Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHMAD Alamsyah Saragih terpaksa menunda rasa penasarannya. Dalam rapat dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Kamis pekan lalu, anggota Ombudsman RI ini sebenarnya ingin bertanya tentang kebijakan penurunan tarif interkoneksi seluler kepada Menteri Komunikasi Rudiantara. "Tapi, karena Menteri tidak hadir, tidak jadi kami sampaikan," kata Alamsyah, Kamis pekan lalu.
Agenda utama pertemuan siang itu memang tak ada kaitannya dengan aturan biaya interkoneksi. Perwakilan Kementerian Komunikasi menghadiri undangan soal tindak lanjut rekomendasi Ombudsman atas sengketa Kementerian Komunikasi dengan PT Corbec Communication. Hanya, Alamsyah ingin menyelipkan pertanyaan soal kebijakan biaya penggantian jaringan tersebut. "Bukan pembahasan formal, tapi kadang-kadang dengan begitu kasus akan lebih cepat dibahas," ujarnya.
Sudah genap sebulan laporan soal ribut-ribut kebijakan penurunan biaya interkoneksi diterima Ombudsman. Yang membawa laporan adalah Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Alamsyah bilang, dalam laporan awalnya, Fitra mengadukan soal adanya potensi kerugian negara jika aturan ini diterapkan. "Kami sedang minta Fitra melengkapi data dasar hukumnya," ucap Alamsyah.
Sekretaris Jenderal Fitra, Yenny Sucipto, mengatakan munculnya angka potensi kerugian negara ini berasal dari berkurangnya penerimaan pajak sebesar Rp 2,3 triliun. Selain itu, setoran dividen operator telekomunikasi pelat merah berpeluang terkoreksi Rp 51,6 triliun dalam lima tahun. "Dari sisi kemampuan perusahaan, ada peluang berkurangnya potensi investasi di daerah rural Rp 12 triliun per tahun," kata Yenny dalam diskusi di kawasan Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.
Selain soal kerugian, perubahan kebijakan tersebut janggal. Revisi aturan acuan biaya interkoneksi hanya dituangkan dalam sebuah surat edaran yang diteken pelaksana tugas Direktur Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika. "Seharusnya tidak layak seorang pelaksana tugas dirjen menandatanganinya," ujar Manajer Advokasi Fitra, Apung Widadi, Ahad pekan lalu.
Biaya interkoneksi merupakan ongkos jaringan yang harus dibayar oleh satu operator kepada operator lain yang menjadi tujuan panggilan. Biaya ini menjadi satu dari sejumlah variabel pembentuk tarif pelanggan, seperti biaya promosi dan margin operator.
Pembahasan tarif baru interkoneksi ini dimulai pada awal Februari 2015. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan tak ada yang ditutup-tutupi dalam perhitungan biaya acuan yang baru ini. "Sejak awal bergabung dengan pemerintah, sudah saya sampaikan interkoneksi harus turun dan harus signifikan dampaknya agar operator efisien dan saving untuk masyarakat," kata Rudiantara saat ditemui di kantornya, Rabu pekan lalu.
Rudiantara bilang, biaya interkoneksi pada dasarnya adalah hak pelanggan. Sebab, saat ini industri telekomunikasi Tanah Air sudah memasuki rezim kompetisi. Masyarakat, menurut dia, punya kebebasan memilih operator dan layanan.
Melalui Surat Edaran Nomor 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016, pemerintah menentukan biaya acuan interkoneksi Rp 204 per menit panggilan telepon. Biaya acuan tersebut angka rata-rata dari 18 skenario panggilan. Tapi, secara keseluruhan, biaya interkoneksi yang baru ini mengalami penurunan sampai 26 persen dari tarif sebelumnya Rp 250 per menit.
Mayoritas operator seluler menyambut positif penurunan tersebut. Penerapannya semula direncanakan pada 1 September 2016. Tapi Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat meminta penundaan. Anggota Komisi I, Hanafi Rais, mengatakan Komisi bahkan meminta pemerintah mencabut surat edaran tersebut. "Kebijakan biaya interkoneksi itu berlawanan dengan Undang-Undang Telekomunikasi," ucap Hanafi, Rabu pekan lalu.
Penolakan juga datang dari pelaku usaha seluler dominan. Telkomsel dan induk usahanya, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, belum sepakat soal kebijakan harga baru tersebut. "Kami tetap mengikuti regulasi yang ada saat ini, baik PP Nomor 52 Tahun 2000 maupun PM Nomor 8 Tahun 2006," kata Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah dalam surat elektronik kepada Tempo, Kamis malam pekan lalu.
Ririek beralasan, biaya interkoneksi yang baru dihitung dengan pola simetris alias sama rata tidak mencerminkan ongkos produksi tiap operator. Menurut dia, formula perhitungan biaya interkoneksi semestinya menggunakan model asimetris berbasis cost recovery sesuai dengan komitmen operator menggelar jaringan.
Lagi pula, menurut dia, tak ada dampak signifikan penurunan tarif interkoneksi ke tarif retail. Sebab, porsi biaya interkoneksi hanya 15 persen dari total komponen tarif pelanggan. "Hitungan kami, penurunan tarif retail off-net (antaroperator) akibat penurunan biaya interkoneksi hanya 4 persen," ujarnya.
Penurunan biaya interkoneksi, menurut Ririek, malah bisa berdampak negatif pada industri telekomunikasi mendatang. Ia menuturkan, jika tarif dipatok sama rata dan terlalu murah, ada kemungkinan kemampuan operator memenuhi komitmen membangun jaringan telekomunikasi berkurang. "Saat ini yang dibutuhkan konsumen adalah harga telekomunikasi yang terjangkau dan stabil."
Penolakan serupa sempat disuarakan oleh Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis di Bandung, Agustus lalu. Ketua Umum Federasi Wisnu Adhi Wuryanto mengatakan kebijakan penyetaraan tarif interkoneksi justru akan merugikan Telkomsel sebagai anak perusahaan BUMN Telkom Indonesia. "Telkomsel dipastikan merugi, operator lain diuntungkan," kata Wisnu, akhir Agustus lalu.
Pernyataan Wisnu berangkat dari paparan ongkos jaringan tiap operator seluler dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi I DPR, pekan terakhir Agustus lalu. Dalam rapat tersebut diketahui bahwa ongkos jaringan XL Axiata sebesar Rp 65 per menit, Indosat Ooredo Rp 87 per menit, Hutchison Tri Rp 120 per menit, sementara ongkos jaringan Telkomsel Rp 285 per menit.
Menurut dia, dengan biaya interkoneksi tersebut, operator lain cukup membayar Rp 204 per menit ke Telkomsel. Sebaliknya, Telkomsel membayar Rp 204 per menit ke operator tujuan yang ongkos jaringannya lebih rendah. XL Axiata, misalnya, malah mendapat keuntungan dari ongkos interkoneksi Telkomsel Rp 139 per menit. Begitu pula Indosat dan Hutchison Tri, yang masing-masing mendapat keuntungan Rp 117 dan Rp 84 per menit. "Sedangkan Telkomsel dengan tarif Rp 204 per menit akan merugi Rp 81 per menit," ujarnya.
Soal selisih biaya interkoneksi, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, I Ketut Prihadi Kresna, punya penjelasan. Menurut dia, secara angka memang terlihat ada gap besar yang berpotensi menjadi margin operator nondominan. Tapi, dia melanjutkan, harus dilihat juga komponen traffic dari tiap operator. Sebagai operator nondominan, panggilan keluar (outgoing call) lebih banyak ketimbang panggilan masuk (incoming call). "Lebih banyak mana, panggilan yang datang ke Telkomsel atau dari Telkomsel ke mereka?" kata Ketut, Selasa dua pekan lalu.
Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo, Alexander Rusli, tak mau menanggapi soal tudingan keuntungan yang diperoleh dengan biaya flat interkoneksi tersebut. Menurut dia, terlepas dari angka, perubahan biaya interkoneksi tidak akan membawa dampak apa-apa bagi operator. Sebab, pada kenyataannya, pemakaian layanan voice dan pesan pendek (SMS) akan berkurang. "Soal interkoneksi ini perang simbol. Kalau biaya interkoneksi turun, simbol bahwa kompetisi industri telko akan membaik," ujar Alexander, Kamis pekan lalu.
Dian Siswarini, Presiden Direktur XL, mengatakan biaya interkoneksi pada dasarnya tak hanya dihitung berdasarkan belanja modal, tapi juga traffic panggilan dan SMS yang terjadi. Menurut dia, jika operator sudah besar, kapasitasnya lebih besar sehingga faktor pembaginya, yakni traffic, tentu besar. Akibatnya, biaya per unit menjadi lebih efisien.
Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo