Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Orang-orang yang Berumah di Laut

Dengan latar belakang kehidupan suku Bajo di Wakatobi, sutradara baru Kamila Andini menyajikan drama keluarga.

9 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE MIRROR NEVER LIES
Sutradara: Kamila Andini
Skenario: Dirmawan Hatta dan Kamila Andini
Pemain: Reza Rahadian, Atiqah Hasiholan, Gita Novalista
Produksi: Pemerintah Kabupaten Wakatobi, WWF Indonesia, SET Karya Film

KE laut, ke langit, ataupun di antara pasir putih, Pakis selalu mencoba mencari bayang-bayang ayahnya. Melalui cermin pemberian ayahnya, Pakis (Gita Novalista), gadis Bajo berusia 12 tahun itu, rajin menghadap Sandro (dukun) untuk mencari ayahnya, yang menghilang ketika sedang mencari ikan. Sandro selalu memberikan harapan setinggi langit, sedangkan kawannya, Lumo (Eko), sesama anak nelayan Bajo, dan sang ibu, Tayung (Atiqah Hasiholan), lebih realistis. Mereka mencoba meyakinkan Pakis: sang ayah sudah berumah di laut.

Kerinduan Pakis kepada sang ayah dan ketegangannya dengan ibunya meninggi dengan kedatangan Tudo (Reza Rahadian), seorang peneliti lumba-lumba, yang memikat hati si anak remaja puber dan sang ibu.

Tapi drama di tengah keindahan Wakatobi dan warna-warni kekayaan bawah laut itu tentu saja tak berkembang menjadi kisah Lolita karya Vladimir Nabokov. Bukankah Wakatobi adalah bagian dari Indonesia? Tak mungkin plot drama kegilaan ibu-anak berebut satu lelaki terjadi di bagian mana pun di Indonesia. Masyarakat kita tampaknya terlalu sopan untuk cerita sesinting itu.

Plot ini adalah sesuatu yang selalu sugestif. Diberi kesan dan gambar-gambar yang penuh interpretasi. Seperti juga Garin Nugroho, sang ayahyang menjadi produser film inisutradara Kamila Andini memulai debutnya dengan film yang berpegang pada kekuatan gambar (dan tentu saja kekayaan alam Wakatobi).

Jalan cerita film yang ditulis oleh Dirmawan Hatta dan Kamila Andini adalah sesuatu yang mudah diduga. Sejak awal kita tahu, sang ibu, yang wajahnya selalu saja tertutup oleh kapuruntuk perlindungan dari tajamnya mataharipasti akan mempunyai ketertarikan kepada peneliti lumba-lumba dari Jakarta yang ganteng itu. Ketegangan antara ibu dan anak juga sudah bisa diduga akan semakin ruwet. Ada kompleksitas Pakis yang memandang Tudo sebagai campuran figur lelaki dewasa (baca: ayah) dengan lelaki yang tampan. Kita bahkan sudah merasakan apa yang akan terjadi pada setiap babak hingga akhir. Tapi film seperti ini memang tidak mementingkan kejutan, melainkan pengalaman kita untuk memahami perjalanan batin tokoh-tokohnya.

Untuk sesaat, ada keberanian sutradara Andini untuk melangkah pada area abu-abu. Ketika Pakis mengintip Tayung berbanjur air, ada sensasi Pakis sebagai gadis pubertas yang belum paham reaksi tubuhnya sendiri. Pakis hanya bisa marah atau mutung setiap kali keinginannya tak dikabulkan. Terutama keinginannya mengenang ayahnya dan bahkan berbual-bual memanjakan angan-angannya bersama dukun.

Film pertama Kamila ini adalah sebuah kerja sama dengan Kabupaten Wakatobi dan World Wide Fund for Nature Indonesia, yang menampilkan suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, kawasan yang merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang. Misi untuk memperlihatkan ratusan spesies makhluk bawah laut yang luar biasa itu, termasuk puluhan dolfin yang cantik, berhasil menyatu dengan cerita. Kalaupun Tayung harus diberi adegan mengajar di kelas anak-anak sekolah dasar tentang konservasi dan betapa "ramahnya para dolfin yang menjadi kawan nelayan untuk mencari ikan".

Gita Novalista, pemain baru asli Bajo, tampil meyakinkan sebagai Pakis, seorang anak remaja yang tak habis-habisnya mencari cara untuk bertemu dengan ayahnya. Eko, sebagai Lumo, kawan kita yang sibuk meminyaki rambutnya dan jatuh hati pada Pakis dan akhirnya mencoba meyakinkan Pakis tentang realitas laut itu, sungguh menonjol. Duet pemain dari Bajo ini betul-betul sebuah hiburan di antara latar belakang kecantikan pemandangan lokasi film ini. Adegan puncak, saat Pakis menumpahkan duka yang luar biasa dengan mencabik dan menelan kasuami (makanan dari singkong) seraya mengabaikan air matanya yang berlinang-linang. Dia harus menerima. Ayahnya berumah di laut. Dan untuk selanjutnya, Pakis menganggap laut sebagai cermin hidupnya yang luas tak berbatas.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus