Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh batu sedikit lebih besar daripada kepala manusia digantung-gantungkan di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta, 11-13 Agustus 2015. Batu itu menjadi aktor utama. Selama 45 menit, batu-batu itu berayun-ayun kencang hanya beberapa inci di atas kepala para aktor. Penonton dibayangi kecemasan batu itu menghantam tubuh atau kepala sang aktor.
Unsur "kekerasan" dan "kengerian" muncul menguasai ruang dalam lakon Merah Bolong yang dipentaskan Teater Payung Hitam. Sebuah pertunjukan yang menekan sampai detik terakhir. Rohaniwan Mudji Sutrisno, yang menonton di barisan terdepan pada hari ketiga, berulang kali merasa seolah-olah ayunan bakal mengenai tubuhnya. "Saya sampai refleks bergerak menghindar," katanya. Berkali-kali terdengar teriakan kecil tanda kengerian dari bangku penonton. "Perutku sakit, ngilu," ujar pemain Teater Koma, Ratna Riantiarno, yang menonton bersama suaminya, Nano Riantiarno, seusai pementasan.
Tapi memang dramaturgi yang penuh dengan "bahaya" itu yang sengaja ditampilkan oleh Teater Payung Hitam. Nomor ini telah dipentaskan beberapa kali di Bandung, Surakarta, dan Surabaya pada 1997, lalu di Jakarta (1999), serta Bandung lagi (2006, 2007). Pada 2007, nomor ini dipentaskan di Brisbane, Australia. Teater Payung Hitam adalah kelompok teater yang setia memilih jalur physical theater. Nomor ini adalah karya mereka yang paling berhasil selain pementasan mereka sebelumnya, Kaspar Hauser (adaptasi dari Peter Handke).
Begitu masuk, penonton melihat seseorang (Nugraha "Bazzier" Susanto) tergeletak di tengah serakan kerikil dan gantungan batu. Ia berusaha memecah sebuah bongkahan di lantai. Empat pria dengan rambut panjang bercelana monyet lalu muncul membawa ember dengan isi kerikil. Melihat mereka berjalan di lantai yang penuh kerikil dengan telanjang kaki saja sudah ikut terasa nyeri. Mereka menggoyang-goyangkan ember menimbulkan suara riuh.
Lalu terjadilah interaksi antar-aktor yang mengingatkan drama minikata W.S. Rendra, tapi lebih radikal. Dalam minikata, masih terdapat kalimat seperti rambate ratarata—sebuah kalimat yang tak bermakna—tapi dalam pertunjukan Sabur, teks total dihilangkan. Benturan-benturan suara batu adalah teks itu sendiri. Pada titik ini, harus diakui sutradara Teater Payung Hitam, Rachman Sabur, teliti membentuk variasi-variasi "blocking" interaksi antar-pemain dan variasi bunyi batu.
Bunyi batu bermacam-macam, dari riuh suara batu dalam ember kaleng yang dikocok sampai gebrakan dari batu yang menghantam dinding seng. Sekonyong-konyong juga dari atas tercurahkan hujan kerikil. Kerikil menggerojok bagaikan air terjun. Suaranya riuh kemrosak saat menerpa lantai tripleks. Tubuh para aktor berkelit di antara sela-sela guyuran hujan batu. Ini sensasi luar biasa. Selama ini beberapa pertunjukan tari di Indonesia pernah menggunakan elemen air yang tiba-tiba digerojokkan dari atas. Misalnya dalam pentas tari Sulistyo Tirtokusumo. Tak seperti elemen air yang hanya merupakan kejutan estetis, gerojokan batu Rachman ini terasa sebagai bagian integral dari dramaturgi teror. Suatu orgy batu.
Tiga aktor utama, Rusli Keleeng, Nugraha "Bazzier" Susanto, dan M. Sidik, menjadi pusat interaksi. Seorang jatuh diam meringkuk, yang lain berusaha membangunkan dengan riuh suara batu dalam ember kaleng atau tepukan tubuh. Seorang limbung, terhuyung-huyung, yang lain menyemangati atau memberi irama ketukan batu.
Rachman menciptakan karya ini saat Orde Baru masih memuncaki kekuasaan. Merah Bolong awalnya berjudul Merah Bolong Putih Doblong Hitam, yang diartikan sebagai sakit yang amat sangat. "Ini kritik sosial. Dulu, saat masih Orde Baru, ini pernyataan sikap, setelah puluhan tahun merdeka masih sama. Rakyat masih jadi korban, masih menderita," ujar Rachman.
Banyak adegan berupa para aktor memasukkan batu ke dalam ember kaleng, tapi batu yang ada di ember itu selalu jatuh dan jatuh lagi. "Ini seperti yang dilakoni Sisyphus dalam mitologi Yunani, yang membawa batu ke atas bukit lalu menggelindingkan batu itu ke bawah berulang kali," kata Sabur. Dengannya, ia ingin menunjukkan kesia-siaan yang terus dilakukan. Pentas diakhiri dengan adegan seorang aktor dikuburkan, ditimbuni batu. Tapi tangannya menyeruak sembari mengepalkan tangan. Sabur hendak menekankan bahwa pentasnya ini sebuah perlawanan. "Tangan yang terkepal menjadi simbol dari si tokoh yang mati," ujar pengajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini.
Fathul A. Husein, Kepala Program Studi Teater ISBI Bandung, menyebut batu besar yang terayun ini menjadi representasi dari derap kuasa. "Absolut, represif totaliter, tak tertandingi, godam yang siap menghajar dan meremuk-redamkan siapa saja yang tak seiring sejalan," kata Fathul dalam sekapur sirih di buku pertunjukan. Lakon ini pada Desember nanti akan dipentaskan di University of Washington, Seattle, Amerika Serikat. Dalam menyiapkan lakon ini, Rachman menggembleng para pemain dengan cukup keras dan disiplin. Dengan waktu pementasan 45 menit, para pemain harus menjaga stamina melebihi durasi itu. "Dua kali lipat atau lebih dari waktu pentas, kami harus menjaga napas, konsentrasi, dan tubuh kami," ujar Nugraha.
Untuk menjaga napas dan stamina itu, selama empat bulan mereka berlatih fisik, setiap minggu tiga kali. Biasanya mereka berlari naik turun tangga, keliling kampus ISBI Bandung. Yang terlihat paling berat menjaga stamina adalah Nugraha, karena tubuhnya yang sedikit tambun. Apalagi dia harus berkali-kali memukulkan batu ke batu, menghantamkan batu ke dinding seng, atau mendorong batu agar terayun cukup lama.
Setelah urusan fisik selesai, mereka baru masuk ke materi pementasan. Mereka berjibaku dengan batu-batu yang digantung dan berayun-ayun. Seminggu pertama latihan, tubuh mereka lebam-lebam terkena hantaman batu saat berusaha menghindar atau jatuh terpeleset batu. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, mereka bisa menghindari hantaman ayunan batu dan menyiasati cara jatuh yang tidak sakit di antara bebatuan.
"Tapi yang paling capek sebenarnya konsentrasi ke bawah, saat melangkah di lantai yang penuh batu dan jatuh tapi tidak sakit," ujar pria yang juga bermain dalam pentas pada 2007 itu. Dalam pentas-pentas sebelumnya, para pemain mengenakan topeng yang dilukis sesuai dengan ekspresinya. Tapi kini para pemain tampil tanpa topeng. "Untuk menampilkan ekspresi yang lebih alami," ujar Rachman. Dengan topeng, menurut dia, jarak pandang pemain juga terbatas.
Yang jadi soal, meski teror Rachman berhasil, pentas ini kurang bisa meyakinkan kita bahwa seluruh ancaman itu berkaitan dengan intimidasi sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Sebab, situasi politik telah berubah. Sedikit ada elemen, misalnya sulur-sulur kabel bom, akan membuat pementasan ini lebih kontekstual dengan situasi sekarang. Di mana-mana kini terjadi aksi peledakan, terakhir di Bangkok. Tanpa makna yang diperbarui, teater ini bisa hanya menjurus ke sensasi visual dan bunyi.
Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo