Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gaya Hidup Halal

Kelas menengah muslim Indonesia kini lebih mudah mengekspresikan keislamannya dibanding pada zaman Orde Baru. Barang dan jasa yang memenuhi syariah Islam pun jadi incaran mereka. Bisnis yang sesuai dengan syariah meledak, dari hijab bergaya dan sinetron islami hingga hotel syariah dan sekolah Islam. Tapi mengapa nilai-nilai dalam Islam, seperti toleransi dan antikorupsi, tidak menonjol? Apakah ada pendangkalan dalam pemahaman atas Islam?

28 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima tahun lalu Fatya Faizannur memutuskan mengenakan hijab pada ulang tahunnya yang ke-17. "Tidak ada paksaan dari siapa pun," kata sarjana arsitektur Universitas Indonesia itu. Saat itu dia baru lulus dari International Islamic Boarding School di Cikarang, Jawa Barat. Di sekolah itu hijab adalah seragam wajib. "Tapi biasanya cuma pakai di sekolah, ya, habis itu dilepas. Kalau pakai pun poni rambut masih kelihatan."

Kini dia selalu memakai hijab, meski belum siap mengenakan hijab panjang yang menutupi dada. "Keinginan ke arah sana tentu ada. Tapi aku pikir aku belum sampai pada tahap itu," ujar Fatya. Dia memilih mengenakan selendang hitam yang dimasukkan ke sweater longgar. Perancang pakaian muslim Jenahara Nasution menjadi panutannya dalam berpakaian, "Karena Jenahara juga suka pakai warna hitam," kata gadis itu.

Wanita seperti Fatya kini dengan mudah kita jumpai di mana pun, baik di sekolah maupun mal atau kafe. Jilbab mereka tak lagi segitiga yang kaku, tapi dilipat-lipit penuh kreasi. Pemakainya adalah muslimah muda yang tak canggung untuk berpakaian modis di kantor atau di mana pun.

Tentu saja, jilbab bukan hal baru di Indonesia. Sejak Emha Ainun Nadjib membacakan syair Lautan Jilbab pada 1988, orang sadar bahwa pemakai jilbab semakin banyak di Indonesia. Tapi apa yang berkembang belakangan ini sedikit berbeda. Pada masa Orde Baru, pemerintah menekan simbol-simbol Islam karena dianggap mengancam negara. "Simbol Islam kala itu punya konotasi negatif. Bahkan pemakaian hijab di sekolah pun dilarang," kata Deny Hamdani, pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, pertengahan Juli lalu.

Sejak reformasi, kanal ekspresi keagamaan yang dulu tersumbat jadi terbuka dan menemukan penyalurannya. Keterbukaan ini memunculkan jilbab yang berbeda, jilbab yang lebih rileks, jilbab kota yang bukan bagian dari perlawanan. Di Indonesia, jilbab modis yang bagian dari gaya hidup kota ini kemudian memakai nama baru untuk membedakan dengan jilbab kaku di masa lalu: hijab.

Hijab adalah penggambaran tepat dari gaya hidup kelas menengah muslim saat ini, seperti yang diriset oleh Center for Middle-Class Consumer Studies, lembaga kajian yang berbasis di Rawamangun, Jakarta. Mereka berpendidikan tinggi, punya pemikiran terbuka (bukan militan), menyerap dengan baik gaya hidup perkotaan dan modern, serta tak mau ketinggalan tren.

Mereka berkerudung, tapi busananya buatan perancang lulusan sekolah mode Prancis. Mereka berdandan, tapi 95,4 persen di antaranya (menurut riset itu) memilih kosmetik yang halal. Mereka memilih sekolah agama untuk anak-anak mereka tapi sekolah itu harus berstandar internasional. Mereka juga senang traveling, tapi mengutamakan hotel syariah.

Inilah kelas menengah yang ingin bergaya dengan cara yang halal.

l l l

Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), kelas menengah adalah kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 24-240 ribu per hari. Selama kurun 1999-2009, jumlahnya melonjak hampir dua kali lipat. Jumlahnya kini diperkirakan 130 juta orang lebih atau sekitar 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia dan terus bertambah 8-9 juta orang setiap tahun. Karena 87 persen lebih penduduk Indonesia adalah muslim (sensus penduduk 2010 oleh Badan Pusat Statistik), kaum muslim jelas mendominasi kelas ini.

"Kelas menengah muslim adalah pasar yang besar dan pengusaha menanggapinya dengan menyediakan kebutuhan mereka akan produk syariah," kata Yuswohady, peneliti Center for Middle-Class Consumer Studies, pada awal Juli lalu. Menurut konsultan pemasaran di Jakarta itu, sejak sepuluh tahun lalu, kelas ini tak hanya menuntut manfaat dan kualitas tinggi terhadap suatu produk, tapi juga kandungan nilai spiritualnya. "Hal ini menjelaskan mengapa produk syariah menjadi populer dan tinggi angka penjualannya."

Wardah Cosmetics, produk kosmetik halal pertama di Indonesia, misalnya, pada 1985 hanyalah industri rumahan biasa. Kini Wardah menjadi pemain utama di ranah kosmetik halal, dengan omzet Rp 2,4 triliun setahun. Angka ini menembus omzet Sari Ayu Martha Tilaar, yang sudah lebih lama malang-melintang di bisnis kosmetik, yang mencapai Rp 1,5 triliun pada 2013. "Wardah praktis telah menggerus pasar kosmetik lain. Sari Ayu bahkan perlu membuat kosmetik halal pula," kata Yuswohady, konsultan pemasaran yang pernah menjadi pemimpin MarkPlus Institute of Marketing.

Merebaknya bisnis syariah ini merambah ke mana-mana, dari wisata umrah, perjalanan umrah ditambah wisata ke sejumlah negara di Timur Tengah; sekolah dan pendidikan tinggi Islam modern, seperti Insan Cendekia Madani Boarding School atau Lazuardi Global Islamic School; berkembangnya bank syariah; hingga sinetron bertema Islam yang sering disebut "sinetron religi".

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menilai keadaan ini sebagai bentuk kecenderungan konsumtif yang semakin tinggi di kalangan kelas menengah muslim, tapi kepedulian empati mereka terhadap kelas bawah masih rendah. "Mereka belum sepenuh hati dalam memberdayakan kelas bawah, terutama yang miskin," kata Amirsyah.

Namun pendapat ini dibantah oleh data lain, yaitu berkembangnya lembaga penyalur zakat, infak, dan sedekah, seperti Dompet Dhuafa. Dari catatan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), pada 2011, zakat terhimpun sebesar Rp 1,7 triliun. Jumlah itu meningkat menjadi Rp 2,2 triliun pada 2012 dan Rp 2,5 triliun pada tahun lalu.

l l l

Dalam pengamatan Yuswohady, konsumen kelas menengah muslim didominasi kaum Islam yang moderat. "Islam mereka inklusif, terbuka terhadap perkembangan zaman, sehingga mereka dapat menerima hijab yang bergaya dan tak menutup seluruh tubuh," katanya.

Sikap inklusif itu bisa dilihat dari bagaimana mereka melihat produk. "Mereka amat concern pada produk halal. Tapi, jika produk itu mengkhususkan diri pada pasar Islam, justru tidak terlalu dilirik," ucapnya. Itulah kenapa Wardah belakangan mengikutsertakan model tak berhijab dalam iklannya. Demikian juga dengan Bank Muamalat. Jenahara dan sejumlah perancang lain pun mulai menyatakan bahwa busana mereka bisa dipakai oleh hijaber atau bukan.

Hal ini muncul dari atmosfer Indonesia yang plural dan lebih bisa menerima kemodernan. Kaum perempuan muslim di Indonesia, kata Deny, hidup di alam yang lebih bebas. "Di Timur Tengah, peran perempuan hanya di wilayah domestik atau privat," ujarnya. Sedangkan di sini perempuan dapat berperan di berbagai bidang, termasuk politik dan ekonomi.

Namun, menurut Deny, yang berkembang sekarang baru kulitnya saja. Yang muncul hanyalah pemakaian simbol-simbol Islam, karena kini simbol Islam dianggap positif. Perempuan berhijab, misalnya, dianggap orang yang alim dan bersih. Sayangnya, hal ini kadang dimanfaatkan sebagian orang sebagai pencitraan belaka. "Para koruptor itu kan ketika sudah disidang mendadak memakai hijab," katanya.

Kaum muslim yang kini berjilbab, suka berumrah, atau menggunakan hotel syariah itu, menurut Deny, pada dasarnya hendak mengamalkan Islam secara kafah atau menyeluruh. Masalahnya, kata dia, dakwah yang populer sekarang, seperti yang ditayangkan kebanyakan stasiun televisi, belum mencapai hal yang esensial dari Islam, seperti toleransi, disiplin, prestasi, dan pemimpin yang bersih. Baginya, dakwah di televisi itu kebanyakan hanya mengedepankan "dramatisasi" dan nasihat keagamaan. Akibatnya, "Kelas menengah ini menjadi muslim yang belum tercerahkan," ucap penulis Anatomy of Muslim Veils, buku tentang hijab yang diangkat dari tesisnya di Australian National University, ini.

Yang dibutuhkan masyarakat sekarang, kata Deny, adalah berbagai bentuk dakwah yang menggali lebih dalam ajaran Islam. Masalahnya, menurut dia, membikin hal itu tidaklah mudah, karena butuh riset dan pemahaman yang memadai. Kalau mendukung Islam, pemerintah pun seharusnya memberikan teladan. "Misalkan, bagaimana pemerintahan berjalan seperti yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab yang toleran dan bersih dari korupsi," ujarnya.


TIM LAPORAN KHUSUS KELAS MENENGAH MUSLIM
Penanggung Jawab: Qaris Tajudin Kepala Proyek: Kurniawan Penulis: Kurniawan, Subkhan, Heru Triyono, Isma Savitri, Evieta Fadjar Pusporini, Hadriani Pudjiarti Penyumbang Bahan: Subkhan, Cheta Nilawati Prasetyaningrum, Evieta Fadjar Pusporini Penyunting: Qaris Tajudin, Kurniawan, Dodi Hidayat Bahasa: Uu suhardi, Sapto Nugroho, iyan bastian Periset Foto: Jati Mahatmaji Desain: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Gatot Pandego, Rizal Zulfadly, Tri watno Widodo, Yudha A.F.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus