Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOSOK dalam poster itu terlihat sangar. Mengenakan zirah tebal, penampilannya sekilas menyerupai Tokusatsu, superhero asal Jepang. Di dekatnya terdapat tokoh dengan muka merah mengenakan kostum serba hitam, mirip Darth Maul, tokoh antagonis dalam film Star Wars. Tapi ternyata tokoh ini berbau cerita pewayangan. Zirah abu-abu itu, misalnya, dinamakan Antakusuma-Purwarupa Exoskull. Ini mirip dengan nama baju sakti milik Gatotkaca, Kutang Antakusuma. Begitu pula daerah asal para jagoan ini, Mayapada dan Gunung Chandradimuka.
Tokoh tersebut terdapat dalam buku Kshatriya Saga, komik asli bikinan anak Indonesia. Rencananya komik tersebut akan diluncurkan pada bulan ini. "Awalnya dimuat secara online dulu, satu chapter per bulan," ujar Ferdian, salah satu komikus yang membidani kelahiran Kshatriya Saga. Ferdian dan kawan-kawan membawa Kshatriya Saga ke acara Popcon Asia 2015 di Jakarta, yang berlangsung pada 7-9 Agustus lalu.
Diselenggarakan pertama kali pada 2012, acara selebrasi terhadap industri kreatif di Tanah Air ini tampak semakin naik daun. Pada 2012, jumlah peserta yang ikut Popcon masih sekitar 70 orang. Tapi tahun ini jumlahnya membengkak, diikuti 167 peserta, termasuk dari Malaysia, Korea Selatan, dan Singapura. "Jumlah pengunjung mencapai 37 ribu orang atau naik 13 ribu dari penyelenggaraan tahun lalu. Nilai transaksinya mencapai sekitar Rp 25 miliar," ujar Grace Kusnadi, penggagas perhelatan ini.
Dunia online agaknya kini disadari kaum muda sebagai dunia kreatif penuh peluang ekonomi. Sebuah fenomena merebak: anak-anak muda patungan membuat startup, perusahaan baru yang berbasis online, dan mereka mengembangkan model bisnis yang non-konvensional. Dari game sampai video online. Contohnya Agate Studio, perusahaan pembuat game dari Bandung. Perusahaan yang didirikan oleh 18 mahasiswa lulusan Institut Teknologi Bandung ini mengkhususkan diri memproduksi game. Mereka melihat game memiliki pangsa pasar besar. Mereka melihat berdagang game dengan memanfaatkan dunia online bisa menghasilkan laba ratusan juta rupiah.
"Waktu itu kami tidak terlalu berpikir panjang tujuan ke depan bagaimana. Kami hanya senang bermain game, ingin membuatnya, dan melihat ada market di luar sana," ujar Andrew Pratomo Budianto, salah satu pendiri Agate, yang saat ini menjabat head of marketing studio game ini. Sejumlah game lantas mereka buat dan ditawarkan kepada calon klien, yang kala itu kebanyakan dari luar negeri. Gayung pun bersambut. Agate kini diperkuat 70 karyawan dengan rata-rata berusia di bawah 30 tahun. Sedangkan jumlah game yang telah mereka kembangkan sekitar 200 judul.
"Mulanya kami lebih banyak membuat game berbasis web. Baru pada 2012 masuk ke mobile game. Monetisasi kebanyakan dilakukan melalui sistem freemium, tapi ada juga lewat iklan," ujar Andrew. Freemium adalah game yang dapat dimainkan secara gratis tapi ada keuntungan atau item istimewa tertentu yang bisa didapat pemain bila membayar. Dari sistem freemium tersebut, Agate setiap bulan mampu meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah.
Andrew tidak ingat benar berapa persisnya modal yang dibutuhkan. "Besarnya kurang dari Rp 100 juta. Itu untuk sewa rumah dan membuat surat-surat," katanya. Mendirikan startup memang membutuhkan modal tak sedikit. Meski begitu, banyak cara untuk menutupinya, dari saweran dana oleh para pendiri, mengajak investor, hingga crowdfunding. "Saya melihat anak-anak yang masuk industri ini tak bisa dihubungkan langsung dengan kelas ekonomi mereka," ujar Grace.
Aulia Halimatussadiah, pendiri toko buku online bernama kutukutubuku.com dan penerbitan mandiri nulisbuku.com, misalnya, mengaku bukan berasal dari keluarga berada. "Ayah saya seorang pegawai negeri dan hidup kami tidak berlebih. Namun urusan buku dan pendidikan selalu ada duitnya," ujar perempuan 32 tahun ini. Sejak sekolah menengah pertama, Aulia sudah berkenalan dengan laptop dan Internet. Dari sini ketertarikannya pada teknologi digital bermula. "Semasa di SMA, saya juga sudah mulai membantu membuatkan website untuk guru sekolah," kata perempuan yang biasa disapa Ollie ini.
Lulus dari Jurusan Teknologi Informasi Universitas Gunadarma, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan sebagai konsultan teknologi informatika. Sembari bekerja, Ollie mulai merintis situs kutukutubuku.com. Perusahaan ini didirikan lantaran hobinya yang membaca itu. "Dulu situs yang menjual buku secara online tak dilengkapi fasilitas shopping cart. Karena mengerti sistemnya, jadi saya membuat sendiri," ucapnya.
Ternyata, setahun setelah dipublikasikan di situs, transaksi di kutukutubuku.com melonjak. Maka, pada 2007, Ollie dengan mantap memutuskan hengkang dari tempat kerja dan lebih berfokus pada perusahaannya sendiri. "Tidak, tidak ada rasa risau atau penyesalan sama sekali. Sebab, saya memang berkomitmen tenaga dan pikiran saya sebaiknya dicurahkan pada perusahaan sendiri," ujarnya. Keputusan untuk keluar dari tempat kerja membuat Ollie semakin aktif dalam kegiatan tulis-menulis, yang memang telah lama menjadi kegemarannya. Ia menulis belasan buku yang diterbitkan oleh penerbit besar. Namun, pada bukunya yang ke-16, penerbit menolaknya. "Alasannya karena terlalu niche," katanya.
Ollie lantas sadar hambatan yang sama sering dialami penulis lain. Di sinilah ia melihat peluang usaha penerbitan mandiri. Dibantu oleh sejumlah rekannya, ia kemudian mendirikan nulisbuku.com pada Oktober 2010. Prinsipnya, setiap penulis bisa menerbitkan naskahnya secara gratis dan setiap judul akan dipajang di etalase nulisbuku.com. Harga buku dihitung dengan menambah biaya produksi. Pembagian keuntungan berdasarkan rasio 60 persen untuk penulis.
Calon pembaca yang tertarik dapat memesan buku tersebut dan langsung dicetak walau jumlahnya hanya satu eksemplar. "Memang, dengan metode print on demand ini, kami dulu dibilang gila," katanya. Setelah lima tahun beroperasi, situs ini memiliki lebih dari 150 ribu anggota dengan total buku yang diunggah 5.000 judul. Omzetnya per bulan mencapai ratusan juta rupiah.
Menurut Ollie, untuk mendirikan startup ini, ia tidak merogoh kocek terlalu dalam. "Dari kantong saya sendiri kurang dari Rp 10 juta. Lalu ditambah dari teman-teman yang lain," katanya. Ia pun memberi tip, salah satu kunci suksesnya adalah dengan menemukan mitra usaha atau pemodal yang kredibel. "Sekarang relatif lebih mudah mengakses pemodal," ujarnya.
Salah satu karakter dari perusahaan startup, menurut Grace, adalah mampu menjangkau pasar yang tidak bisa diraih dengan cara konvensional. Grace menyebut salah satu contoh adalah komik digital yang disebarkan melalui platform web atau media sosial. Dengan cara ini, mereka dapat menyingkirkan ongkos produksi komik fisik sekaligus merangkul pembaca yang berlokasi jauh dari mereka. Nulisbuku.com, misalnya, merangkul penulis yang menjadi mitra mereka lewat akun Twitter. Secara rutin mereka berbagi tip mengenai kepenulisan hingga kegiatan rutin menulis puisi atau fiksi singkat melalui cuitan.
Dennis Adhiswara, pendiri Layaria, startup yang bergerak di bidang video online, juga memanfaatkan jejaring media sosial dalam mengembangkan bisnisnya. Bedanya, Dennis menjadikan YouTube sebagai tulang punggung bisnisnya lantaran yang dibutuhkan adalah media audiovisual. Ide membuat startup ini tercetus sekitar tahun 2011. Pada saat itu, ia masih bekerja untuk produksi sinetron sebuah stasiun televisi swasta.
"Saya merasa TV swasta kurang berani bereksperimen dalam tayangan-tayangannya," ujarnya. Ia lalu berpikir untuk menyajikan tayangan alternatif. Hanya, untuk memproduksi sebuah film yang ditayangkan di televisi dibutuhkan biaya tak sedikit. "Akhirnya saya memilih video online yang lebih murah dari FTV dan penontonnya bisa diukur, seperti lewat Google Analytics," ujarnya.
Dennis kemudian rutin bertemu dengan komunitas pembuat video online sekaligus mencari model bisnis yang cocok untuk mengembangkan video online dan untuk mewadahi komunitasnya. Akhirnya, pada November 2012, berdirilah Layaria, sebuah multichannel network yang berafiliasi dengan YouTube. Lewat seleksi, mereka memilih YouTuber—pembuat video di YouTube—yang dipandang layak. Layaria kemudian bertugas mengoptimisasi channel yang bergabung di bawah mereka, promosi, sponsorship, hingga dukungan mengenai Adsense. Keuntungan yang didapat dibagi antara Layaria dan YouTuber. "Saya punya background penyiaran dan melihat banyak yang kurang bersemangat menjadi wiraswasta. Karena itu, lewat Layaria ini saya ingin mereka bisa mandiri," katanya.
Layaria awalnya tidak dibangun secara padat modal. "Kantornya di lantai pertama rumah saya. Ayah saya memberikan kamera dan akta pendirian perusahaan," ujar Dennis. Pada tahun pertama, Layaria sudah menuai keuntungan, meski jumlahnya tak fantastis. Dari kantor di lantai dasar rumah itu, Dennis mempekerjakan dua pegawai. Kini Layaria memiliki studio di Jakarta, Surabaya, dan segera dibuka di Yogyakarta. "Sekarang ada sekitar 70 YouTuber dengan 17 pegawai," ucapnya.
Dennis menyambut baik bila nantinya ada investor yang masuk dan menjadikan Layaria lebih komersial. Hanya, ia tidak ingin meninggalkan cita-cita awal pendirian Layaria, yakni membuat penonton Indonesia lebih cerdas. Meski begitu, ia juga tak ingin terbawa arus tren perusahaan startup yang sengaja "digoreng" sehingga nilainya tinggi untuk kemudian dijual. "Risikonya, bubble startup bisa pecah," ujarnya.
Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo