Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hayati dan Hello Kitty sama-sama tokoh kucing yang bisa berbicara. Tapi Hayati tak selembut Kitty yang asli Jepang. Sebaliknya, kucing dengan rambut hitam berkuncir dua itu justru judes. Hayati merupakan karakter rekaan komikus muda Garry Sertian Wibiksana dalam komik strip bertajuk Wibiksana. Dalam komik yang dipublikasikan lewat media sosial itu, Hayati menjadi salah satu tokoh utama yang kerap muncul.
Komik Wibiksana baru saja dinobatkan sebagai pemenang kategori komik strip online dalam Kosasih Award 2015. Nama penghargaan itu merujuk pada legenda komik Raden Ahmad Kosasih, yang sukses mengilustrasikan epos Ramayana dan Mahabharata dalam bentuk komik. Penghargaan itu diberikan dalam pergelaran Popcon Asia yang berlangsung pada 7-9 Agustus 2015 di Jakarta Convention Center, Senayan. "Kemunculan karakter Hayati itu sebenarnya tak direncanakan," ujar Garry kepada Tempo, pekan lalu.
Pemuda 27 tahun ini terbilang pendatang baru di jagat komik nasional. Dia baru memulai strip Wibiksana pada pertengahan tahun lalu. "Awalnya bahkan tidak diberi judul," kata lulusan Ilmu Komputer Universitas Islam Bandung itu. Karakter Kang Wibik, yang menjadi ikon utama komik, sebenarnya representasi dari Garry sendiri. Hanya, ada bumbu penyedap semacam tokoh Hayati dan Gorilla, serta cerita sampingan lain yang sukses mengocok perut pembaca.
Jumlah penikmat komik Garry pun melonjak, dari ratusan akun tahun lalu hingga mencapai angka lebih dari 16 ribu pengikut di jejaring sosial berbagi foto Instagram. Sebenarnya tak ada benang merah yang tetap pada komik strip Kang Wibik. Sebagian menawarkan lelucon yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. "Malah sebenarnya isinya enggak penting," kata Garry. Contoh yang tak penting itu saat Hayati menangis akibat kehilangan surat dari mantan pacar yang tersimpan di dalam dompet. Tapi, karena digambarkan dengan rinci, cerita yang remeh tadi justru sukses memikat pembaca.
Garry memang masih menggunakan pensil, pena, dan spidol untuk ngomik. Gambar yang rampung setiap hari kemudian dijepret dengan kamera telepon seluler sebelum diunggah ke Instagram. Dia justru melawan tren penggunaan perangkat digital yang dianggap memudahkan. "Gaya gambar manual ini juga yang membedakan komik saya dengan karakter lain," ujar Garry.
Komik Kang Wibik tak sendirian bergerilya di media sosial. Sejak 2010, ada ratusan komikus muda yang muncul dan giat ngomik. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Tumblr, dan belakangan Instagram menjadi medium komik jenis ini. Nurfadli Mursyid, lewat komik Tahilalats, adalah salah satunya. Komik karya pemuda 24 tahun ini tercatat punya jumlah pengikut paling fantastis di Instagram meskipun baru satu tahun rutin terbit sekali sehari di media sosial.
Tercatat ada sekitar 205 ribu pengikut Tahilalats tersebut di jejaring Instagram dan lebih dari 80 ribu akun di Facebook. Dia juga menciptakan demam tersendiri dengan menjadikan vektor gambarnya sebagai konten gratis untuk avatar profil pengguna media sosial. Hasilnya, ada ribuan akun yang ramai-ramai mengganti profil mereka dengan gambar rekaan sendiri berdasarkan ciri khas komik strip Tahilalats. Bermacam-macam gaya mereka, dari interpretasi wajah hingga sosok Adolf Hitler.
Gaya gambar Fadli yang unik, mirip gambar tangan siswa sekolah menengah, dan cerita yang tak terduga membuat banyak remaja ketagihan. Humor yang diusung pun sangat dekat dengan keseharian remaja. "Komik-komik itu muncul dengan gaya masing-masing yang lugu dan polos," kata komikus Beng Rahadian dari Akademi Samali. Sebagian dari mereka, menurut Beng, mengusung lelucon yang sarat muatan lokal. Contohnya komik Wibiksana, yang sering menggunakan ungkapan lelucon budaya Sunda. Tengok juga Si Juki karya Faza "Meonk" Ibnu Ubaidillah, yang menggunakan dialek Betawi.
Si Juki bisa dibilang sebagai salah satu karakter komik paling sukses secara komersial. Dilahirkan pada 2010 di akun Facebook, Juki diluncurkan ulang pada 2012.Kepada Tempo, Faza mengatakan sadar tentang potensi ekonomi media sosial. "Gue serius menjadikan Juki sebagai salah satu sumber penghasilan," kata Faza. Dari media sosial, Juki kemudian mulai merambah ke ranah cetak bahkan hingga menjadi endorser promosi produk. Komik strip dengan karakter Juki sebagai tokoh utama terbit pada 2012 dengan tajuk Si Juki dan Petualangan Lulus UN.
Kisah komik Juki cukup sederhana dan mewakili jutaan remaja di Indonesia. Si Juki menggambarkan seorang pelajar yang malas belajar menghadapi ujian nasional dan memilih menempuh berbagai upaya agar lulus SMA. Si Juki punya 137 ribu pengikut di Instagram dan lebih dari 300 ribu penggemar di Facebook. Si Juki juga rutin terbit di lapak Line Webtoon. Ini merupakan halaman online khusus untuk komik yang didominasi komik Korea Selatan. Di Line Webtoon, Juki masuk deretan 10 besar komik yang paling banyak dibaca. Stiker Si Juki dalam aplikasi Line juga tercatat diunduh 5 juta kali.
Faza bukan satu-satunya contoh sukses komikus muda. Sweta Kartika, yang dikenal luas lewat komik digital Nusantaranger serta seri Grey and Jingga, juga menjadi salah satu contoh komikus lain yang mampu eksis dari konten digital. Nusantaranger, misalnya, meskipun komiknya gratis dan terbit secara berkala, mampu meraih pendapatan dari berbagai aksesori eksklusif dan berkaitan dengan cerita komik tersebut. "Kuncinya adalah bagaimana komikus membangun ikatan dengan pembaca," kata pria asal Kebumen itu.
Beng Rahadian melihat komik juga mengikuti kecenderungan pergeseran pengguna media sosial. "Sebelumnya, Facebook dan Twitter sempat populer untuk menyebarkan komik, tapi kini Instagram justru menjadi yang paling populer," ujarnya. Kemunculan dominasi orang tua di akun Facebook dan Twitter membikin generasi muda mencari medium lain yang cenderung steril dari orang dewasa. Itu menjadi penyebab pengguna muda Instagram kian melonjak.
Fadli juga menyadari hal itu. Menurut dia, sebagian pengikutnya di Instagram merupakan kelompok remaja yang jauh lebih muda daripada dirinya. "Bahkan saya pernah menemukan pengikut saya yang masih duduk di sekolah dasar," ucapnya. Menyadari ada banyak pengguna media sosial pada kelompok umur tertentu, Fadli menjadi waspada terhadap berbagai konten yang diusungnya. "Kalau ingin membuat komik strip dengan konten yang sedikit nyerempet lelucon dewasa, saya harus berpikir ulang dulu."
Menurut Beng, komik media sosial memang banyak mengandung konteks lelucon yang belum tentu bisa dipahami orang yang lebih tua. Lelucon itu kebanyakan merebak dari meme yang muncul di media sosial dan populer di kelompok umur tertentu. "Betul jika dikatakan komik itu kebanyakan punya konteks yang khas. Mereka punya bahasa sendiri," ujar Beng. Jangan heran jika Anda kemudian mengerutkan dahi karena tidak mengerti istilah baper atau ungkapan anjay khas komik Tahilalats. "Istilah-istilah itu memang spesifik untuk anak muda," kata Beng.
Para komikus muda di media sosial juga merespons dengan cepat situasi politik, sosial, dan ekonomi. Saat puasa, mereka ramai-ramai membikin komik bertema saum atau Ramadan. Sedangkan pada saat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, mereka pun membikin komik dengan tema peringatan kemerdekaan. "Bahkan kadang juga dari iklan ataupun film yang sedang hit," tutur Abi Maruf, yang komiknya, Si Abi, punya 16 ribu pengikut di Instagram.
Komik Indonesia di era digital, menurut Sweta, perlahan-lahan mulai menemukan bentuk dan karakternya. Beng mengatakan hal serupa. Tapi dia menyayangkan kurangnya kritik yang konstruktif terhadap pelbagai komik yang muncul kini. "Kritik atau kurasi terhadap komik semacam ini masih kurang atau bahkan bisa dibilang tidak ada," ujar Beng. Padahal keberadaan kritik juga penting untuk meningkatkan standar komik yang muncul.
Subkhan J. Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo