 2009, dia ditugasi di bagian administrasi di salah satu kantor pajak di Jakarta. Tapi itu hanya sementara. Pada 2010, ia dipindahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Sidoarjo Selatan dengan jabatan kepala seksi. Untuk jabatannya itu, setiap bulan ia mendapat gaji Rp 15 juta. Itu gaji pokok, belum termasuk tunjangan rutin lainnya.
Di tengah karier yang terus menanjak inilah dia tergelincir. Pertengahan tahun lalu, Direktorat Kepatutan Internal Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) Pajak menerima laporan miring tentang sepak terjang Tommy, terutama dalam hubungannya dengan wajib pajak.
Laporan soal perilaku Tommy, juga pegawai pajak lainnya, menurut sumber Tempo, masuk tak lama setelah Direktorat Jenderal Pajak membentuk unit khusus pengaduan internal. Hanya, tak semua laporan bisa segera ditindaklanjuti. Direktorat KITSDA, misalnya, perlu waktu cukup panjang, sekitar satu tahun, untuk memverifikasi sembari memantau orang yang dilaporkan. Baru pertengahan Mei lalu, Direktorat KITSDA melaporkan delapan nama petugas pajak ke KPK. Nah, nama Tommy termasuk yang diteruskan ke KPK.
Mendapat info "setengah jadi," lima pemimpin KPK tak membuang waktu. Mereka berbagi tugas. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mendapat tugas mengkoordinasi tim khusus untuk mengawasi gerak-gerik para pegawai pajak yang jadi target itu.
Akhir Mei lalu, tim KPK mulai menangkap sinyal mencurigakan. Suatu hari tim KPK meluncur ke Hotel Peninsula, Slipi, Jakarta Barat. Mereka bersiap menyergap petugas pajak yang diduga akan menerima suap. Semua informasi akan adanya transaksi suap itu sudah dikantongi. Tapi operasi gagal. Entah kenapa target mereka itu urung bertransaksi.
Seorang sumber Tempo menyatakan target yang lolos dari sergapan KPK bukan Tommy. KPK baru menangkap tanda-tanda mencurigakan dari Tommy sepekan kemudian. Ketika itu, Tommy diketahui bersiap terbang bersama ayahnya, Hendy Anuranto, dari Surabaya ke Jakarta. Kepada atasannya di Kantor Pelayanan Pajak Sidoarjo, saat itu Tommy meminta izin tak bisa masuk kerja dengan alasan menengok mertuanya. Sejumlah rekannya di KPP Sidoarjo tentu saja kemudian terkejut saat media memberitakan Tommy ditangkap di Jakarta karena menerima suap.
Penangkapan Tommy memang mengagetkan sejawatnya, tidak hanya di Sidoarjo, tapi juga di Jakarta. Di mata teman-temannya, ia tak memiliki "potongan" piawai bermain mata dengan wajib pajak. "Dia tak selincah Gayus, juga tak sepintar Dhana," kata seorang pegawai pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Yang dia maksud Gayus H. Tambunan dan Dhana Widyatmika. Dua pegawai pajak yang satu almamater dengan Tommy itu kini mendekam di bui karena urusan "bermain" pajak ini.
Di lingkungan pergaulannya, baik di kantor maupun di rumahnya di Lempung Baru, Tommy bukan orang yang gaul. "Dia bukan tipe sosok terbuka," ujar seorang anak buahnya di Kantor Pelayanan Pajak Sidoarjo. Menurut dia, atasannya tersebut jarang berbaur dengan anak buah. Kalaupun bicara, lebih banyak soal pekerjaan. "Saat makan, dia biasanya memilih ke luar kantor ketimbang makan bersama pegawai lain," kata sumber ini.
Zainuri, tetangga Tommy di Lempung Baru, menyatakan Tommy jarang bergaul dengan tetangga. "Saya paling bertemu dengan dia dua kali dalam setahun, pas Lebaran," katanya. Rumah Zainuri berjarak enam rumah dari kediaman Tommy.
Setelah diperiksa di gedung KPK pekan lalu, Tommy memilih bungkam. Bergegas masuk mobil tahanan, dia sama sekali tak meladeni pertanyaan wartawan.
jajang Jamaludin, Akbar Tri, Dini Mawuntyas, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo