Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dian Pelangi, perancang busana muslim 23 tahun yang sedang naik daun, hanya sempat mereguk satu gelas jus jeruk untuk berbuka puasa pada pertengahan Ramadan lalu. Setelah itu, Dian Wahyu Utami-nama asli perancang muda tersebut-sibuk melayani permintaan foto bersama dari para pengunjung pergelaran busananya di gerai Galeries Lafayette, Pacific Place, Jakarta. Di belakang mereka sudah berbaris awak televisi antre untuk wawancara.
Dian kini jadi salah satu perancang busana muslim yang sedang moncer. Rancangan hijabnya penuh gaya dan warna. Bahkan dia mempopulerkan hijab bergaya turban, sorban gaya Persia. Dian berada di barisan perancang yang mengembangkan hijab yang bergaya, seperti Ria Miranda; Jenahara; Fenny Mustafa, pemilik label Shafira; dan Windri Widhiesta Dhari, pemilik label NurZahra. "Dian bisa dibilang sebagai salah satu pionirnya," kata Yuswohady, peneliti dari Center for Middle-Class Consumer Studies, pada awal Juli lalu.
Penggemar busana Dian, menurut Yuswohady, termasuk jenis konsumen yang menuntut nilai fungsional dan spiritual yang tinggi terhadap suatu produk. Hijab itu harus berkualitas dari sisi mode sekaligus memenuhi syariah Islam. Mereka, menurut Yuswohady, adalah kelompok kelas menengah muslim yang moderat, punya selera tinggi, dan tergolong makmur. Ini terlihat dari pilihan busana mereka yang tidak kaku harus menutupi seluruh tubuh. "Istilahnya, tidak apa-apa kalau hijabnya akhirnya begini," katanya sambil menggerakkan tangan menggambarkan lekukan gitar.
Dian tentu saja ingin busananya sesuai dengan syariah tapi dia tidak mempermasalahkan hijab yang bergaya macam-macam. Bagi lulusan ESMOD (L'Ecole Supérieure des Arts et techniques de la Mode), sekolah mode di Jakarta yang berpusat di Prancis, itu, alam budaya Indonesia memungkinkan para "hijaber"-sebutan Dian untuk mereka yang mengenakan hijab-lebih bebas berekspresi dibanding di negara lain.
Apalagi muslimah Indonesia masa kini, kata Dian, tidak melulu menjadi ibu rumah tangga. "Muslimah itu sekarang banyak yang berkarya di luar rumah. Mereka pasti perlu pakaian yang cocok untuk bekerja. Itu sebabnya ada banyak gaya hijab," ujarnya.
Hijab juga makin populer karena didukung munculnya berbagai komunitas, seperti Hijabers Community, yang didirikan Dian Pelangi dan Ria Miranda empat tahun lalu di Jakarta. Pada mulanya, kata Dian, pengguna hijab belum menjamur dan anggota mereka, yang adalah teman-teman mereka, cuma sedikit. Komunitas ini merangkul semua muslimah dengan berbagai jenis hijab, dari yang suka berhijab yang bergaya hingga yang busananya menutupi seluruh tubuh.
Ajang kumpul-kumpul pemakai hijab ini kemudian merebak di berbagai daerah dan hingga kini anggotanya sudah mencapai puluhan ribu orang. Setiap kali bertemu, mereka bertukar pengalaman dan belajar macam-macam, dari mengaji, cara mengenakan hijab yang bergaya, hingga kecantikan. "Dulu mencari tutorial hijab itu susah banget. Enggak kayak sekarang," kata Windri, yang belajar sendiri cara memakai jilbab saat mulai berjilbab. Di media sosial dan Internet, orang kini dengan mudah menemukan berbagai cara memakai hijab, termasuk hijab ala turban yang rumit karena banyak lipatannya.
Rancangan busana muslim pun berkembang pesat. Perancang memanfaatkan berbagai bahan dan ornamen. Jenahara tidak segan menaburkan paku dan rantai dalam pakaian rancangannya, terinspirasi oleh gaya gothic. "Intinya, saya tidak ingin membuat hijab itu kelihatan kampungan," ujar putri artis Ida Royani yang jadi Presiden Hijabers Community ini.
Merebaknya pemakai hijab mendorong lahirnya berbagai majalah dan tabloid khusus busana muslim. Indonesia, kata Yuswohady, punya sekitar sepuluh media cetak, seperti Hijabstar Magazine, Annisa, Paras, dan Noor. Bandingkan dengan Malaysia, yang hanya memiliki dua majalah, Hijabista dan Dara.
Bisnis lain yang kecipratan rezeki dari meningkatnya hijaber yang sadar penampilan adalah produsen kosmetik. Ceruk pasar inilah yang dilirik Nurhayati Subakat, pendiri Wardah Cosmetics, produk kosmetik halal pertama di Indonesia. Lulusan Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung itu memulainya dari bisnis rumahan pada 1985 dan menjajakan sendiri produknya. Bahkan putranya, Salman Subakat, turut memasarkannya. Akibatnya, "Ada yang bertanya, 'Kok, yang menjual kosmetik laki-laki?'" kata Nurhayati.
Wardah adalah merek kosmetik yang pertama kali menyatakan diri sebagai produsen kosmetik halal. Awalnya penjualannya tidak terlalu menjanjikan. Namun, seiring dengan berkembangnya kelas menengah muslim yang modern itu, Wardah menjadi pilihan utama mereka. Hampir semua responden dalam survei Center for Middle-Class Consumer Studies menyatakan alasan mereka memilih kosmetik adalah soal kehalalannya.
Untuk memperluas pasarnya, pada 1990-an Wardah mulai menggunakan dua artis terkenal masa itu, Marissa Haque dan Inneke Koesherawati, sebagai ikon produknya. Belakangan, Wardah juga menggandeng Dian Pelangi dan Ria Miranda. Strateginya berhasil. Wardah terus tumbuh dan praktis menjadi pemain tunggal di ranah kosmetik halal. Dari pabrik seluas 6,5 hektare di Tangerang, Wardah memperoleh omzet senilai Rp 200 miliar per bulan.
Kehalalan memang jadi faktor utama yang jadi pertimbangan kaum muslimah. Tapi, secara bisnis, menurut Yuswohady, produk yang sukses tetap adalah produk yang menyasar semua kalangan. Hal ini menjelaskan bagaimana Wardah, meski mencitrakan sebagai kosmetik halal, tetap menyasar konsumen yang tak berhijab. Ini terlihat dari berbagai iklannya yang kadang menampilkan perempuan tak berhijab tapi tetap berpenampilan sopan.
Hal yang sama terjadi pada soal busana. Hal inilah yang membuat Jenahara, misalnya, juga menjual busana yang tidak hanya bisa dikenakan oleh hijaber, tapi juga mereka yang tidak berhijab. Keinklusivan juga diterapkan oleh Windri Widhiesta Dhari, pemilik label NurZahra, saat menampilkan busana muslim pertama di Jepang.
Selama empat tahun terakhir, omzet Wardah melonjak sekitar 75 persen. Padahal, menurut lembaga riset pemasaran AC Nielsen, rata-rata omzet industri kosmetik naik hanya 15 persen setiap tahun. Hasil riset yang dilakukan Center for Middle-Class Consumer Studies yang dirilis pada Juni lalu menunjukkan 87,8 persen respondennya menganggap Wardah sebagai kosmetik halal. Posisi berikutnya baru diduduki Sari Ayu dan Mustika Ratu, dua produsen kosmetik yang selama ini merajai pasar Indonesia.
Setelah merebaknya bisnis busana dan kosmetik halal, belakangan muncul pula salon khusus muslimah. Salon semacam ini melarang pria memasuki area salon, karena saat menjalani perawatan, klien membuka jilbabnya. Salah satu yang cukup tenar adalah Gerai Inan di Jalan Margonda Raya 285, Depok, Jawa Barat. Salon yang punya beberapa cabang di Jakarta dan sekitarnya ini menyediakan perawatan lengkap dari kepala hingga kaki.
Harga perawatannya bergantung pada panjang rambut. Misalkan, untuk cream bath atau spa rambut, petugas salon akan melihat lebih dulu sepanjang apa rambut yang akan dirawat. Untuk Adelia, perempuan 24 tahun dengan panjang rambut sebahu, perawatannya dikenai Rp 60 ribu lebih.
Salon muslimah lain yang terkenal adalah Moz5, yang memberikan pelayanan yang juga tak kalah lengkap dibanding Inan, termasuk perawatan wajah, refleksi, hingga totok aura. Menurut Aliah Lestari, lulusan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang jadi duta Moz5, salon muslimah memberikan jaminan halal terhadap semua produk kecantikan yang dipakai. "Ada sertifikasi halal untuk produk-produk yang digunakan. Selain itu, kami biasanya menggunakan bahan alami," kata Aliah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo